Hudud, Ta'zir, dan Tembak Mati
Hudud dari segi
bahasa berasal merupakan bentuk jamâ’ (plural) dari kata had yang
asal artinya pembatas antara dua benda. Dinamakan had karena mencegah
bersatunya sesuatu dengan yang lainnya. Ada juga yang menyatakan bahwa kata had
berarti al-man’u (pencegah), sehingga hududullah merupakan
perkara-perkara yang dilalarang langsung oleh Allah.
Menurut istilah
syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh
syara’ untuk mencegah terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama dan
menghapus dosa pelakunya.
Ada pun delik
hukuman kejahatan (Jarîmah al-Hudûd) bahwa Al-Qur'an dan hadis sudah
menetapkan hukuman-hukuman bagi sejumlah tindak kejahatan tertentu yang disebut
jarâ’imu al-hudûd (delik hukuman kejahatan), yang meliputi sedikitnya
tujuh jenis kasus yang selalu aktual di tiap waktu dan tempat, yaitu: Perzinahan,
ditegakkan untuk menjaga keturunan dan nasab; Had al-Qadzf (hukuman
orang yang menuduh berzina tanpa bukti) untuk menjaga kehormatan dan harga
diri; Had al-Khamr (hukuman orang minum khamer (minuman memabukkan)
untuk menjaga akal; Had as-Sariqah (hukuman pencuri) untuk menjaga
harta; Had al-Hirâbah (hukuman para perampok) untuk menjaga jiwa, harta
dan harga diri kehormatan; Had al-Baghi (hukuman pembangkang) untuk
menjaga agama dan jiwa; Had ar-Riddah (hukuman orang murtad) untuk menjaga
agama.
Hudud
disyaria'tkan untuk kemaslahatan hamba dan memiliki tujuan yang mulia agar
pelaku kejahatan dan maksiat merasakan sakitnya hukuman dan menyadari akibat
buruk yang muncul darinya, maka ia akan jera, tidak mengulangi prilaku
buruknya, dan dapat mendorongnya untuk istiqamah di jalan kebenaran, serta
selalu taat kepada Allah.
Karena huduh menjadi pelajaran bagi orang lain, maka pelaksanaannya pun dilakukan di depan orang-orang bwrimanagar menimbulkan efek jera, inilah dimaksud oleh firman Allah, wal yasyhad tha'ifah minal mu'minin. Dan hendaklah [pelaksanaan] hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman, (an-Nûr[24]:2). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa di antara hikmah hudud adalah untuk membuat jera pelakuagar tidak mengulangi dan mencegah orang lain agar tidak terjerumus padanya.
Hukuman dalam
Islam juga berfungsi sebagai penghapus dosa di hadapan Tuhan, berdasarkan sabda
NaBi, “Berjanji setialah kamu kepadaku, untuk tidak akan mempersekutukan Allah
dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh
anak-anak kamu dan tidak berbuat dusta sama sekali serta tidak bermaksiat dalam
hal yang ma'ruf. Siapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah
akan memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya,
lalu diberi hukuman di dunia, maka hukuman itu adalah kafarah [penghapus
dosanya]. Dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi oleh
Allah kesalahannya [tidak dihukum], maka terserah kepada Allah, kalau Dia
menghendaki diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki,
disiksa-Nya," (Muttafaq ’alaih, Fat-hul Bâri I/ 64 no: 18, Muslim
3/1333 no: 1709 dan an-Nasâ’i 7/148).
Manfaat lainnya
adalah, berjamaah dalam menolak keburukan, dosa, dan penyakit masyarakat,
karena apabila kemaksiatan telah merata dan menyebar pada masyarakat maka Allah
akan menggantinya dengan kerusakan dan musibah serta dihapusnya kenikmatan dan
ketenangan. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, “Satu hukuman kejahatan
yang ditegakkan di muka bumi lebih dicintai bagi penduduknya daripada mereka
diguyur hujan selama tiga puluh hari," (Shahîh Ibnu Mâjah no; 2057, Ibnu
Mâjah 2/848 no : 2538, an-Nasâ’I 8/76). Singkron dengan firman Allah, Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka,
agar kembali ke jalan yang benar, (ar-Rûm[30]:41).
Penerapan Hudud
tidak dilakukan dengan empat syarat: (1) Pelaku kejahatan adalah seorang
mukallaf yaitu baligh dan berakal; (2) Pelaku kejahatan tidak terpaksa dan
dipaksa; (3) Pelaku kejahatan mengetahui larangannya; (4) Kejahatannya terbukti
dan bahwa ia melakukannya tanpa ada syubhat. Hal ini bisa dibuktikan dengan
pengakuannya sendiri atau dengan bukti persaksian orang lain.
Tugas siapa?
Diwajibkan
kepada penguasa untuk menegakkan dan menerapkan hukum hudud kepada seluruh
rakyatnya berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma' serta dituntut qiyas
yang shahih. Misalnya dari ayat, Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana, (al-Mâidah[5]:38). Dalil Sunnah, antaranya adalah hadits Ubâdah bin
Shâmit yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, Tegakkanlah hukuman-hukuman
Allah kepada kerabat dan lainnya, dan janganlah kecaman orang yang suka mencela
mempengaruhi kamu [dalam menegakkan hukum-hukum] karena Allah,”(Shahîh Ibnu
Mâjah No. 2058 dan Ibnu Mâjah No. 2540).
Dan, apabila
sebuah kasus telah masuk ke pemerintah dan telah dimeja hijaukan, maka dilarang
adanya syafaat (rekomendasi) pembebasan atau pengurangan hukuman (remisi). Sebagaimana
dijelaskan Rasulullah dalam hadis 'Aisyah yang mengatakan bahwa kaum Quraisy
sangat dipusingkan ihwal seorang perempuan suku Makhzum yang melakukan
pencurian. Mereka mengatakan, Siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah
[untuk mengemukakan permintaan supaya perempuan itu dibebaskan]? Tidak ada yang
mau berbicara tentang hal itu, kecuali Usamah kesayangan Rasulullah. Nabi pun
menjawab, Apakah engkau hendak menolong supaya orang bebas dari hukuman Allah?
Kemudian Nabi berdiri lalu berkhutbah, “Hai sekalian manusia, orang-orang
sebelum kamu menjadi sesat hanyalah disebabkan apabila seorang bangsawan
mencuri, mereka biarkan [tidak melaksanakan hukuman kepadanya] dan bila orang
miskin mencuri, mereka tegakkan had padanya. Demi Allah, kalaulah
seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad memotong
tangannya.” (Muttafaqun ’alaih).
Jelas, Nabi
mengingkari orang yang memberi syafaat dalam hukuman hadud setelah sampai ke ke
pengadilan dan divonis bersalah. Adapun bila belum sampai maka diperbolehkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, Tidak boleh
menggagalkan hukuman hadud dengan syafaat, hadiah dan yang lainnya. Siapa yang
menggagalkannya padahal ia mampu menerapkannya, maka semoga laknat Allah,
malaikat dan semua manusia menimpanya.
Perlu dicatat,
karena hanya pemerintah yang berhak dan berkewajiban menegakkan hukuman hudud,
maka tidak boleh dan tidak sah jika dilakukan oleh organisasi atau pun
perorangan. Karena itu rakyat hanya berhak mengusulkan lewat perwakilannya di
parlemen, ada pun disetujui atau tidak, itu urusan penguasa. Karena ini adalah
kewajiban, maka dosa bagi yang tidak menegakkan hudud dibebani oleh para
pemerintah, terutama yang mengingkari, dan inilah resiko menjadi pemimpin.
Hukuman Ta’zir
Secara bahasa, kata ta’zir
berasal dari kata az-zara yang
bermakna ar-raddu dengan arti menolak, dan al-man’u yang bermakna
mencegah, disebut hukuman ta’zir, karena menolak pelaku dan mencegahnya
dari mengerjakan (kriminal) jarimah.
Sedangkan secara
istilah dalam ilmu fiqih, kata ta’zir bermakna, hukuman yang tidak
ditetapkan ketentuannya secara syar’i, baik terkait hak Allah atau hak adami,
umumnya berlaku pada setiap maksiat yang tidak ada hukum hudud.
Dari definisi ini ada beberapa hal yang perlu diberi catatan, antara lain,
bahwa ta’zir adalah salah satu bentuk hukuman atas suatu kemaksiatan
yang terkait dengan dosa besar, dengan jenis, kadar dan aturan yang tertentu,
namun tidak ditetapkan secara syar’i, dalam hal ini tidak ada ketentuan dari
Allah tentang bentuk dan jenis hukuman, sehingga semua diserahkan kepada hakim
yang menangani masalah tersebut. Maka, hakim memang diberi wewenang khusus
untuk menentukan jenis hukuman dan kadarnya, bahkan termasuk untuk membatalkan
hukuman itu.
Karena itu, ada beberapa
perbedaan mendasar yang membedakan antara hukum ta'zir dan hukum hudud: Hukum
ta'zir bersifat mufawwadh (diserahkan) kepada kebijakan hakim
yang berwenang, sedangkan hukum hudud ditetapkan langsung oleh Allah SWT; Berlaku juga untuk di bawah umur. Anak-anak
yang masih di bawah umur tetap bisa dihukum dengan cara ta'zir. Tidak
seperti hukum hudud yang tidak berlaku untuk kasus-kasus dimana pelakunya
adalah anak-anak di bawah umur; Kafir Dzimmi. Hukum ta'zir juga berlaku
buat orang-orang di luar Islam, ketika mereka melakukan pelanggaran. Namun
istilahnya uqubah alias hukuman. Sedangkan dalam hukum hudud,
orang-orang non muslim tetap terkena hukum hudud sebagaimana umumnya pemeluk
agama Islam lainnya; Selain hakim boleh menta'zir. Kalau hukum hudud hanya
boleh dijalankan oleh seorang hakim, maka hukum ta'zir sebaliknya, boleh
dilakukan oleh selain hakim, seperti suami yang menta'zir istrinya, atau
tuan menta'zir budaknya, dan lainnya; Tidak dicegah dengan syhubuhat .Dalam
hukum ta'zir, pelaku kejahatan yang masih dalam status tertuduh tidak
perlu ditahan. Hal ini berbeda dengan hukum hudud, bahwa pelakunya ditahan
terlebih dahulu, sehingga terbukti tidak bersalah lalu dibebaskan ataupun
terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman; Berlaku syafaat. Orang yang dihukum
dengan kukuman ta'zir bisa dibebaskan atau diringankan hukumannya lewat
syafaat. Sedangkan dalam hukum hudud, syafaat tidak berlaku; Hakim boleh meninggalkannya, karena hukum ta'zir
bersifat mufawwadh kepada hakim, maka penerapannya tergantung kepada
kebijakan hakim. Dalam hal ini, seorang hakim boleh melaksanakannya atau
meninggalkannya sama sekali. Berbeda dengan hukum hudud, dimana hakim dan semua
perangkat hukum tidak boleh meninggalkan kasusnya.
Sebenarnya baik hukum
ta'zir ataupun hukum hudud sama-sama wajib dijalankan. Dan keduanya saling
melengkapi satu sama lain. Penerapan syariat Islam akan pincang sebelah manakalah
salah satunya tidak dijalankan. Memang yang nomor satu untuk dijalankan adalah
hukum hudud, yang sifatnya langsung merupakan perintah dan ketetapan dari Allah
SWT.
Tetapi apalah artinya
hukum hudud kalau tidak ada hukum ta'zir. Bisa-bisa semua pelaku
kriminalitas lolos semua dari hukum hudud. Maka keberadaannya akan menutup
lubang-lubang menganga yang tidak bisa dicover oleh hukum hudud.
Ada
pun kasus eksekusi mati dengan cara ditembak sebagaimana yang dilakukan
pemerintah Indonesia terkait kejahatan Narkoba, pada dasarnya masuk dalam
kategori ta’zir. Bentuk dan kadar ta'zir ditimbang sesuai
(kerusakan) mafsadah kriminalitasnya. Jadi secara yuridis Islam, ta'zir
diserahkan oleh hakim. Jika ia menilai terdakwa sangat merugikan bagi orang
banyak dan pencegahannya paling tepat hanya dengan hukum mati, maka hal ini
dibenarkan. (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh 7/518; Al-Thariq
al-Hukmiyah fi Siyasati Syar'iyyah 20/3). Untuk konteks kasus Narkoba,
sudah jamak diketahui termasuk kategori kejahatan tinggi (extra ordinary
crime). Puluhan puluhan manusia meninggal setiap harinya, rumah tangga
berantakan, meruksa tatanan sosial dan masyarakat, termasuk dunia politik dan
pendidikan, lebih-lebih agama.
Wal
akhir, kita mendukung pemerintah dalam
keseriusannya memberantas Narkoba melalui hukum ta’zir, tetapi itu belumlah
lepas dari tanggungjawab di hadapan Allah dunia akhirat jika tidak menjalankan
hukum hudud kepada para pelaku tindak pidana yang telah tertuang dalam nash
wahyu. Wallahu A’lam!
AQL.
Tebet-Jakarta, 1 Mei 2015.
Dimuat
Harian Go Cakrawala, 08/5/2015
Ilham
Kadir, Sekertaris Pemuda Komite Perjuangan Penerapan Syariat Islam (KPPSI)
Pusat & Mahasiswa Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor.
Comments