Pendidikan Jiwa Menurut Rasulullah
Selain ekonomi dan
politik, pendidikan adalah bagian yang tak terpisahkan dalam hidup manusia,
karena itu pula selalu hangat untuk dijadikan topik bahasan dalam berbagai
arena. Tema-tema diskusi tentang pendidikan pun terus berkembang dan selalu
menawarkan ragam formula mutakhir.
Memang, kejayaan
sebuah bangsa sangat terkait dengan pendidikan, jika pendidikannya maju maka
maju jayalah bangsanya, jika pendidikannya hancur-hancuran maka demikian pula
keadaan suatu bangsa. Buktinya, begitu banyak negara yang kaya raya sumber daya
alamanya, namun tetap tengkurap dalam kemiskinan disebabkan karena
pendidikannya yang tidak tepat atau salah menyusun formulasi yang tertuang
dalam kebijakan pendidikan nasionalnya. Contoh kongkritnya adalah Indonesia,
apa yang kurang pada negara ini? Alamnya memendam kekayaan migas yang melimpah,
penduduknya yang bersuku dan berbangsa nan kaya khazanah budaya, dan keindahan
marga satwanya yang tak ada duanya. Namun, berbalik dengan taraf hidup
penduduknya, mayoritas dalam kemiskinan dan berdiam di tempat kumuh. Benarlah
kata pepatah, ayam mati di lumbung padi, itik tenggelam di kolam air.
Saksikan pula
negara tetangga yang terdekat, Singapura. Negera itu tidak terlihat dalam peta
dunia, tapi namanya mengalahkan negara sebesar Indonesia. Alamnya tidak ada
apa-apanya di banding Indonesia, hanya seonggok pulau yang berisi tanah
bebatuan dan sedikit pasir, bahkan sumber air minum pun tidak ada dan terpaksa
harus memasok dari negera jiran, Malaysia dan Indonesia. Namun negera itu,
justru jauh lebih maju daripada Indonesia, kabarnya, kemajuan dari sisi
pendidikan saja sudah meninggalkan Indonesia lima generasi ke depan.
Dari segi ragawi,
tujuan pendidikan adalah untuk menjaga kelangsungan hidup umat manusia dengan
mengajarkan pada setiap generasi cara bertahan hidup dengan memenuhi kebutuhan
asasinya. Pendidikan akan mengajarkan bagaimana bercocok tanam, membangun
teknologi, mengatur negara, menjaga agama dan sejenisnya.
Tapi sisi lain
pendidikan, terutama yang berhubungan dengan jiwa manusia juga hal terpenting
yang tidak bisa diabaikan sehingga sifat-sifat tercela pada diri manusia dapat
direduksi atau diminimalisir. Begitu banyaknya masalah yang terjadi di negara
ini tidak bisa dilepaskan dari hasil pendidikan yang selama ini dianggap penuh
dengan masalah dan kepentingan golongan tertentu. Tindakan tercela yang
dilakukan masyarakat umum seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan,
pencurian, jambret, masih terus terjadi. Sedangkan golongan terdidik seperti pelajar
dan mahasiswa kerap melakukan tawuran, demo anarkis, hingga perbuatan asusila
berupa pornografi dan pornoaksi. Demikian pula, para orang-orang terhormat dari
anggota dewan, jaksa, hakim, politisi, kepala daerah, hingga menteri tak luput
dari kasus korupsi yang menggerogoti uang negara dan mengakibatkan bangsa
berada dalam kemiskinan dan kenistaan.
Tiga Tahap
Salah satu fungsi
diutusnya Nabi Muhammad kepada seluruh umat manusia adalah agar menjadi suri teladan
(uswatun hasanah) dalam berbagai aspek, tak terkecuali dalam pendidikan. Fungsi
Nabi sebagai pendidik dipertegas dalam Al-Qur'an, Sebagaimana kami telah mengutus kepadamu
Rasul [Muhammad] dari kalangan kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan
jiwa kamu dan mengajarkan kitab dan
hikmah, serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui, (QS. Al-Baqarah: 151).
Rasulullah, selain
mengajarkan ayat-ayat dalam bentuk tekstual sebagaimana yang tertuang dalam
kitab suci, juga mengajarkan ayat kontekstual berupa hamparan bumi, langit dan
segenap isinya, semua itu adalah bagian dari kurikulum pendidikan sang Nabi
kepada segenap umat manusia.
Ada pula bentuk
hikmat yang juga tertuang dalam sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Hikmat
dalam pandangan Al-Qur'an adalah kebaikan yang banyak, Dia memberikan hikmah
kepada siapa yang dia kehendaki. Barangsiapa yang diberi hikmah, sesungguhnya
dia telah diberi kebaikan yang banyak, (QS. Al-Baqarah: 269).
Namun, ruh dari
pendidikan Nabi yang berbasis wahyu adalah pendidikan jiwa dengan nama lain,
penyucian jiwa (tazkiatun-nafs), inilah inti dan tujuan utama sebuah
pendidikan. Dapat dimengerti karena, manusia memiliki dua unsur utama jiwa dan
raga, pendidikan yang mengutamakan fisik dan material hanyalah menyentuh
dimensi raga saja, belum pada aspek jiwanya.
Jiwa adalah fitrah
dan pada hakikatnya manusia terlahir dalam keadaan fitrah nan suci, keluarga, alam,
dan lingkungan yang akan mengubahnya menjadi manusia curang, pendusta, penipu
dan tidak amanah. Maka pendidikan akan berfungsi mengembalikan manusia pada
fitrahnya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan
ketakwahan. Maka beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan merugilah
orang yang mengotorinya, (QS. Asy-Symas: 8-10).
Setidaknya ada
tiga pendidikan jiwa yang telah digagas dan dipraktikkan Rasulullah, Pertama, Tahkliyah, sebuah proses mengosongkan
jiwa dari segala ajakan hawa nafsu dari kencenderungan yang dapat menjerumuskan
diri dari perbuatan yang diharamkan Allah, terankum dalam dua fitnah, syubhat dan syahwat. Pertama merupakan bentuk kesamaran yang ditiup oleh setan
ke dalam hati manusia agar mereka senantiasa berada dalam keragu-raguan.
Syubhat juga beragam, ada syubhak syirik, nifaq, dan bid'ah. Sedangkan yang
kedua, merupakan insting yang dengannya jiwa menyukai sesuatu dan cenrerung
kepadanya. Syahwat mencakup, birahi, rakus, syahwat kekuasaan, syahwat politik,
kikir, boros, dusta, dengki, dendam, marah, sombong, bangga diri, pamer,
berpikir keterlaluan, terlampau sedih, terlalu senang, malas, dan putus asa.
Kedua, Tahliyah. Setelah selesai melakukan
pengosongan diri dari cengkraman hawa nafsu, maka tahap berikutnya adalah
pengisian jiwa oleh sifat-sifat terpuji (mahmudah). Kebiasaan lama yang buruk
telah ditinggal dan ditanggalkan lalu diganti dengan kebiasaan baru yang baik,
sehingga tercipta kepribadian yang baru. Inilah tahliyah sesungguhnya yang merupakan proses penghiasan jiwa dengan
amal saleh. Ibnul Jauzi, sebagaimana ditulis Ahkmad Alim dalam "Tafsir Pendidikan Islam, 2014",
menyebut bahwa jiwa harus diisi dengan bertahap, yaitu, mujahadah (perjuangan), muhasabah
(introspeksi diri), tafakkur
(merenungi keagungan Tuhan), takut pada Allah (khauf), selalu mengharap
(raja'), dan puncak dari semua proses itu adalah cinta yang tertinggi hanya
pada Allah (mahabbatullah).
Ketiga, Tahqiq atau 'aktualisasi sikap'. Setelah
melalui proses pertama dan kedua (takhliyah
dan tahliyah), maka tahapan
selanjutnya adalah tahqiq ubudiyah. Tahqiq bermakna aplikasi (muthabaqah), kesesuaian (muwafaqah), dan
penerapan (itsbat) permurnian (tashfiyah), sementara ubudiyah adalah bentuk pengabdian seorang hamba pada Allah semata
dengan mengerjakan apa yang dicintai-Nya dalam bentuk ucapan, perbuatan, baik
lahir maupun batin.
Maka yang dimaksud
tahqiq ubudiyah, suatu proses untuk mengaktualisasikan dari nilai ibadah
yang dikerjakan untuk kemudian dipraktikkan dalam prilaku hidup sehar-hari
sebagai bentuk pengabdian pada Tuhan. Proses ini pula dalam pandangan Ibnul
Jauzi sebagai proses pengejawantahan dari ilmu dan amal menuju manusia yang
yang menghambakan diri hanya kepada Allah.
Maka pendidikan
jiwa dapat diartikan sebagai, an ya'lama
annallaha ta'ala ma'ahu haitsu kana. Mengetahui bahwa Allah selalu
bersamanya dimana dan kapan pun berada. Atau sebuah upaya untuk menyucikan jiwa
dari berbagai kecendrungan buruk dan dosa, kemudian menghiasinya dengan amal
saleh dan sifat-sifat terpuji agar selalu tunduk dan patuh pada Allah.
Begitulan
pendidikan jiwa ala Rasulullah yang sangat layak menjadi pertimbangan untuk
diikuti segenap rakyat Indonesia, lebih khusus pengikut Rasulullah yang hari
ini merupakan hari kelahirannya (12 Rabi'ul Awwal 1436 H), lazimnya disebut '
hari maulid', akan lebih sempurna, jika maulid kali ini menjadi momentum untuk
meneladani beliau dari segi pendidikan jiwa, agar jiwa-jiwa rakyat indonesia
sehat bukannya 'sakit jiwa' lantaran masalah kian datang silih berganti akibat
kebijakan orang-orang yang tidak mempertimbangkan aspek kejiwaan para
rakyatnya. Dan untuk para pendidik hendaklah mendidik sepenuh jiwa agar pesera
didik pun menimba ilmu tidak separuh jiwa. Wallahu A'lam!
Dimuat Koran Sindo Nasional, 3 Januari 2015.
Setu-Bekasi, 29
Des 2014. Ilham Kadir, Peneliti MIUMI
dan Mahasiswa Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor.
Comments