Tafsir Bukan Cocologi
Khatib salat
Jumaat, Ustad Rabuddin S.Ag mengungkapkan bahwa hancurnya gedung WTC telah
termaktub dalam al-Qur'an, begitu ia katakan di Masjid Gedung Balai
Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional V, Jl Adyaksa,
Makassar, Jumat (27/2/2015).

Rabuddin
melanjutkan, WTC runtuh memiliki beberapa kesamaan dengan Firman Allah dalam
al-Qur'an surah At-Taubah. Antara kesamaannya adalah: Tanggal 11 adalah tanggal
terjadinya tragedi WTC Dan surah At-Taubah terletak pada juz ke 11 di dalam
Al-Quran; Tahun terjadinya tragedi itu adalah tahun 2001, Dan jumlah huruf
dalam surat At-Taubah terdiri dari 2001 huruf, dan; Jumlah tingkat di gedung
WTC ada 109 tingkat, Dan firman Allah SWT tentang kejadian ini terletak pada
ayat ke 109 surat At-Taubah.
Sang dai lalu
mencocokkan dengan firman Allah dalam Al-Quran Surah At-Taubah Ayat 109 yang
artinya, “Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar
taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang- orang yang
mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh
bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak memberikan
petunjuk kepada orang-orang yang Zalim.” Benarkah demikian? Kita liat!
***
Ada beberapa
tingkatan dalam memahami al-Qur'an, yang paling rendah dan mudah untuk orang
yang tidak bertutur dengan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur'an adalah metode
terjemah, atau alih bahasa, dari Arab ke Indonesia, misalnya. Tahapan kedua
adalah tafsir, dan ketiga adalah takwil.
Untuk yang
pertama, tidak penting dibahas karena semua sudah mengerti apa itu terjemah, kitab
"al-Qur'an dan terjemahnya" sangat muda didapat, dibaca, dan
dimengerti. Ada pun jenis kedua, at-Tafsir, dari segi bahasa adalah "al-kasyf"
atau membuka yang tertutup, dikatakan demikian karena makna dalam al-Qur'an
sebagian masih tersirat dan tertutup. Dari segi istilah, tafsir adalah ilmu
yang berusaha mengetahui makna al-Qur'an baik ayat muhkamat (bernuansa hukum)
maupun mutasyabihat (abstrak) dengan menggunakan metodologi dan ilmu-ilmu
tertentu.
Karena itu, untuk
menafsirkan al-Qur'an ada dua perkara penting yang harus diketahui, pertama
adalah metodologinya dan kedua adalah ilmu-ilmu terkait dengan tafsir. Bahwa
menafsirkan al-Qur'an tidak bisa serampangan, harus ada aturannya, jika
metodologinya sudah salah, maka apa pun hasilnya akan dianggap tidak benar.
Para ulama tafsir sudah merumuskan bahwa, metode penafsiran bertingkat-tingkat,
yang paling bagus adalah menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an, artinya, dalam
sebuah ayat, tafsirannya dapat ditemukan pada ayat yang lain, metode ini
disebut, tafsir al-qur'an bil-qur'an,
atau istilah lainnya, al-qur'an yufassiru ba'duha biba'din,
al-Qur'an saling menafsirkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya,
al-Qura'an ditafsirkan dengan sunnah, tafsirul-qur'an
bis-sunnah. Sebagaimana diketahui bahwa fungsi utama diutusnya Nabi
Muhammad adalah menyampaikan wahyu al-Qur'an kepada umat Islam, maka, beliau
satu-satunya manusia yang paling paham isi kandungan al-Qur'an, dan karena itu,
beliau pula yang paling tau cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an.
Tingkatan
berikutnya, adalah menafsirkan al-Qur'an dengan merujuk pada perkataan para
sahabat Nabi, tabi'in, dan tabi' tabi'in. Mereka adalah, manusia-manusia yang
paling dekat dengan Rasulullah, dan paling tau bagaimana memahami ayat-ayat
yang susah dimengerti khususnya ayat mutasyabihat,
karena itu, merujuk kepada penafsiran mereka sebagai manusia yang terbaik di
generasi yang terbaik (khaerul qurun).
Yang terakhir
adalah, jika tidak menemukan tafsir dari ketiga metode di atas, maka, sebaiknya
merujuk kepada para kitab-kitab tafsir yang telah ditulis para ulama tafsir
muktabar yang jumlahnya tak terhitung, terutama yang berbahasa Arab, kita kenal
tafsir-tafsir klasik, Jami'ul Bayan
oleh Imam At-Thabari, Jami'ul Ahkam
oleh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qur'anul
azhim oleh Imam Ibnu Katsir, hingga karya para mufassir dari anak bangsa
seperti, Al-Furqan oleh A. Hassan, An-Nur oleh TM Hasbi Ash-Shiddiqi, Al-Azhar oleh Hamka, hingga Al-Misbah oleh M Quraish Shihab.
Kalau ternyata,
ingin menafsirkan sendiri ayat-ayat al-Qur'an maka kuncinya harus menguasai
ilmu-ilmu tertentu yang berhubungan dengan al-Qur'an, seperti, Bahasa Arab
meliputi, Nahwu [gramatika], Sharf [morfologi], Balaghoh [komunikasi] yang
terdiri dari tiga cabang ilmu, Bayan, Badi', Ma'ani, Asbabun-Nuzul [latar
belakang diturunkannya ayat], Tarikh at-Tasryri' [sejarah tasyri'], Nasikh wal
Mansukh [ayat-ayat terhapus dan yang menghapus], harus pula didukung dengan
ilmu-ilmu lain seperti, Hadis dan Ilmu Hadis, Fikih dan Ushul-Fikih, dan Sirah
Nabi.
Dengan metode dan
syarat ketat yang telah disepakati para ulama muktabar di atas sehingga tafsir
adalah ilmu yang menurut Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam "The Concept of Educatian in Islam: A
Framework for an Islamic Philosofhy of Education, 1980" adalah
kebenarannya hampir sama dengan ilmu pasti, ia menulis, Karena sifat ilmiah
struktur bahasa Arab sehingga ilmu yang pertama berkembang dalam Islam adalah
ilmu tafsir. Jenis tafsir al-Qur'an beda dengan Hermaneutika Yunani atau
Hermaneutika Kristen, juga tidak sama dengan sains atau ilmu penafairan kitab
suci agama atau kebudayaan lain mana pun. Di dalam tafsir tidak ada tempat bagi
sangkaan atau dugaan, tidak ada tempat bagi penafsiran yang didasarkan pada
tanggapan-tanggapan subyektif atau pemahaman-pemahaman yang didasarkan hanya
pada gagasan tentang reletivisme historis yang memnganggap bahwa perubahan
semantik seakan -akan telah terjadi di dalam struktur konseptual kata-kata dan
istilah yang membangun kosa kata teks suci tersebut.
***
Penting
dicatat bahwa Al-Qur'an diturunkan
dengan misi dan tujuan utama adalah, Hudan
lil-muttaqien, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa; Hudan linnas, petunjuk bagi segenap umat
manusia; Basyiran, berupa kabar
gembira, khususnya bagi umat Islam yang melaksanakan petintah Allah dan
menjauhi larangan, akan dimasukkan ke dalam surga; Naziran, peringatan, khususnya bagi yang tidak taat pada Allah
(kafir) atau orang Islam yang bermaksiat. Seperti berbuat syirik, zalim,
munafik dan semisalnya, akan diberi hukuman di akhirat kelak berupa siksa
neraka; dan Al-Furqan, atau pembeda antara yang hak dan yang batil.
Dan yang
terpenting, sebagaimana juga yang pernah dikemukakan Syekhul Azhar di Mesir,
Mahmud Syaltut, agar umat Islam tidak muda mengait-ngaitkan fenomena alam dan
kejadian-kejadian yang ada dengan ayat-ayat Al-Qur'an karena itu akan mereduksi
fungsi utama al-Qur'an.
Dan tentu saja,
bagi saya pribadi, tidak ada manfaatnya mengait-ngaitkan meledaknya menara
kembar WTC dengan al-Qur'an, bahkan hanya akan menghilangkan fungsi utama al-Qur'an
sebagai kitab wahyu. Al-Qur'an bukanlah kitab informasi!
Namun, andai
sangkaan Rabuddin itu benar, maka sangat mungkin ulama tafsir muktabar zaman
ini yang masih hidup akan mengemukakan hal itu, karena mereka lebih tau dan
paham ilmunya, sebutlah misalanya, mufassir kontemporer Prof. Wahbah az-Zuhaili
dari Damaskus yang menulis "Tafsir
al-Munir", Syekh Ali ash-Shobuni "Shofwah at-Tafasir" dari Saudi Arabia, hingga Prof. Quraish
Shihab penulis tafsir "Al-Misbah" dari Indonesia.
Kesimpulan saya,
semua apa yang disampaikan sang ustad tentang ayat yang berhubungan dengan
rontoknya gedung WTC hanya berada pada taham dugaan (wahn), yang tahap kebenarannya sangat meragukan dan tidak bisa
dijadikan sebagai sebuah keyakinan yang bersumber dari ilmu yang jelas.
Jadi, saya
tegaskan apa yg disampaikan hanyalah berupa mencocok-cocokkan lebih tepatnya, menurut
istilah anak muda sekarang "cocologi", bukan melalui metodologi
penafsiran yang tertuang dalam ulumut-tafsir, ilmu dan tatacara menafsirkan
Al-Qur'an.
Kalau
metodologinya saja sudah salah, panti hasilnya akan salah. Rabuddin S Ag,
menafsirkan Al-Qur'an juga bukan dengan bersandar pada ilmu tafsir yang menjadi
prasyarat seorang mufassir, baik bil-ma'tsur
(bersandar pada riwayat-riwayat ulama) maupum bir-ra'ye (bersandar pada pendapat dengan ilmu
yang benar). Dan ini adalah masalah serius yang seharusnya tidak terjadi,
karena siapa saja yang menafsirkan al-Qur'an mengedepankan akal dan pendapatnya
tanpa melalui ilmu dan metode yang benar, maka hendaklah ia menyiapkan
tempatnya di neraka. Man fassaral-Qur'an
bira'yihi fal-yatabawa' maq'adahu minan-nar. Begitu Nabi mengancam lewat
sabdanya yang diriwayatkan Imam Tarmizi dan Nasai.
Al-Zarkasyi dalam al-Burhan
berkata, "Ketahuilah bahawa tidak tercapai pemahaman makna wahyu dan nyata
segala rahasianya sedangkan dalam hatinya terdapat unsur bida'ah, takabbur,
hawa nafsu, cinta dunia atau yang selalu melakukan maksiat, atau tidak mentahqiq
iman atau tahqiq yang lemah atau bergantung kepada pendapat mufassir tanpa ilmu
atau kembali kepada akalnya. Ini semua adalah penghalang dari tafsir."
Para ulama meyakini
bahwa al-Quran dan Hadis adalah hak Allah dan Rasullah. Barangsiapa yang
mentafsir dan mentakwil hanya bersandarkan akal fikiran dan hawa nafsunya tanpa
memutuskan dengan apa yang dikehendaki Allah dan merujuk kepada keterangan
ulama muktabar adalah batil. Wallahu
A'lam!
Enrekang, 8 Maret,
2015.
Dimuat
TRIBUN TIMUR, 13 Maret 2015
Ilham Kadir, Pengurus KPPSI Pusat & Kandidat
Doktor Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun, Bogor.
Comments