Rihlah Ilmiah Prof Wan Mohd Nor Wan Daud di Makassar
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud lahir di Klantan tahun
1955. Seorang ulama
yang intelek, ahli filsafat, pakar dan praktisi pendidikan,
juga aktivis dan penyair. Sejak 2008-2011, ia bekerja sebagai Ketua Peneliti di
Institut Dunia dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).
Ia juga merupakan pendiri Centre for
Advanced Studies on Islam, Science and Civilization (CASIS) University
Teknologi Malaysia (UTM) 2011. Prof Wan, demikian panggilan akrabnya, adalah
lulusan S1 bidang biologi dan S2 konsentrasi pada kurikulum pendidikan (curriculum and instruction) di Northern
Illinois University, dan alumni doktoral di University of Chicago Amerika
Serikat dengan kajian Niear Eastern
Language and Civilization. Beliau dengan Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas
adalah pendiri International Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC) dan menjadi wakil direktur tahun
1988-2002.
Prof Wan telah menulis lebih dari 20 buku yang
diterbitkan lintas negara, selain makalah, jurnal, dan artikel lepas di
berbagai media. Karya-karyanya lebih banyak berbahasa Inggris dan diterjemahkan
ke berbagai bahasa, seperti Melayu, Indonesia, Jepang, Persia, Rusia, Bosnia,
Turki, Mandarin, Arab, dan Macedonia. Ia juga telah malang melintang dalam
dunia intelektual, memaparkan makalah di berbagai forum ilmiah di luar negeri,
seperti Amerika Serikat, Rusia, Iran, Indonesia, Afrika Selatan, Pakistan,
Sudan, Oman, Arab Saudi, Mesir, Jepang, Bosnia, New Zealand, Australia, dan
Singapura.
Karena itu, maqam intelektualnya telah diakui oleh
para pemikir Barat maupun Timur, Islam maupun non Islam, Syiah maupun
Ahlussunnah, dst. Ide-ide segarnya, terutama yang berhubungan dengan islamisasi
ilmu kontemporer terus diperbincangkan. Saat ini, setelah wafatnya Ismail Raji
Al-Faruqi (1921-1986), dan lengsernya Al-Attas sebagai pimpinan ISTAC, dapat
dikatakan, jika Prof Wan adalah pemasar utama islamisasi ilmu di era millenium
saat ini.
Secara pribadi, karya Prof Wan yang paling berpengaruh
dan merubah arah mindset saya adalah, "Budaya
Ilmu: Satu Penjelasan, Singapura, 2007", dan yang sangat berkesan
dalam wacana intelektual adalah, "The
Educational Philosophy and Methodology of Syed Muhammad Naquib Al-Attas: An
Exposition on the Original Concept of Islamization, Kuala Lumpur, ISTAC,
1998".
Sebelumnya, saya belum terpikir jika pemikir besar
sekaliber Prof Wan dapat bertemu dan berdiskusi dengannya. Karena itu, ketika
mendengar kabar bahwa beliau hendak ke Makassar untuk awal kalinya dan akan membawakan
kuliah umum di Universitas Negeri Makassar (UNM) pada tanggal 19 Januari 2015
dalam program "One Asia", maka saya berusaha mengoptimalkan
kedatangannya.
Prof Wan datang bersama Prof (madya) Dr. Syamsuddin
Arif pada tanggal 16 Januari. Maka, beberapa rangkaian acara diadakan sebelum
ia mengisi acara inti di UNM. Termasuk kuliah umum di Unismuh Sabtu 17 Januari.
Sedang pada hari berikutnya, 18 Januari, diadakan diskusi ilmiah dengan tema
"Islamisasi Ilmu Kontemporer", mendaulat Prof Wan sebagai Keynote
Speaker, Dr. Adian Husaini membawakan materi "Tantangan Liberalisasi Dalam
Dunia Pendidikan", dan Prof (madya) Dr. Syamsuddin Arif "Konsep Ilmu
Sebagai Dasar Pendidikan", berlangsung di Aula Aksa Mahmud Lantai-9, Universitas
Bosowa 45 Makassar.
***
Selama saya mendampingi Prof Wan di Makassar, mulai
hari Ahad sampai hari Rabu, 18-21 Januari 2015. Kami selalu berdiskusi berbagai
hal di berbagai tempat sekitar Makassar. Baik dalam Warkop (Warung Kopi),
mobil, restoran, hingga di hotel Grand Clarion Makassar.
Dalam berdiskusi, kadang hanya kami berdua, kadang
pula beberapa pemikir, seperti Dr. Adian Husaini, Dr. Syamsuddin Arif, dan Drs
Waspada Santing. Di lain waktu, kami bertiga, bersama Prof Wan, dan Azhar Aziz,
pimpinan redaksi INILAH SULSEL yang akan segera terbit.
Karena itu, beberapa poin penting diskusi kami bersama
Prof Wan menarik untuk dibagi bersama, agar menjadi informasi dan ilmu yang
bermanfaat. Antara lain:
Pertama. Inklusif berprinsip. Merupakan islamic worldview, suatu pemandangan
alam Islam yang mendudukkan umat Islam sebagai umat yang terbuka untuk
melakukan interaksi (muamalat) dengan siapa pun, termasuk dari luar golongan
umat Islam. Menghargai mereka selama mereka menghargai kita, hormat
menghormati, bahkan saling tolong menolong dalam kebaikan. Banyak
prinsip-prinsip kebaikan dan kebenaran yang menjadi kesepakatan antarsesama
manusia, dan selama itu tidak bertentangan dengan agama Islam, maka
prinsip-prinsip tersebut harus dipertahankan. Kita tidak boleh anti Barat, selama
itu tidak bertentangan dengan agama dan budaya kita.
Suatu ketika, kata Prof Wan, saya ditanya, apakah
Mother Theresa akan masuk neraka padahal hidupnya ia persembahkan untuk agama
Kristen dan selalu melakukan kebaikan universal? Maka, Prof Wan menjawab, Itu
hak Allah subhanahu wata'ala, tetapi bukan itu masalahnya, apakah ia masuk
neraka atau surga. Masalahnya adalah, Bunda Teresa tidak akan pernah mau masuk
dalam surga umat Islam yang disebut "Jannah" sebab, dalam surga, di
sana ia akan menemukan Isa 'alaihissalam sebagai nabi, bukan anak Tuhan,
sementara dalam hidupnya, ia meyakini bahwa anak Tuhan yang selama ini ia
sembah dan berbakti padanya adalah Yesus, alias Nabi Isa dalam pandangan Islam.
Karena itu, prinsip orang Islam, hanya takut masuk neraka yang disebut
"nar" atau "jahannam, dan jenis lainnya" bukan konsep
neraka menurut agama dan keyakinan lain. Islam sebagai agama wahyu memiliki
perbedaan mendasar terkait konsep surga dan neraka sebagaimana yang diyakini
agama budaya atau kepercayaan selain Islam.
Di sinilah pentingnya worldview "inklusif berprinsip", boleh berinteraksi
bahkan meyakini dan menerima keberadaan agama lain, tanpa meyakini
kebenarannya. Kita harus berkerjasama dalam medan etika dan kehidupan berbangsa
selagi tidak menyalahi akidah, akhlak dan Syariah, begitulah prinsip kita sebagai
umat Nabi Muhammad.
Kedua. Konsep manusia. Prof Wan telah menjawab dengan
tuntas perdebatan tentang konsep manusia yang sering berlaku di kalangan
intelektual Islam. Prof Wan, mengutip pendapat Al-Attas yang menjabarkan
pandangan Al-Gazali terkait konsep manusia. Bahwa, manusia adalah perpaduan
Jiwa dan Raga alias Ruh dan Jasad. Jiwa adalah istilah lain dari ruh, dan jasad
sinonim dengan raga. Ruh memiliki tiga bagian utama, yaitu akal, kalbu, dan
nafsu. Masing-masing dari tiga unsur ruh tersebut melakukan tugasnya. Ketika
berbicara tentang sains dan teknologi, maka ruh akan diwakili dan bertindak
sebagai akal, ketika membahas tentang agama, maka ruh akan diwakili dan
bertindak sebagai hati atau qalb, dan ketika berbicara tentang syahwat, cinta
dunia, jabatan, dan semisalnya, maka ruh diwakili dan bertindak sebagai nafsu.
Sebuah kezaliman jika menempatkan keyakinan agama pada akal dan nafsu.
(bersambung)
Ketiga. Konsep Imamah menurut Syiah. Prof Wan adalah
ilmuan masa kini yang kerap kali tampil berbicara di forum-forum internasional,
termasuk di Iran, bahkan ketika di ISTAC ia mempekerjakan beberapa dosen dari
Iran yang berpaham Syiah. Karena itu banyak yang mempertanyakan, mengapa ISTAC
mau mengundang dosen-dosen yang beraliran Syiah? Prof Wan menjawab dengan
tuntas. Bahwa, keberadaan beberapa intelektual dan pakar dari Iran adalah murni
masalah akademis, atau untuk mengajarkan mata kuliah tertentu, sepeperti sains,
filsafat, dan bahasa Persia, di antara para pakar itu adalah, Prof. Mehdi
Mohaghegh dan Prof. Amad Kazemi. Kedatangan mereka mengajar di ISTAC juga di
bawah supervisi beliau, tidak boleh menyebarkan dan mengajarkan faham keliru mereka,
dan karena itu, keberadaan mereka terjamin tidak akan menyebarkan ajaran Syiah.
Bahkan, menurut Prof Wan, banyak perkara yang sama antara Syiah dan
Ahlussunnah, baik terkait keyakinan, maupun terkait denga masalah syariat dan
akhlak. Tapi, yang paling membedakan dia antara mereka adalah akidah imamiyah.
Dengan adanya konsep imamiyah inilah sehingga Syiah dan Ahlussnnah tidak akan
bersatu, inilah perbedaan paling prinsipil menurut Prof Wan.
Bagi saya pribadi, ini adalah pernyataan tokoh yang
dekat dengan Syiah paling penting. Karena beberapa intelektual maupun ulama
nasional dan internasional memahami bahwa konsep imamah dalam Syiah hanyalah
bagian dari furu' alias ranting belaka. Bagi guru besar alumnus Chicago
University ini, konsep imamah bagi Syiah terbagi dua, satu berimplikasi pada
kekufuran dan satu lagi sesat dan menyesatkan. Yang pertama adalah, golongan
menganggap bahwa Jibril salah membawakan wahyu kepada Nabi Muhammad yang
seharusnya diberikan kepada Ali. Golongan ini, tidak diragukan lagi sebagai
kolongan yang kafir karena tidak mengakui kenabian Muhammad sebagi Rasulullah.
Kedua, golongan yang menyatakan bahwa Imam Ali lebih mulia dari sahabat Nabi
lainnya terutama Abu Bakar, Umar dan Usman. Ketika Nabi wafat, dan tampuk
kepemimpinan dikendalikan oleh Abu Bakar as-Siddiq, maka para sahabat pun
membai'at Abu Bakar. Namun, dalam pandangan Syiah, para pembai'at Abu Bakar,
terutama Ali hanyalah sebagai kepura-puraan. Karena itu, secara de facto,
kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Usman tidak pernah sah bagi kaum Syiah.
Menurut Prof Wan, jika hal itu terjadi, maka,
Rasulullah selama kenabiannya telah gagal mendidik para sahabatnya sebagai
murid-murid yang saleh, sebab hanya melahirkan manusia-manusia munafik. Tidak
hanya itu, kerasulan Nabi Muhammad juga dipertanyakan, sebab dialah yang paling
tau tentang ciri-ciri orang munafik yang diajarkan oleh Allah melalui wahyu,
bahwa orang munafik itu, jika berkata berbohong, jika berjanji ingkar, dan jika
diberi amanat ia khianat. Nah, jika dia saja tidak dapat mengenal sahabatnya
sebagai manusia munafik maka itu sebuah kegagalan besar pada diri Nabi.
Akan semakin sulit menerima argumen Syiah, lanjut Prof
Wan, sebab, jika sahabat-sahabat terdekat Nabi, seperti Abu Bakar, Umar, dan
Utsman dianggap munafik, maka kenapa Nabi justru menjadikan mereka mertua dan
menantu. Abu Bakar adalah mertua Nabi, sebab Aisyah binti Abu Bakar adalah
istrinya, demikian pula Umar. Rasulullah menikah dengan Hafsah putri Umar, ada
pun Ustman dan Ali mereka berdua adalah menantu Nabi (Utsman menikah dengan
kedua putri Nabi, Ruqayyah dan Ummu Kaltsum sedangkan Ali menikahi Fatimah).
Tentu saja, jika ada yang bersifat dan berciri-ciri munafik, Nabi tidak akan
menjadikan mereka mertua apalagi menantu. Papar penulis buku, "Budaya
Ilmu: Suatu Penjelasan" itu. Maka, argumen-argumen Syiah terkait konsep
imamah sama sekali tidak dapat diterima, baik dari sisi akal apalagi nash.
Perlu dicatat bahwa Prof Wan adalah satu-satunya
pemikir kontemporer selain Prof. Naquib Al-Attas sebagai penulis yang berasal
dari Nusantara yang karya-karyanya banyak yang diterjemahkan dalam bahasa
Persia (Iran).
Keempat. Mengapresiasi Berdirinya Pusat Kajian Syekh
Yusuf Al-Makassari. Lembaga ini bertujuan sebagai pusat penelitian dan
pengkajian Islam yang komprehensif, dilengkapi dengan berbagai buku rujukan
yang mumpuni, dipadu dengan sistem informasi yang mutakhir. Prof Wan menilai
bahwa pusat-pusat keilmuan harus didirikan agar menjadi tempat untuk melakukan
berbagai aktifitas intelektual dan keulamaan, dan itu harus ditopang dengan
ketersediaan buku referensi. Penting diingat bahwa Prof Al-Attas dan Prof Wan
telah membuktikan ketika mendirikan ISTAC di Bukit Damansara Kuala Lumpur
Malaysia, dan menjadikan perpustakaannya sebagai perpustakaan terlengkap di dunia
dalam bidang islamic study. Dengan limpahan buku-buku referensi itu, sehingga
para ilmuah sejagad datang untuk melakukan penelitian sekaligus mengajar di
ISTAC. Sejak tahun 2002 jumlah koleksi perpustakaan ISTAC berjumlah 157.000
buku, 45.000 di antaranya terdiri dari manuskrip (naskah kuno), koleksi
karya-karya langka (rare books) juga banyak tersedia. Termasuk koleksi pribadi
berbagai tokoh dan ilmuan, misalnya, koleksi Fazlur Rahman, Bertold Spuler,
Oleg dan Andre Graber, Bradenburg, dan Swann. Terdiri dari berbagai bahasa
seperti, Arab, Inggris, Jerman, Prancis, Persia, Greek-Latin, Rusia, Bosnia,
Urdu, dan Indonesia. Prof Wan menilai, Makassar dapat melanjutkan tradisi ISTAC
dengan mendirikan pusat kajian seperti itu, apalagi jika dipadukan dengan nama
Al-Makassari yang merupakan ulama dan pejuang ulung nusantara.
Pada awalnya gagasan Pusat Studi Syekh Yusuf muncul
dalam perbincangan Badan Pengurus Harian (BPH) Universitas Bosowa 45 (UB 45)
dengan Dr. Adian Husaini & Dr. Indra di UB 45 Senin (18/1/2015) siang.
Semula, Drs Waspada Santing mengemukakan gagasan bahwa pihak universitas akan
membentuk Pusat Studi Islam (Pusdilam). Lalu Dr. Adian menyarankan agar memakai
nama 'Syekh Yusuf Al-Makassari'. Drs Waspada lalu mempertegas nama tersebut,
Ketua BPH Dr. Sutrisno menyarankan nama 'Pusat Studi Syekh Yusuf Al-Makassari'
yang menjadi kesepakatan. Dr. Adian memambahkan, itu gagasan menarik. Kalau
terwujud, UB 45 dapat menjadi pusat kajian Syekh Yusuf. Dr. Sutrisno berharap
agar pusat kajian tersebut dapat dilaunching saat Disnatalis UB 45 April 2015.
Drs. Waspada lalu menyampaikan gagasan itu ke Prof. Wan saat menemani beliau
santap pagi Selasa, (19/1/2015) dan ia sangat mengapresiasi. Bahkan pendiri
ISTAC itu bersedia hadir saat launching
untuk membawakan orasi ilmiah.
Ketika melakukan ziarah ke makam Syekh Yusuf
Al-Makassari, Dr. Adian, juga sangat kecewa ketika menyaksikan pusara orang
mulia itu dijaga manusia-manusia berprilaku tidak mulia, memalak para peziarah.
Bahkan ketika Prof Wan hendak memasukkan uang dalam kotak amal malah dilarang,
lalu memaksanya untuk menyetor recehan padanya oleh para penjaga makam yang tak
jelas, di lain pihak Dr Adian dikejar-kejar hingga ke mobil oleh penunggu
sepatu untuk menagih 'uang tunggu sepatu', sebuah pemandangan yang sangat
memalukan di Butta Gowa. padahal mereka datang dengan tujuan mulia, ingin
berziarah, mendoakan, dan meneliti. Pemerintah Daerah harus segera bertindak
jika tidak ingin nama mereka tercoreng.
Akan menjadi sebuah penghinaan terhadap ulama, jika menyebut
kuburan Syekh Yusuf justru yang terlintas adalah preman yang menguasai
kuburannya. Kita harus membuang stigma itu dengan mendirikan pusat kajian Islam
Syekh Yusuf di Makassar. Ketokohan beliau sudah menjadi garansi di dunia Islam,
karya-karyanya terus hidup dan berkembang kendati telah terkubur ratusan tahun
lalu. Prof Wan sendiri sudah berziarah ke makam Al-Makassari di Cape Town
Afrika Selatan, dan Banten, sedang kuburan yang berada di Makassar adalah
kuburan ketiga Al-Makassari. Wallahu A'lam!
Enrekang, 23 Januari 2015.
dimuat GO CAKRAWALA 30 Januari 2015.
Ilham Kadir, Peneliti MIUMI, Mahasiswa Doktor
Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor.
Comments