Lonceng Kematian
Tersebutlah seorang menteri di era pemerintahan
Nabi Daud dan anaknya Nabi Sulaiman alaihimassalam. Jalil Al-Qadri namanya, ia
dapat dikategorikan sebagai menteri senior sebab masuk dalam jajaran dua
penguasa sekaligus nabi dan rasul yang hakikatnya adalah ayah dan anak. Nabi
Daud dan Nabi Sulaiman. Pada zaman pemerintahan Nabi Sulaiman, Jalil Al-Qadri
sudah cukup berumur. Suatu saat, ketika Nabi Sulaiman mengadakan sidang
kabinet, seorang laki-laki tiba-tiba masuk dan medekat pada Nabi Sulaiman, dan
terlihat membisikkan sesuatu. Lelaki asing itu, juga memandang Jalil Al-Qadri,
dengan pandangan yang seram.
Ketika lelaki itu keluar dari ruangan sidang,
sang menteri bertanya pada Nabi Sulaiman. Wahai Nabi Allah, siapakah lelaki
yang barusan keluar tadi? Sungguh pandangan matanya membuatku takut! Nabi
Sulaiman menjawab, Ia adalah Malaikat Maut yang menjelma menjadi manusia. Ia
mendatangiku. Seketika itu, gemetarlah badan sang menteri, lalu menangis.
Kepada Nabi Sulaiman, Jalil al-Qadri memohon, Wahai Nabi Allah, demi Allah, aku
memohon kepadamu agar kau perintahkan angin bertiup membawaku ke tempat yang
paling jauh, di Índia. Nabi Sulaiman, memenuhi permintaan menterinya, dalam
waktu sekejap, sang menteri pun terbang ditiup angin.
Keesokan harinya, malaikat maut datang kembali ke
hadapan Nabi Sulaiman sebagaiman kemarin. Nabi Sulaiman geram dengan tingkah
Malaikat Maut, Kemarin kau telah membuat sahabatku gemetar. Mengapa kau
memandangnya begitu tajam? Tanya putra Nabi Daud itu. Malaikat pencabut nyawa
itu menjawab, Wahai Nabi Allah, aku mendatangimu di pagi hari. Aku kaget
mengetahui orang itu--Jalil al-Qadri--masih bersamamu di sini, padahal Allah
telah memerintahkanku mencabut nyawanya selepas Zuhur nun jauh di Índia sana.
Lalu apa yang kau lakukan padanya? Tanya Sulaiman AS. "Aku pergi ke tempat
yang Allah perintahkan kepadaku untuk mencabut nyawanya di sana. Ternyata
kudapati ia telah menungguku, lalu aku cabut nyawanya," Jawab Malakul-maut
enteng.
Nampaknya, Jalil Al-Qadri, terbang ke Índia
dengan maksud untuk menghindari malaikat pencabut nyawa, dan ternyata
hakikatnya, ia datang menjeput maut bersama sang malakul maut. Itulah yang
disitir dengan firman Allah, Sesungguhnya kamatian yang kamu lari daripadanya,
maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan
dikembalikan kepada Allah, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, (QS.
Al-Jumu'ah: 8).
***
Tuhan, sang pemilik segalanya. Pencipta hidup dan
kematian. Alladzi khalaqal-maut wal-hayah (QS. Al-Mulk: 2) yang telah mengutus
kematian kepada para penindas dan orang-orang kuat nan perkasa. Memelintir
leher-leher mereka; mematahkan tulang punggung para raja; memadamkan harapan
dan aspirasi para pemilik pasukan, perusaan, negara, dan kekayaan dengan cara
mengakhiri hidup mereka, sukarela ataupun terpaksa.
Setiap orang-orang itu, merasa enggan menoleh
pada kematian, bahkan untuk sesaat pun. Tapi, ketika janji Tuhan tentang
kematian datang, mereka terlempar ke dalam lubang dan jatuh dari istana-istana
mereka yang tinggi, masuk ke dalam perut bumi. Mereka diangkat dari kasur-kasur
yang empuk, kamar berhawa dingin, tabung yang penuh oksigen dengan selang
menjulur ke lubang hidungnya, di bawah gemerlap lampu kristal, untuk
dilemparkan ke dalam kegelapan kuburan, (zhulumatul-qubr).
Di antara mereka, ada yang sedang berasyik-masyuk
dengan para harem dan gundik cantik, centil, nan jelita, ketika tiba-tiba
diserahkan kepada cacing-cacing, belatung, dan serangga. Alih-alih menikmati
makanan dan minuman terlezat, mereka malah bermandikan debu, menjadi tahaman
yang kesepian tanpa seorang pun teman.
Karena kematian tak dapat dielakkan, karena
setiap orang harus menyatu dengan tanah dan berkumpul dengan cacing, karena
setiap orang harus menghadapi Mungkar dan Nakir--dua malailat mengintrogasi
manusia di alam kubur, karena setiap orang harus terbaring di bawah tanah untuk
waktu yang lama, maka setiap orang pastilah akan mengalami dahsyatnya ajal.
Setelah itu, tak ada kepastian, apakah seseorang ditakdirkan tinggal di dalam
surga ataukah neraka?
Karenanya, sudah sewajarnya, selaku calon
penghuni kuburan, kalau refleksi kematian selalu hadir dalam benak dan fikiran
kita semua. Betapa pun lamanya kehidupan dunia ini, ia adalah fana dan mesti
berakhir, dan betapa pun besar kepemilikan dunia ini, suatu saat ia pasti ditinggalkan
apabila lonceng kematian sudah berdenting. Kehidupan abadi tak pernah berakhir,
dan berkahnya tidak akan pernah berujung. Mengingat semua itu, tak perlu
rasanya dijelaskan, kepada orang awam dan jahil sekalipun, bahwa manusia harus
memilih sesuatu yang kekal.
Sebaliknya, keinginan berlebihan akan sesuatu
yang bersifat sementara (fana) merupakan puncak kebodohan. Sayang, akal budi
kita dibuyarkan oleh ketidak-siuman. Seakan terlena dengan aksesories bandara
ini, dimana masa tinggal kita akan berakhir dengan datangnya pesawat yang kita
tunggu. Akan menguntungkan jika dalam masa penantian yang relatif pendek itu,
para calon penumpang sibuk dengan persiapan dan bekal yang akan dibawa dalam
perjalanan jauh di atas pesawat, agar kiranya berguna kelak jika telah sampai
di tempat tinggalnya yang abadi.
Sebaliknya, jika dia membuang-buang waktu
singkatnya yang berharga dengan bengong dan bersantai menghitung-hitung tiang
penyanggah atap bandara, atau sibuk mondar-mandir melihat para penumpang
lainnya yang lalu-lalang, atau bahkan membuat kerusakan dan mengganggu orang
lain, adalah kerjaan yang dungu dan sia-sia. Orang seperti ini, tidak hanya
melupakan bekalnya untuk perjalanan jauh, tapi membuang bekal berharganya untuk
ditukar dengan sebuah kantong berisi sampah busuk.
Tidak jauh beda dengan mereka yang disibukkan
dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, melahirkan keturunan yang ramai,
namun lalai dalam mengingat tujuan utama ia diciptakan. Beribadah kepada Allah.
Dunia ini hanyalah sebuah bandara, dan menumpang pesawat sebagai alam kubur,
untuk mencapai dua destinasi utama: surga atau neraka! Perhatikanlah jika
seseorang dalam keadaan kritis, harapannya telah lenyap, dokter ahli
menghampirinya, memeriksanya secara cermat, sayangnya, ia tak mampu memberinya
harapan hidup.
Orang-orang di sekitarnya mulai berbisik,
menganjurkan agar mengisi daftar harta waris. Lidahnya tampak kelu, dia hanya
bisa berguman, mulai tidak mengenali siapa pun, sulit bernafas, mengerang
kesakitan, dan bulu matanya mengerut. Pada saat itulah, dia sudah menyadari
akan datangnya alam abadi. Keluarga dan sanak familinya mengelilingi dan
meratapinya. Anak-anaknya maju ke depan, tapi lidah orang itu tak berucap
sepatah kata pun. Saat itulah ruhnya mulai meninggalkan sanak familinya, terbang
ke langit. Handai taulan dan para keluarganya segera mempersiapkan penguburan.
Tangisan dan ratapan orang-orang yang semula
pecah kini mulai reda. Setelah itu, sanak keluarga sang mayit, yang dulunya
terpandang dan kaya raya, sibuk membagi-bagi harta warisan. Jandanya yang
cantik, kini telah berpaling, dan segera dinikahi pria lain. Janji 'sehidup
semati' ketika dulu ia menikah, berubah menjadi 'yang hidup nikah lagi' dan
'yang mati urus diri sendiri'. Jasadnya, terbaring kaku tak bernyawa, terperangkat
dengan amal perbuatannya sendiri.
Demikianlah potret kehidupan yang fana, kematian
benar-benar merupakan sebuah keniscayaan, dan kita, selalu lalai untuk
mengingatnya, bahkan tak sudi membicarakannya. Lonceng kematian pasti
berdenting, ketika tiba masanya, ia tak akan meleset meski hanya sedetik. Namun
demikian, tak seorang pun tahu, kapan hari "H-nya" tiba. Bisa datang
menyergap dengan tiba-tiba. Begitu misteri. Setiap insan semestinya selalu
siap. Dan tentu, husnul-khatimah (akhir yang baik) harus menjadi pilihan bagi
umat terbaik. Untuk mencapai itu, harus dengan akidah yang benar, yaitu
Ahlussunnah wal-Jamaah. Akidah yang dianut oleh Rasulullah, para sahabatnya,
para tabi'in, pengikut tabi'in, serta segenap salafus-saleh, atau pendahulu
terbaik umat ini.
Sedangkan orang kafir, orang sesat, dan para ahli
bid'ah sudah pasti masuk dalam golongan su'ul khatimah, atau akhir yang tidak
baik. Semoga kita masuk dalam golongan hunul-khatimah. Karena itu, mari
renungkan perkataan Ibnu Mas'ud, Sesungguhnya kalian dalam pergiliran malam
siang, berada dalam kondisi umur berkurang, perbuatan tercatat, dan kematian
akan datang tiba-tiba. Maka siapa menabur kebaikan, dia akan menuai
kebahagiaan. Dan siapa yang menabur keburukan, dia akan menuai penyesalan.
Bagi setiap penabur, apa yang dia telah taburkan.
Maut, adalah tamu yang tidak diharap kedatangannya oleh hampir setiap insan
hidup, tetapi kedatangannya manjadi sebuah keniscayaan. Normalnya datang dalam
keadaan calon maut menunggu Malaikat Maut, didampingi oleh manusia terdekat di
sekelilingnya, namun, di lain waktu datang secara mendadak di mana saja, di
jalan raya, di tengah hutan, gurun, lautan, bahkan di atas pesawat yang sedang
membelah udara sebagaimana yang menimpa Air Asia QZ 8501.
Begitulah lonceng kematian, kadang berdenting
untuk mencabut nyawa satu per satu umat manusia, kadang pula menarik paksa
penghuni bumi secara massal, itulah yang menimpa para penumpang pesawat Air
Asia yang semula dijadwalkan akan mendarat di Bandara Changi Singapura, namun
nyatanya terkubur ke dasar laut Selat Karimata.
Dalam Islam, kuburan tidak hanya disematkan untuk
daratan, tapi lautan juga berfungsi sebagai kubur, dan orang yang dalam
perjalanan laut, lalu meninggal dunia, maka wajib hukumnya dikuburkan dalam
lautan dengan menenggelamkan si mayat. Karena itu, para mayat yang telah
terkubur dalam lautan pada hakikatnya tidak perlu lagi mengerahkan pasukan yang
besar dan dana yang banyak untuk mengangkat mereka.
Kerja seperti itu, sama saja dengan menggali
kuburan di tengah gurun pasir lalu memindahkan pada gurun lain. Tidak
mendatangkan sebarang manfaat kecuali kelelahan. Kewajiban kita, mendoakan
mereka agar amal ibadahnya diterima di sisi Allah, dan semoga masuk dalam
golongan syuhada. Wallahu A'lam!
Dimuat Tribun Timur, 30 Jan 2015. Setu-Bekasi, 10
Nop. 2014. Ilham Kadir, Peserta Kaderisasi 1000 Ulama Baznas-DDII; Mahasiswa
Doktoral Pascasarjana UIKA Bogor
Comments