Sintesa Pondok Pesantren
Pondok, dari segi etimologi diambil dari kata 'funduk'
dalam bahasa Arab dengan arti ruang tidur, wisma, atau penginapan sederhana.
Adapun 'pesantren' dari kata 'santri' berakar dari bahasa India 'shantri',
'orang-orang yang mengetahui kitab suci agama Hindu', bisa pula berasal dari
bahasa Jawa 'cantrik', 'seseorang yang mengikuti kemana pun gurunya pergi. Di
Indonesia, santri berarti 'mereka yang
berasal dari pesantren' atau 'mereka yang taat menjalankan perintah agama dan
menjauhi larangannya', sebagaimana tulisan C. Geertz dalam "Religion of
Java".
Kini kata 'Pondok Pesantren' telah menyatu
dengan makna, tempat tinggal santri yang sederhana. Gambaran fisiknya dapat
direkam dari tulisan Snouck Hougronje, sebagaimana dikutif Mahlani dalam
"Gontor; Sintesa Pendidikan Islam KH. Imam Zarkasyi" bahwa, Pondok
Pesantren terdiri dari sebuah gedung berbentuk persegi, biasanya dibangun dari
bambu, tetapi di desa-desa yang makmur tiang-tiangnya terdiri dari kayu. Tangga
pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu hitam sehingga santri yang
mayoritas tidak bersepatu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.
Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan besar yang didiami bersama.
Terdapat juga pondok--lanjut orientalis kawakan ini--yang agak sempurna
didapati sebuh gang yang dihubungkan oleh pintu-pintu, di sebelah kiri dan
kanang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga
sewaktu-waktu memasuki kamar itu orang terpaksa membungkuk, jendelanya sangat
sederhana. Di depan jendela yang kecil terdapat tikar pandan atau rotan dan
sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah
kitab.
Pondok pesantren yang dimaksud Snouck Hougronje
adalah fisiknya semata. Padahal pesantren sejatinya tidak hanya fisik, karena memerlukan
pendukung lainnya, terutama sistem pendidikan dan manhaj para santri dan kyainya.
Setidaknya ada beberapa komponen utama sebuah pesantren, yaitu kyai sebagai
syarat utama, santri sebagai pelajar, pondok sebagai tempat tinggal santri
bahkan kyai, masjid sebagai tempat melakukan sentra kegiatan, dan kitab-kitab
kuning sebagai bahan ajaran utama.
Pandangan Snouck Hougronje juga merupakan
representasi dari segenap orang Barat tentang pesantren. Dapat dipahami karena
mereka selalu memandang segalanya dari sudut fisik atau materi semata. Padahal
sejatinya, pesantren pada zaman Snouck Hougronje memang harus sederhana sebab
para kyai dan santri adalah musuh bebuyutan para Kompeni dan selalu menjadi
bulan-bulanan, pondok-pondok mereka selalu dibakar dan dihabisi, kyai dan
santri terus bergerilya melawan para musuh agama dan negara.
Tidak salah apa yang dikatakan Thomas Raffles dalam
“The History of Java” bahwa tidak akan pernah tegak dengan damai kaki
para penjajah di Indonesia jika para santri dan ulama terus melakukan
pemberontakan. Dengan itu, para penjajah sangat takut dengan pondok pesantren,
dan negara berhutang budi pada mereka. Perjuangan itulah rohnya pesantren,
bukan dari fisik yang hanya berbentuk gubuk reok saat itu.
Tipologi Pesantren
Pondok Pesantren sebagai salah satu tipe
pendidikan terlahir dari rahim bumi Nusantara yang sejak awal kadatangan Islam
telah memberi sumbangsih besar dalam dunia pendidikan, kebudayaan, keagamaan,
hingga sosial dan politik. Sampai saat ini, pendidikan model pondok pesantren
tetap eksis dan terus menerus berbenah untuk bisa bersaing dengan pola-pola
pendidikan sekuler yang berakar dan beridiologi Barat. Secara subtansi, dapat
diklasifikasikan bahwa tipologi Pondok Pesantren dibagi menjadi salaf, modern
dan komprehensi.
Dari segi bahasa salaf berarti 'kuno' lawan dari 'khalaf', modern. Secara istilah, salaf dimaknai sebagaimana definisi Mastuhu, bahwa pesantren salaf adalah lembaga pendidikan tradisional Islam yang mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-sehari. Lebih lanjut ia menjelaskan pengertian 'tradisional' di sini menunjukkan bahwa lembaga pendidikan model pesantren ini telah eksis sejak awal kedatangan Islam, ratusan tahun lalu dan telah menjadi bagian dari sistem pendidikan umat Islam secara kultural. Nurcholis Madjid memaknai pesantren salaf sebagai 'penganut sistem nilai Ahlussunnah wal-Jama'ah'. Karakter menonjol dari pesantren salaf berupa kepemimpinan kharismatik dari seorang kyai yang tidak terlepas dari nuansa sufisme dalam sistem pengajaran kitab kuning. Mastuhu menyebut kepemimpinan model ini bersandar pada kepercayaan santri atau masyarakat umum sebagai jamaah, bahwa sang kyai merupakan pemimpin pesantren yang memiliki karamah dari Tuhan.
Jenis kedua, pesantren modern. Tipe ini pada
dasarnya bukan dinilai dari fisiknya berupa bangunan yang megah dan fasilitas
yang serba modern, tapi lebih pada pembangunan pola pikir (mindset) para guru
dan santri-santrinya, serta menggunakan sistem manajemen yang profesional, dan
yang terpenting dari semua itu adalah adanya metodologi pendidikan modern. Dari
segi kepemimpinan, tipe pemimpin sangat rasionalistik, dan tidak sentralistik,
bahkan seorang kyai diangkat oleh dewan pembina atau para pengurus yayasan dan
badan wakaf. Umumnya pimpinan pesantren adalah alumni perguruan tinggi, dan para
santri pun diarahkan untuk memiliki orientasi agar dapat melanjutkan ke
perguruan tinggi dengan bekal-bekal seperti penguasaan bahasa asing
(Arab-Inggris), sains, kecakapan berorganisasi, dan keterampilan khusus jika
kelak masuk ke masyarakat. Pembagian wewenan para pengasuh dan guru-guru di
pesantren modern pun sangat jelas, tersebutlah, unit keamanan santri, unit
pendidikan, unit kesehatan, humas, dan unit-unit lainnya yang
dipertanggungjawabkan setiap seminggu sekali pada bapak pimipinan. Demikian pula
masalah keuangan, baik sumbangan, yuran santri, gaji guru, dan dana konsumsi
semua diatur dengan managemen yang baik. Pesantren model ini dinilai lebih
layak bertahan di era modern dan serba terbuka ini, nyatanya, pesantren modern
memang tumbuh pesat di mana-mana.
Ada pun tipe ketiga adalah Pesantren
Komprehensif. Jenis ini merupakan sintesa dari tipologi salaf dan khalaf. Dari
segi kepemimpinan, hampir sama dengan model pesantren modern hanya saja tidak
terlalu rasional, umumnya masih kerap dipanggil kyai atau ustad yang mayoritas
lulusan Timur Tengah dan bergelar Magister hingga Doktor. Tapi dari segi
managemen, tetap berada di bawah badan wakaf dengan infrastruktur semuanya
telah modern, mulai dari asrama, ruang kelas, hingga masjid dan laboratorium.
Para santri juga menggunakan baju seragam sebagaimana sekolah-sekolah di luar pada umumnya, dan dibagi menjadi dua tingkatan, SMP dan SMA, pelajarannya pun sama dengan sekolah-sekolah umum. Hanya saja, mereka juga memasukkan kurikulum pesantren salaf, seperti mempelajari kitab-kitab kuning yang gundul itu, serta diharuskan menghafal beberapa juz Alquran disertai dengan hafalan Hadis, plus memiliki kecakapan dalam komunikasi ragam bahasa asing, terutama Arab dan Inggris. Lebih ringkasnya, tipe ini adalah SMP dan SMA yang diasramakan lalu diberi suplemen pelajaran kitab pesantren. Inilah yang sering disebut 'Islamic Boarding School' sekolah Islam berasrama.
Tipe ini juga dinilai mampu bertahan dan terus
berkembang seperti sekarang, di samping melahirkan generasi yang melek
tekhnologi, cakap dalam berorganisasi sebagai calon pemimpin, juga dipadu
dengan pengetahuan agama yang mumpuni sehingga dapat melahirkan generasi yang
memiliki Imtaq dan menguasai IPTEK.
Nampaknya pendidikan ala pondok pesantren
sangat dinamis, terus bermetamorfosis, bergerak jauh ke depan melampaui lembaga
pendidikan mana pun di negeri ini. Sistem pendidikan tertua ini telah nyata
melaksanakan cita-cita pendidikan Nasional tentang pembangunan manusia
seutuhnya dan masyarakat seluruhnya, sebagaimana yang tercantung dalam
Undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wallahu
A’lam!
Enrekang, 2 Mei 2014. Ilham Kadir.
Enrekang, 2 Mei 2014. Ilham Kadir.
Comments