UN dan Budaya Ilmu

Pemerintah,
melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla telah
menginstruksikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan untuk
menyelenggarakan UN ulang. Padahal selama
ini pemerintah terus mengklaim sudah melakukan persiapan secara matang.
Namun, dalam praktiknya timbul masalah cukup berat, yakni bocornya soal-soal UN tingkat SMA. Mendikbud mengutarakan kekesalannya, Jika ada pola kebocoran, kita akan menuntut perusahaan, dan kita akan minta mereka bertanggung jawab dengan membiayai sepenuhnya pelaksanaan UN yang harus diulang.
Namun, dalam praktiknya timbul masalah cukup berat, yakni bocornya soal-soal UN tingkat SMA. Mendikbud mengutarakan kekesalannya, Jika ada pola kebocoran, kita akan menuntut perusahaan, dan kita akan minta mereka bertanggung jawab dengan membiayai sepenuhnya pelaksanaan UN yang harus diulang.
Tidak
hanya itu, minggu lalu (15/4/), setelah selesai UN para mahasiswa seakan telah
memenangkan pertempuran di medan perang dengan berbagai macam cara. Di Jalan
Ratulangi Makassar, siswa telanjang dan gendong cewek (Tribun-Timur.com,
18/4/2015).
Di
Kendal lebih parah lagi, Satpol PP, ketika menggelar razia di obyek wisata
Pantai Muara Kendal, Kamis (16/4) siang menemukan dan menjaring sepuluh pasang
pria-wanita masih berusia muda. Mereka adalah siswa-siswi yang sedang asyik ngamar
melakukan hubungan seks berjamaah. Ironisnya, sebagian pasangan tersebut ada
yang baru saja usai UN meski tidak berseragam.
Di Medan, Tak hanya seragam sekolah, rambut dan
bagian tubuh mereka yang lain pun dicoret,
termasuk wajah. Bahkan, para siswa melakukan aksi-aksi asusila saat melakukan
aksi corat-coret seragam. Seperti yang terjadi di Jalan Kartini
Pematangsiantar, sejumlah siswa pria tampak tak canggung memegang "bagian
terlarang" siswi ketika membubuhkan tandan tangan. Beberapa dari mereka
ada yang gendong-gendongan, melompat dan bersorak-sorak, sembari menyemprotkan
cat pilox ke seragam teman (www.jpnn.com,
17/4/2015).
Akar Masalah
Kelihatannya ada yang salah dalam sistem
pendidikan kita yang semestinya sudah ditemukan solusinya, sebab kita tidak
kekurangan pakar pendidikan yang sebenarnya mampu mencari solusi terbaik bagi
bangsa ini. Jika pendidikan sudah rusak, maka akan merambah ke medan lain,
bahkan akan merusak segala tatanan masyarakat. Karena itu, jika ingin membangun
atau merontokkan bangsa dan negara mulailah dari pendidikan.
Pemahaman umum para siswa-siswi kita, bahkan pada
level mahasiswa masih memandang bahwa tujuan belajar untuk ujian, dan tujuan
ujian untuk menentukan kelulusan dan mengukur tinggi-rendahnya nilai. Anak
pintar akan bernilai tinggi, dan yang bodoh akan bernilai rendah. Tentu saja
pandangan ini tidak salah, namun tidak sepenuhnya benar, sebab tujuan utama
belajar dalam pandangan Islam (islamic
worlview) untuk ibadah, karena itu pada hakikatnya, ujian tidak lebih
daripada bagian dari sistem belajar dan untuk mendapatkan ilmu.
Bukan pula berarti ujian tidak perlu. Jangankan
dalam belajar-mengajar, dalam hidup pun dibutuhkan ujian. Filosofi ujian
menurut Ahli Hikmah dari Arab adalah, al-imtihan syarrun walakinnahu syarrun
la bu’da minhu. Ujian itu sebuah keburukan yang harus ditempuh. Dan
disempurnakan dengan perkataan, Bil-imtihan yukramul mar’u wa yuhanu,
dengan ujian seseorang akan tambah dimuliakan atau semakin dihinakan.
Para penuntut ilmu tidak akan dapat diketahui
tahap dan taraf keilmuannya kecuali dengan ujian, dari situlah mereka dapat
dinilai apakah layak naik ke jenjang lebih tinggi atau harus mengulangi
pelajarannya. Sebab jika dipaksakan naik ke level yang lebih susah padahal
tidak mampu hanya, akan merusak dirinya sendiri dan mengganngu teman-temannya.
Begitulah pentingnya posisi ujian dalam belajar. Kegagalan bukanlah aib yang
harus dihindari, dan semestinya menjadi cambuk untuk melakukan penataan ke
dalam bahwa inilah kemampuan saya, untuk dapat bersaing harus belajar lebih
giat.
Budaya Ilmu
Adalah sebuah prilaku
yang meletakkan ilmu sebagai “kebaikan utama”, dengan itu mereka yang berbudaya
ilmu akan menunut ilmu demi menggapai kebaikan, dan bukan sekadar untuk lulus ujian,
bukan pula hanya mengajar bagi guru dan dosen, lalu lepas tanggungjawab.
Keuntungan setiap usaha
untuk mencari dan menyebarkan ilmu adalah sangat pribadi dan bernuansa teologis.
Menurut hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah, Sesungguhnya kebaikan yang
diamalkan oleh seorang manusia sangat tergantung pada tingkat akalnya [ilmu dan
pemahaman]. Annasu ya’maluna bil-khairi ‘ala qadri ‘uqulihim. Oleh sebab
itu, Islam meletakkan ilmu pengetahuan sebagai nilai tertinggi dalam sistem
tata nilainya.
Di Makassar, sebelum
penjajah masuk mencaplok, pada abad ke-16 dan 17 Masehi, budaya ilmu telah
berjalan walaupun belum ada SD, SMP, SMA, dan Universitas, pendidikan berjalan
di Istana, masjid, dan tempat-tempat umum.
Para penguasa kerajaan
kembar Gowa-Tallo dikenal dengan daya intelektualnya, mereka menguasai beragam
ilmu pengetahuan, termasuk kecakapan berbahasa asing. Sultan Alauddin dikatakan
memiliki kemampuan menulis bahasa daerah dan bahasa Arab yang sempurna,
pelanjutnya, Sultan Malikussaid, ia dapat menulis dan bertutur dengan bahasa
asing khususnya bahasa-bahasa Eropa.
Namun, menurut Leonard Y
Andaya, dalam disertasinya di Harvard University, “The Heritage of Arung
Palakka: A History of South Sulawesi [Celebes] in Seventeeth Century”
bahwa yang paling dikagumi oleh Barat dari segi intelektualitas penguasa
Gowa-Tallo adalah Karaeng Patingalloang, katanya, tidak hanya lancar berbicara
Portugis, Spanyol, Inggris, Prancis, dan Arab tapi dia juga menguasai sastra
dari bahasa-bahasa tersebut.
Seorang Jesuit yang
berkunjung ke Makassar, Alexander de Rhodes menulis tentang Karaeng
Patingalloang, Seorang yang bijaksana dan rasional, dengan minat tinggi dia
telah membaca seluruh sejarah raja-raja Eropa. Dia selalu membawa buku-buku
kita [Eropa], khususnya yang berhubungan dengan matematika yang sangat ia
kuasai. Dia juga sangat tertarik dengan seluruh aspek ilmu pengetahuan sehingga
dia mengerjakannya siang dan malam. Mendengarnya berbicara tanpa melihatnya,
orang akan menyangka dia seorang asli Portugis karena menggunakan bahasa ini
dengan amat lancar sebagaimana yang biasa kita dengar di Lisbon.
Karaeng Patingalloan
adalah tipe penguasa haus ilmu, koleksi buku-bukunya, terutama dari Eropa
begitu banyak, termasuk peta-peta dunia yang bergambar maupun yang globe.
Gambaran pemimpin berbudaya ilmu, terus menerus mempelajari dunia baru sebagai
kunci untuk menjadikan Gowa-Tallo sejajar dengan kota-kota metropolitan di
Eropa. Namun, setelah ia mangkat, Sultan Hasanuddin Naik Tahta, yang harus
berjibaku melawan gempuran Belanda dan penghianatan Arung Palakka, Gowa-Tallo
akhirnya takluk pada 18 Nopember 1667 di bawah “Perjanjian Bongaya”.
Sayangnya, saat ini,
kita di Makassar walaupun perguruan tinggi tumbuh laksana jamur di musim hujan,
namun sama sekali belum mampu mewujudkan budaya ilmu. Kendala utama adalah mindset
masyarakat kita yang terlalu pragmatis dan sekularis, kesuksesan selalu diukur
berdasarkan dengan materi, jabatan dan pangkat. Hal ini semakin diperparah
dengan keadaan politik yang carut-marut, memilih wakil dan pemimpin berdasarkan
pada materi sehingga yang terpilih bukan dinilai dari budaya ilmu yang mereka
miliki. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir, Peneliti
MIUMI dan Mahasiswa Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor.
dimuat Harian Tribun Timur, 25 April 2015
Comments