Lautan Ilmu Ibnul Qayyim Al-Jauziyah

Pamannya
muntab lalu berkata, Demi Allah, jika kamu memeluk Islam, maka akan kuambil
lagi semua yang telah kuberikan padamu!". Mendengar ucapan pamannya,
kerinduannya pada Rasulullah telah membuncah, "Melihat Muhammad lebih aku
cintai dari dunia dan seisinya!". Dalam sebuah syair dikatakan :
Seandainya Majnun ditanya, apakah bersatu dengan Laila yang kamu inginkan,
ataukan dunia dan seisinya? Tentu ia menjawab, debu sandalnya lebih aku sukai
daripada duka karena kehilangannya. Begitulah cinta sejati, tak bisa diukur
dengan apa pun, tak terkecuali cinta Dzul Bijadain pada Rasulullah. Maka ia pun
bersikukuh untuk berangkat menemui Nabi Muhammad, maka pamannya yang selama ini
merawat dan membesarkan dirinya, melucuti semua pakaian yang dimiliknya.
Maka,
Ibunya memberinya sehelai kain, yang kemudian dipotong menjadi dua bagian untuk
dipakai mengarungi perjalanan jauh demi bertemu sang kekasih, Rasulullah.
Sepotong digunakan untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, dan lainnya untuk
bagian atas. Setelah berjumpa Rasulullah, seruan jihad pun dikumandangkan, Dzul
Bijadain ikut berperang, berada pada barisan mujahidin. Dalam jihad, ia pun
mati syahid, itu semua diraih setelah melalui perjalanan berat dan jauhnya
proses menemukan cinta. Rasulullah yang dicintainya itu mempersiapkan sendiri
liang lahad sang syahid, lalu berdoa, Allahumma inni amsaytu 'anhu radhiyan
fardha 'anhu. Ya Allah, sesungguhnya aku ridha kepadanya, maka ridhahilah ia.
Mendengar
doa Nabi yang dipersembahkan khusus tuk Dzul Bijadain, Ibnu Ma'ud pun berseru,
"Aduhai, seandainya saja aku yang menghuni kubur ini!" Kisah ini
menunjukkan bahwa, siapa pun dapat menjadi orang paling mulia di sisi Nabi,
tanpa melihat kasta dan status sosial. Pelajaran ini saya petik dari karya
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Fawaidul Fawaid, Cet. II; Jakarta: Pustaka Imam
Syafi'I, 2013. Buku yang ditahqiq Syaikh 'Ali bin Hasan al-Halabi ini, memuat
13 Bab yang terdiri dari 700 halaman.
Calon
Penghuni Surga Terlalu banyak pelajaran dapat diambil dari buku ini, antaranya.
Setidaknya ada empat sifat calon penghuni surga:
Pertama.
Awwab, yaitu orang --orang yang senantiasa bertaubat kepada Allah dari maksiat
menuju ketaatan, dari lalai menjadi ingat kepada Allah. Ubaid bin Umair
berkata, Istilah awwab pada dasarnya ditujukan kepada seseorang yang mengingat
dosa-dosanya lalu beristigfar memohon ampun kepada Allah. Ada pun Sa'id bin
al-Musayyib menjelaskan, Awwab artinya, orang yang berbuat dosa kemudian
bertaubat, lalu berbuat dosa lagi, dan diakhiri dengan taubat!
Kedua.
Hafizh, menurut Ibnu Abbas adalah orang yang pandai menjaga amanat Allah yang
dititipkan padanya. Qatadah berpendapat, Pandai menjaga hak dan nikmat Allah
yang dititipkan padanya. Pada hakikatnya, dalam jiwa setiap insan terdapat dua
kekuatan: kekuatan meminta dan kekutan menahan diri. Orang yang bersifat awwab
adalah yang menggunakan kekuatan meminta tatkala kembali pada Allah, mengharap
ridha dan mentaati-Nya. Sedang orang yang bersifat hafisz adalah orang yang
menggunakan kekuatan menahan diri ketika menghindari maksiat dan larangan-Nya.
Jadi, seorang hafizh adalah orang yang pandai menahan diri dari segala yang
diharamkan Allah, sementara seorang awwab yang senantiasa kembali pada Allah
dengan ketaatan pada-Nya.
Ketiga.
Khaasyi ar-Rahman, adalah orang yang takut dan tunduk kepada Allah yang Maha
Pengasih, sebagaimana friman Allah 'man khsyia ar-rahman bil ghaib'.
Orang-orang yang takut kepada Allah yang Maha Pengasih sekalipun tidak
kelihatan. Ayat ini mengandung pengakuan seseorang terhadap eksistensi Allah
dan rububiyah-Nya, kekuatan, dan ilmu-Nya secara terperinci. Terkandung pula
pengakuan akan kitab-kitab Allah, para rasul-Nya, serta perintah dan
larangan-Nya, juga terkandung pengakuan terhadap janji Allah serta ancaman dan
perjumpaan dengan-Nya. Karena itu, tidak sah pengakuan takut seseorang pada
Allah melainkan dengan mengakui semua ini.
Keempat.
Qalbun Munib. Ciri lainnya penguni surga adalah "wa ja'a biqalbin
munib". Dia datang dengan hati yang bertaubat. Ibnu Abbas berpendat, Yakni
kembali kepada Allah dari perbuatan-perbuatan maksiat, lantas melakukan
ketaatan, menunjukkan kecintaan, dan bersimpuh kepada-Nya. Keempat tipe
penghuni surga di atas akan mendapat tawaran, Udkhuluha bisalam dzalika yaumul
khulud. Lahum ma yasya'una fiha wa ladaina mazid. Masuklah ke dalam surga
dengan aman dan damai. Itulah hari yang abadi. Mereka di dalamnnya memperoleh
apa yang mereka kehendaki, dan pada Kami ada tambahannya. Secara detail,
ciri-ciri penghuni surga di atas terdapat dalam Al-Qur'an Surah Qaf, ayat
31-35, (hlm. 193-195). Kafir Penghuni Neraka Ibnul Qayyim memaparkan beberapa
sifat orang kafir dengan bersandar pada Al-Qur'an Surah Qaf 25-30.
Allah
menyebutkan beberapa sifat orang-orang yang akan dilempar ke dalam api neraka.
Setidaknya ada enam sifat sebagai beriku:
(1). Kufur terhadap nikmat Allah dan
mengingkari hak-hak-Nya, kufur terhadap agama, kufur dalam mengesakan-Nya,
kufur terhadap asma dan sifat-sifat-Nya, kufur terhadap para rasul dan
Malaikat-Nya, serta kufur terhadap kitab-kitab dan pertemuan dengan-Nya (ayat
24);
(2)
Menentang yang haq (kebenaran ilahi) dengan berbagai bentuk pengingkaran dan
pembangkangan (ayat 25);
(3) Menghalangi kebaikan, baik kebaikan untuk
diri sendiri berupa ketaatan dan ibadah kepada Allah, maupun kebaikan untuk
orang lain. Maka itu, ia tidak mempunyai kebaikan untuk diri sendiri maupun
untuk sesamanya, sebagaimana prihal umat manusia pada umumnya (ayat 25);
(4)
Di samping menghalangi kebaikan, orang itu pun suka memusuhi orang lain,
menzhalimi sesama serta menyakiti mereka dengan perbuatan dan ucapannya (ayat
25);
(5)
Bersikap skeptis, yaitu ragu-ragu terhadap kebenaran. Tidak hanya sebatas itu,
bahkan ia juga selalu mendatangkan hal-hal yang meragukan. Dalam bahasa Arab
diungkapkan, fulan murib, Fulan bersikap ragu-ragun (ayat 25); dan
(6)
Selain sifat-sifat di atas, orang musyrik yang menjadikan ilah--sesembahan--selain
Allah. Termasuk bersumpah atas namanya, memberi loyalitas untuknya, dst. (Ayat
26). Lalu golongan kafir di atas yang akan menghuni neraka berdebat dengan
setan yang selama ini menjadi pendamping dan penuntunnya di dunia dulu.
Namun,
setan menimpakan seluruh tangungjawab kepadanya, walaupun pada dasarnya
setanlah yang menjerumuskan. Setan bedoa, Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkan
tetapi dia sendiri yang berada dalam kesesatan yang jauh. Dengan kata lain,
orang itu sendiri yang memilih kesesatan. Pernyataan ini sesuai dalih yang
dikemukakan iblis kepada penghuni Neraka. "Tidak ada kekuasaan bagiku
terhadapmu, melainkan sekadar aku menyeru kamu, lalu kamu mematuhi seruanku,
(QS. Ibrahim: 22).
Sebetulnya,
Iblis dilaknat oleh Allah karena dia tidak mau melakukan satu kali sujud kepada
Adam sebagai penghormatan dan ketaatan pada Allah. Sementara, Adam alaihissalam
dikeluarkan dari surga hanya karena sesuap makanan yang diharamkan baginya.
Oleh karena itu, jangan pernah berpikir bahwa Allah tidak akan menghukum Anda
atas dosa yang telah Anda lakukan, (hlm. 578).
Salah satu alasan mengapa meninggalkan
perintah Allah lebih berdosa dibandingkan melanggar larangn-Nya adalah, karena
Allah masih bersedia menerima taubat Nabi Adam setelah beliau melanggar
larangan-Nya. Tetapi, Allah tidak mengampuni iblis karena meninggalkan
perintah-Nya untuk bersujud pada Adam.
Buku
Fawaidul Fawaid ini, banyak membahas tentang tafsir ayat-ayat tertentu,
terutama pada Bab II "Al-Qur'an dan Tafsir", Ibnul Qayyim menyusun untaian
kata-kata ketika menggambarkan keagungan Al-Qur'an: Adalah Sumber penerang
kehidupan. Ibarat lentera ajaib bagi hati, tanpa perlu disulut api; minyaknya
sudah dapat menerangi kekelaman ruang kalbu. Menyelami samudera hikmah di balik
ke dalaman makna ayat-ayatnya akan membentuk kemampuan berfikir yang utuh dan
kemampuan beramal secara sempurna demi kebahagiaan hamba.
Semakin
dalam ayat-ayat itu diselami, semakin terlihat jelas tapak jalan yang harus
dilalui oleh setiap musafir akhirat jika ingin mencapai tujuan dengan selamat.
Bentangan kehidupan dari penciptaan dunia hingga hisab di akhirat terlihat
nyata. Ada pun manusia, mereka tinggal memilih kemana ia hendak berpulang: ke
pangkuan rahmat-Nya, atau ke himpitan murka-Nya, (hlm 144). Tauhid, juga menjadi
pembahasan utama dan pertama, banyak pelajaran yang dapat dipetik,
nasihat-nasihat yang bermanfaat, seperti: Jika seorang hamba menjadikan dirinya
shalih secara lahir dan batin, niscaya ia akan mendapatkan kasih sayang Allah
secara lahir dan batin pula. Dengan kasih sayang Allah secara batin, semua
ujian dan musibah akan dapat ia lalui dengan penuh ketegaran. Sebab, ia sadar
benar bahwa kasih sayang Allah di balik semua musibahnya telah menyibukkan
dirinya dari kepedihan deritanya, (hlm. 27).
Ada
pula nasihat ringan namun penuh bobot, ini dia: Sebenarnya, kita bisa
memperbaiki waktu yang telah lewat maupun akan datang. Waktu yang telah lewat
dapat diperbaiki dengan taubat, sedangkan waktu yang akan datang dapat
diperbaiki dengan menjauhi segala kemaksiatan sejak dini. Yang penting,
bagimana memanfaatkan usia kita saat ini agar tidak menjadi sesuatu yang harus
ditaubati nantinya. Dan menuntut kita untuk melakukan sesuatu yang lebih baik,
lebih bermanfaat, dan lebih memberikan kebahagiaan hakiki pada diri kita, (hlm.
478).
Atau
nasihat ini: Melenyapkan gunung yang menjulang tinggi jauh lebih mudah daripada
melenyapkan sifat sombong, dengki, marah, dan syahwat dalam hati. Dari keempat
sifat buruk inilah semua bencana dunia dan akhirat bermula. Seandainya hamba
mengenal Tuhannya dengan segala sifat kesempurnaan dan keagungannya, dan dia
mengenal dirinya sendiri dalam sifat kelemahan dan ketidak berdayaannya,
niscaya jiwanya akan terjaga dari keempat sifat tersebut, (hlm. 421).
Karena
itu, Ibnul Qayyim menulis, di antara tanda-tanda kebahagiaan seorang hamba
ialah semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula ketawadhuannya;
semakin bertambah amalnya, makin besar pula rasa takutnya pada Allah; semakin
bertambah usianya maka semakin berkurang ambisinya terhadap dunia; semakin
bertambah hartanya maka semakin bertambah kedermawanannya; dan semakin tinggi
kedudukannya, maka semakin dekat dengan sesama. Suatu ilmu akan menjadi bencana
apabila ia tidak sejalan dengan kehendak Allah; entah karena subtansi ilmu itu
atau memang tidak dicintai Allah, atau niat orang yang mempelajarinya bukan
karena Allah, (hlm. 357).
Dunia
ini--menurut Ibnul Qayyim--laksana seorang wanita penghibur. Ia tidak akan
menyerahkan dirinya untuk dimiliki oleh seorang lelaki saja tapi ia akan
membujuk setiap lelaki yang lemah imannya agar bersikap baik padanya.
Karenanya, jangan biarkan diri Anda larut dalam lemahnya iman sehingga Anda
jatuh dalam pelukan nista dunia, (hlm. 559).
Kesenangan
dunia bagaikan permainan sulap. Penglihatan orang awam akan terfokus pada apa
yang terlihat saja. Sedangan pandangan orang berilmu akan mampu menembus apa
yang ada di balik ilusi sulap tersebut, (hlm. 652).
Karena ibadah adalah bagian dari ilmu, maka
syarat beribadah harus didahului dengan ilmu, minimal syarat dan rukunnya. Bagi
yang beribadah tanpa ilmu ia tidak akan mengenal jalan yang ditempuh, rintangan
yang ada, serta tidak mengetahui maksud dan tujuannya, hanya melahirkan
keletihan dalam perjalanan. Maanfaat yang diperoleh pun sangat minim.
Itulah
orang jahil. Selain itu, ada beberapa ciri khas orang jahil yang patut
diketahui: (1). Giat mengerjakan ibadah sunnah (nafilah) namun meninggalkan
ibadah fardhu; (2). Giat beribadah dengan anggota tubuh saja, tanpa diiringi
dengan amalan hati; (3). Giat ibadah batin, tetapi dalam pelaksanaan ketaatan
yang lahir tidak sesuai dengan as-Sunnah; (4). Giat bercita-cita mengerjakan
suatu amal tanpa mengetahui tujuan amal tersebut; (5). Giat mengerjakan amal
tanpa menghindari dampak-dampak yang bisa merusak amalnya, baik ketika
melakukan maupun setelahnya; (6). Giat mengerjakan suatu amal, namun melalaikan
adanya manugerah yang terdapat di dalamnya, padahal amal ibadah terlaksana
bukan karena faktor perbuatan anggota badan saja; (7). Giat mengerjakan amal
tanpa menyadari kekurangan dirinya terkait amal itu, sehingga terluput dari
meminta ampun kepda-Nya setelah menyelesaikannya; dan (8) Giat melakukan amal
yang belum terpenuhi haknya, berupa nasihat dan berlaku baik, tetapi mengira
telah memenuhi kewajiban tersebut, (hlm. 579-580).
Saya
tutup resensi ini dengan mengutip, Hikmah dan nasihat ibarat resep yang
diberikan dokter kepada pasiennya. Apabila resep itu ditukar dengan obat lalu
dikonsumsi sesuai petunjuk. Niscaya ia akan membantu menyembuhkan penyakit.
Namun, apabila resep itu hanya sekadar dibaca dan tidak pernah ditukarkan
dengan obat, apalagi dkonsumsi, niscaya ia tidak akan berfungsi apa-apa, (627).
Seperti
itulah hikmah dan nasihat yang terangkum dalam buku "Fawadul Fawaid"
ini. Renungan-renungannya harus diwujudkan dalam kehidupan nyata, dengan cara
demikian, Insya Allah, jarak perjalanan kita menuju Allah akan semakin dekat.
Keletihan dan kepayahan di tengah perjalanan akan menyingkir dengan sendirinya.
Dan, kita pun akan semakin yakin bahwa hanya Dia satu-satunya tujuan yang harus
diraih pada saatnya nanti. Wallahu A'lam!
Setu-Bekasi,
25/06/2014. Ilham Kadir. Pengurus KPPSI Pusat, Ketua Lembaga Penelitian MIUMI
Sulawesi Selatan.
Comments