Mengurai Makna Ilmu
Kata "ilmu" walaupun berbahasa
Indonesia, pada hakikatnya berasal dari bahasa Arab. Barupa rangkaian tiga
huruf, yaitu, 'ain, lam, dan mim. Melihat karakter ketiga hurufnya saja, para ulama bahasa sudah
mengkaji dan meneliti secara filosofis. Huruf hija'iyah memang beda dengan
abjad mana pun yang ada atau pernah ada dalam peradaban manusia, sebab itulah
bahasa Arab menjadi bahasa mukjizat Al-Qur'an.
Huruf "'ain" memiliki bentuk seperti mulut menganga, dan memang cara
pengucapannya harus dengan menganga pula karena suara 'ain keluar dari tenggerokan.
Ini bermakna bahwa seorang penuntut ilmu harus selalu dalam kondisi kelaparan
dan kehausan untuk mendapatkan ilmu. Sementara huruf "lam" yang berdiri tegak dan kokoh melambangkan ketinggian,
keagungan, dan kemuliaan, sebagaimana yang dimiliki orang berilmu. Sedang huruf
"mim" yang melengkung ke
bawah menandakan akan ketawadhuan dan kerendahan. Persis seperti padi, makin
berisi makin tunduk, begitulah karakter orang berilmu sesungguhnya.
Ditilik dari sudut bahasa, "al-'ilmu" adalah lawan kata "al-jahl"
atau kebodohan, yaitu mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya,
dengan pengetahuan yang pasti.
Secara istilah, "al-'ilmu" adalah "al-ma'rifah"
alias pengetahuan. Ulama salaf, seperti Ibnu Taimiyah (wafat 728 H)
medefinisikan ilmu sebagai, apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang
bermanfaat adalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW, namun ada ilmu yang tidak
berasal dari Nabi, tapi dalam urusan duniawi sangat bermanfaat seperti,
kedokteran, ilmu hitung, pertanian, dan perdagangan.
Sedangkan Imam Al-Auza'I (wafat 157 H)
mengatakan, Ilmu adalah apa yang datang dari para sahabat Nabi Muhammad SAW,
ada pun selain mereka, bukanlah ilmu. Pendapat ini, hampir sama dengan Ibnul
Qayyem, katanya, Ilmu adalah firman Allah, sabda Rasulullah, dan perkataan para
sahabat. Tentu saja definisi ini hanya sebatas ilmu-ilmu agama (syar'i) bukan
berkaitan dengan ilmu profan seperti filsafat, sains, seni, dan semisalnya.
Para ulama mendifinisikan ilmu dengan mengukur dari pribadi, posisi, dan
sumbangsih mereka terhadap umat.
Ada pun Ibnu Rajab (wafat 795 H) menelisik
ilmu dari segi kemanfaatan, bahwa ilmu yang bermanfaat akan menuntun kepada dua
perkara: pertama, mengenal Allah ta'ala dan segala apa yang menjadi hak-Nya
berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang tinggi, dan perbuatan-perbuatan
yang agung. Hal ini mengharuskan adanya pengagungan [ta'zhim], rasa takut
[al-khauf], cinta [mahabbah], harap [raja'], dan tawakkal kepada Allah serta
ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allah timpakan. Kedua,
mengetahui segala apa yang diridhai Allah, sebagaimana ia harus mengetahui apa
yang dibenci dan dimurkai-Nya berupa keyakinan, perbuatan lahir-batin, serta
ucapan. Jika ilmu telah menghasilkan dua perkara di atas, maka inilah ilmu yang
bermanfaat. Jika ilmu itu bermanfaat dan menancap dalam hati, maka sungguh,
hati akan merasa khusyu', takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allah SWT.
Akhirnya, jiwa akan merasa cukup dan puas dengan sedikit yang halal dari dunia,
serta merasa kenyang dengannya sehingga hal itu menjadikan qana'ah dan zuhud di
dunia.
Ibnu Rajab nampaknya sedang membangun
korelasi antara ilmu dan gaya hidup, dan inilah sisi lain efek dari ilmu yang
mengubah pola pikir dan arah hidup seseorang.
Syekh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin
(wafat 1421 H) mendefinisikan ilmu adalah 'mengetahui sesuatu dengan
pengetahuan yang sesungguhnya'.
Sedangkan Ustad Yazid bin Abdul Qadir Jawwas hafizahullah, membagi ilmu menjadi enam
tingkatan. Pertama, "Al-'Ilmu", mengetahui sesuatu dengan
pengetahuan yang pasti. Kedua, Al-Jahlul basith, yakni tidak mengetahui sama sekali. Ketiga, Al-Jahlul
murakkab, bodoh quadrat, berupa
mengetahui sesuatu tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Disebut quadrat
(berlipat) karena yang bersangkutan memiliki dua kebodohan, pertama bodoh
karena tidak mengetahui masalah sesungguhnya, dan kedua, bodoh karena
beranggapan bahwa dirinya tahu padahal sebenarnya tidak tahu, (la yadri annahu la yadri). Keempat, Al-Wahn,
yakni mengetahui sesuatu dengan kemungkinan salah lebih besar daripada
benarnya. Prosentase benar 30 persen berbading salah 70 persen. Kelima, Asy-Syak, mengetahui sesuatu dengan
kemungkinan benar atau salahnya sama: 50-50. Keenam, Azh-Zhann, mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya lebih besar
ketimbang salahnya: 70-30.
Sebab ilmu adalah sebuah kepastian, karena
itu pula dinamai juga sebagai "al-yaqien" alias keyakinan. Dan,
kepastian, kebenaran, dan haqqul yaqien semua manusia tahu jika suatu saat ajal
akan menjemputnya, maka ajal pun dinamai "al-yaqien". Begitulah yang
termaktub dalam Firman Allah (QS. Al-Hijr[15]: 99), Wa'bud rabbaka hatta ya'tiaka al-yaqien. Sembahlah Tuhanmu sampai
datang kepadamu al-yaqien [ajal].
Secara umum, ilmu terbagi menjadi dua, dharuri dan nazhari. Pertama berarti pengetahuan yang dapat diperoleh secara
langsung tanpa memerlukan penelitian dan dalil, seperti api itu panas, es
dingin, akar beda dengan ular, batu tidak sama dengan kue bolu, dan sejenisnya.
Kedua, pengetahuan yang biasa diperoleh dengan cara melakukan penelitian dengan
dalil, misalnya pengetahuan tentang wajibnya niat sebelum berwudhu, syarat dan
rukun menikah, hingga tata cara masuk-keluar WC, yang terakhir adalah bagian
dari ilmu dan aturan agama yang dipandang sangat mudah dipahami dan
dilaksanakan. Wallahu A'lam!
Enrekang, 2 Maret 2015.
Dimuat di Koran Inilahsulawesiselatan, Jumat 6 Maret 2015
Oleh. Ilham Kadir, Pakar Pendidikan Islam
Comments