Bersuci Menurut Sunnah
Ilmu fikih
menamainya "thaharah" atau bersuci sebagai syarat untuk melaksanakan
ibadah-ibadah utama dalam Islam, terutama salat, baik wajib maupun sunnah. Ilmu
bersuci adalah masuk dalam kategori ilmu terapan yang fardhu 'ain, atau seluruh
umat Islam wajib untuk tau teori dan praktiknya. Karena itulah setiap
kitab-kitab fikih didahului dengan membahas masalah thaharah.
Thaharah ditilik
dari segi bahasa bermakna bersih dan suci dari segala bentuk kotoran, sedangkan
thaharah menurut istilah syariat adalah 'mengangkat dan menghilangkan kotoran
atau najis'.
Secara umum,
thaharah dibagi menjadi dua bagian, maknawiyah dan hissiyah. Yang pertama
bermakna, bersihnya hati dari segala bentuk kesyirikan dan kemaksiatan serta
penyakit-penyakit hati lainnya. Hakikat thaharah tidak akan terwujud selama
kesyirikan masih bersarang dalam hati. Inilah yang disitir firman Allah, Hai
orang-orang yang beriman sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis maka
janganlah mereka mendekati Masjidilharam, (QS. At-Taubah: 28). Diperkuat dengan
sabda Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari-Muslim, Orang-orang mukmin itu bukan
najis.
Yang kedua
hissiyah berarti sucinya anggota badan dari segala kotoran dan najis yang juga
terbagi dari dua jenis: suci dari hadats dan suci dari najis. Hadats adalah
sesuatu yang melekat pada tubuh seorang muslim yang menyebabkan terhalang
melaksanakan ibadah sebelum bersuci seperti salat, thawaf, dll. Hadats pun
terbagi lagi menjadi dua macam, kecil dan besar. Hadats kecil adalah sebuah
kondisi yang mengharuskan seseorang berwudhu sebelum melaksanakan ibadah, misalnya
kentut, buang air kecil, buang air besar, dan pembatal wudhu lainnya. Cara
bersucinya cukup dengan berwudhu,
berdasarkan firman Allah, Hai orang-orang beriman, jika kalian hendak
mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu, tanganmu, sampai dengan siku, dan
usaplah kepalamu serta basuhlah kakimu sampai mata kaki, (QS. Al-Ma'idah: 6).
Ada pun hadats
besar, yaitu kondisi yang mengharuskan seseorang mandi sebelum menunaikan
salat, thawaf, dll., seperti junub, haid, dan nifas. Cara bersuci dari hadats
besar adalah mandi. Berdasarkan firman Allah, Dan jika kamu junub, maka
mandilan, (QS. Al-Ma'idah: 6).
Jenis thaharah
hissiyah kedua adalah suci dari najis, wa tsiabaka fathohhir. Dan pakaianmu
bersihkanlan, (QS. Al-Mudatstsir: 4).
Untuk bersih dari
najis, ilmu fikih menamainya "al-istinja" dan
"al-istijmar". Pertama bermakna 'membersihkan najis di bagian qubul
[kemaluan] atau dubur [pantat] dengan menggunakan air'. Kedua, 'membersihkan
najis pada lubang kemaluan dan pantat dengan menggunakan, batu, tussu, dan
sejenisnya.
Karena itulah,
seorang muslim diwajibkan mengikuti tatacara buang hajat dan beristinja' dengan
baik dan benar, bila tidak, dia akan mendapat dosa besar dan azab kubur.
Tersebutlah sebuah riwayat dari Imam Bukhari dan Mulism bahwa Rasulullah pernah
melewati dua kuburan, maka ia pun mengabarkan, Dua penghuni kuburan ini sedang
diazab! Tidaklah diazab karena masalah besar. Ada pun salah satunya, ia diazab
karena tidak berhati-hati [menjaga diri] dari air kencing. Ibnu Daqiqil 'Ied
mengatakan ketika mengomentari hadis di atas bahwa kedua penghuni kuburan
tidaklah diazab karena masalah yang sulit untuk diatasi atau mencegahnya serta
berhati-hati darinya. Bahwa sebenarnya masalah remeh, mudah, gampang bagi orang
yang menjaga diri darinya, ia juga berkata, dua perkara itu termasuk dosa
besar. Dalam hadis lain dari Ibnu Majah, Nabi bersabda, Buang air kecil
merupakan penyebab yang paling banyak mendatangkan azab kubur.
Rasulullah lalu
mencontohkan ketika buang air kecil dengan baik dan benar yaitu dengan
merenggangkan/menjauhkan kedua kaki ketika jongkok untuk buang hajat guna
menghindari percikan air kencing. Al-Hasan berkata, orang yang telah melihat
Nabi menceritakan bahwa beliau kencing dalam keadaan jongkok dengan
merenggangkan kedua kakinya selebar-lebarnya sampai kami menduga pangkal paha
beliau akan terlepas, (H.R. Ibnu Abi Syaibah, 1/121, disahihkan oleh Syekh
Muqbil dalam 'Al-Jami'ush-Shahih, 1/500).
Hadis lain,
tentang buang hajat adalah tidak boleh menampakkan aurat termasuk dalam
ruang-ruang rest room/toilet yang saat ini menyerupai kamar milik bersama.
Sabda Nabi, menutupi aurat dari pandangan jin dan manusia saat buang hajat
dapat dilakukan dengan mengucap 'bismillah' ketika masuk kamar kecil. Juga
harus berusaha agar sekuat tenaga tidak terkena percikan najis, terutama air
kencing, karena itulah disunnahkan jongkok dan tidak berdiri sebagaimana tatacara
Nabi di atas.
Masalahnya, konsep
rest room saat ini sangat tidak syar'I. Penulis beberapa kali menemukan tempat
kencing yang disebut pot spot dengan menggunakan sensor, artinya ketika selesai
kencing tidak disediakan alat untuk beristinja' berupa air, atau beristijmar
berupa tissue. Tidak diragukan lagi, model kencing dengan konsep pot spot
sensor ini, selain tidak syar'I hanya akan mengundang azab kubur.
Yang dibolehkan
adalah pot spot yang menyediakan alat untuk beristinja' baik air maupun tissue,
tentu saja air lebih utama, ada pun hukum kencing berdiri pada pot spot adalah
mubah berdasarkan sebuah riwayat, Rasulullah melarang kencing berdiri, namun
jika ia merasa aman dari percikan air kencingnya maka dibolehkan.
Huzaefah
mengatakan, Rasulullah pernah mendatangi tempat pembuangan sampah [subaaathah]
lalu beliau kencing berdiri. Ibnu Mundzir sebagaimana dirawikan Imam Bukhari
berkata, Saya lebih menyukai kencing duduk, dan kencing berdiri hukumnya mubah.
Yang perlu
dibenahi pada ruang rest room di tempat-tempat tertentu, terutama di hotel
adalah, menyediakan sekat antar satu pot spot dan pot spot lainnya agar saling
menjaga aurat. Selain ketersediaan bahan istinja berupa air dan tissue.
Adab-adab lainnya ketika masuk kamar kecil adalah mendahulukan kaki kiri sambil
berdoa, Allahumma inni a'udzubika minal khubusi wal khaba'its. Ya Allah Aku
berlindung dari gangguan setan jantan dan betina. Saat keluar, menggunakan kaki
kanang sambil berdoa, Gufranaka. Aku mohon ampunan-Mu. Ada pula doa ketika
sedang membasuh kemaluan, Allahumma hashshin farji minal-fawahisy. Ya Allah,
jagalah kemaluanku dari segela perbuatan keji.
Sedangkan
masjid-masjid hendaklah mempertahankan jenis toilet yang umum dan syar'I, tidak
usah memaksa para jamaah kencing berdiri, kecuali terpaksa atau kepepet.
Kencing sambil jongkok bukan saja untuk menghindari dari terkana percikan najis
air seni tetapi penelitian menunjukkan, kencing dengan jongkok dapat mereduksi
gangguan ginjal dan paling penting, itu adalah sunnah, pelakunya akan
mendapatkan pahala, namun jika ia tinggalkan pun tak berdosa. Wallahu A'lam!
Enrekang, 15 Maret 2015
Kolom Cahaya Ilmu, Inilahsulsel, 20 Maret 2015
Comments