Kecerdasan Imam Abu Hanifah, dan Kesesatan Syiah

Sebelum menjawab
pertanyaan yang rumit (complicated question) di atas, Abu Hanifah melihat pada
hadirin lalu berkata, "Jika menurut kalian, bagaimana?" Para hadirin
menjawab, "Orang itu jelas kafir!". Mendengar jawaban mereka, Abu
Hanifah tersenyum sejenak, lalu berkata, Itu adalah tanda orang mukmin.
Mendengar jawaban Sang Imam, para hadirin keheranan dan berkata, Kenapa bisa
begitu?
Abu Hanifah
menjawab, Yang dimaksud aku tidak mengharap surga dan tidak takut pada neraka
itu benar, karena ia berharap dan takut hanya kepada Pencipta surga dan neraka.
Yang dimaksud aku suka memakan bangkai dan darah itu berarti ia memakan bangkai
ikan dan belalang serta memakan hati dan limpa.
Yang dimaksud aku
membenarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika berkata bahwa mereka tidak
akan selamat. Yang dimaksud aku benci terhadap sesuatu yang hak (benar) itu
artinya ia membenci kematian, karena datangnya kematian merupakan sesuatu yang
benar. Yang dimaksud aku lari dari rahmat Allah adalah lari ketika kehujanan
dan hujan merupakan rahmat Allah.
Yang dimaksud aku
juga meminum khamar adalah ia juga meminum khamar pada saat darurat. Yang
dimaksud aku mencintai fitnah adalah ia mencintai harta dan anak, padahal
keduanya fitnah. Allah berfirman, Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah
fitnah. Innama amwalukum wa auladukum fitnah. Yang dimaksud aku bersaksi
terhadap sesuatu yang tidak kulihat artinya, ia bersaksi kepada Allah, para
malaikat, para nabi dan rasul, padahal ia tidak melihatnya.
Yang dimaksud aku
salat tanpa wudhu adalah ia membaca shalawat kepada Nabi tanpa perlu berwudhu.
Yang dimaksud aku tidak mandi setelah mengalami junub artinya ketika ia tidak
menjumpai air untuk mandi. Dan yang dimaksud aku senang membunuh manusia adalah
ia senang membunuh orang-orang kafir, karena Allah menyebut orang-orang kafir
sebagai manusia juga, Sesungguhnya manusia (orang-orang kafir) telah
mengumpulkan pasukan untuk menyerangmu (Muhammad). (QS. Ali Imran: 173).
***
Banyak hikmah yang
dapat dipetik dari kisah Imam Abu Hanifah di atas. Beliau memang dikenal
sebagai ahlul ra'yi, atau banyak menggunakan logika dan filsafat dalam
memecahkan masalah-masalah yang rumit dan terjadi di sekitarnya.
Patut dicatat,
pengasas Mazhab Hanafiah itu hidup di Basrah atau Irak saat ini, yang
bersentuhan langsung dengan orang-orang asing dari bangsa Persia yang terkenal
dengan kecerdasan dan logikanya. Karena itu, pertanyaan-pertanyaan seperti di
atas tidak mungkin diselesaikan hanya dengan menghafal dalil Al-Qur'an dan
Hadis melainkan harus dipadu dengan menggunakan mantiq dan filsafat.
Maka, seorang
ulama, tidak semestinya hanya menguasai ilmu-ilmu turats terkait Al-Qur'an,
Hadis, dan Fikih, tapi sebaiknya turut mempelajari mantik atau filsafat sebagai
seni menjawab pertanyaan yang tak terduga, atau memecahkan masalah yang rumit.
Kecuali itu, akan
lebih sempurna jika seorang da'i memiliki ilmu psikologi, sebagaimana Imam Abu
Hanifah di atas, jadi seorang penanya tidak mesti ia belum tahu jawabannya,
namun boleh jadi ia hanya menguji, sejauh mana pengetahuan kita terkait
soal-soal yang tak terbayangkan sebelumnya, dan seperti apa jawabannya.
Tak kalah
pentingnya, ketika tidak bisa menjawab, katakan saja, Saya belum tau, karena
itu lebih baik daripada menjawab dengan ngawur. Jika itu terjadi, maka ada dua
implikasinya: merendahkan diri sendiri di hadapan penanya; dan dapat
menyesatkan orang lain, sehingga malahirkan jariatus-su', saham dosa yang terus
berjalan.
Bahkan Imam Malik,
suatu ketika didatangi seorang lelaki, dan menanyakan suatu masalah. Imam Malik
menjawab, Aku tidak tahu jawabannya. Lelaki itu menjawab, Aku berangkat
jauh-jauh dari daerah lain hanya untuk menanyakan masalah ini padamu! Dengan tenang,
Imam Malik menjawab, Kalau begitu, jika kamu sudah kembali ke daerahmu,
beritahukan saja kepada mereka bahwa aku tidak tahu jawabannya, (Mahmud
Musthafa Sa'ad & Nashir Abu Hamid, Golden Story [terj.], 2013).
Begitulah para
ulama umat ini dalam menyalakan cahaya agama, kisah-kisah mereka terus aktual
dari masa ke masa. Tugas kita, menyebarkan cerita penuh nilai ini kepada
generasi masa kini, generasi cyber yang suka hura-hura dan huru-hara,
mengabaikan ilmu, dan tidak menghargai para ulama.
Namun justru di
situlah tantangannya, pahala besar menanti bagi para juru dakwah, juru selamat,
pro syariat, para pencerah, anti maksiat, anti kemungkaran, anti kesesatan, dan
selalu membela arajan Islam yang murni, Ahlussunnah wal-Jama'ah, sambil melawan
para penyesat berkarakter iblis, menarik pada sisi lahiriyah, namun intinya
busuk, mereka itulah yang dikenal dengan Syiah Imamiyah, komuditas ekspor nomor
satu negara Iran, negara tempat bersemayan para setan berwujud manusia. Wallahu
A'lam!
Setu-Bekasi, 23
Sep. 2014.
dimuat di Harian Go Cakrawala 20 Maret 2015
Ilham Kadir, Peneliti MIUMI Pusat dan Sulsel
Comments