Menuai Hikmah Isra' Mikraj
Alquran adalah mukjizat Nabi Muhammad
yang paling utama, dan kekal hingga saat ini, sedang mukjizat berikutnya yang
selalu dikenang adalah Isra' Mikraj, berupa perjalanan spritual Rasulullah dari
Makkah menuju Masjidil Aqsha Yerussalem lalu naik ke langit paling atas alias
Sidratul-Mutaha. Tentang Alquran, tidak adalagi yang mempermasalahkan
keotentikannya, kecuali orang-orang supaha--tau kebenaran tapi tetap
ingkar--bahkan ayat yang pertama dan terakhir turun dalam Alquran dapat
diketahui lewat informasi dari dirinya sendiri.
Lain halnya dengan Isra' Mikraj,
peristiwa agung ini tidak ditemukan informasi yang akurat kapan persisnya
kejadian itu berlaku. Sebab Alquran hanya menekankan, 'Mahasuci Allah yang
telah memperjalankan hamba-Nya di suatu malam, dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsha' (QS. Al-Isra': 1) tanpa keterangan tambahan mengenai waktu kejadian
peristiwa agung itu.
Menarik untuk menelisik pendapat ulama
terkait kapan terjadinya Isra’ Mikraj. Ada yang mengatakan pada bulan Rajab,
Ramadhan, dan ada yang tidak mau menentukan hari kejadian itu seperti Ibnu
Taimiyah dengan menegaskan, ”Tidak ada dalil yang tegas menyatakan terjadinya
Isra’ Mikraj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan
pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat
mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul
Ma’ad, 1/54).
Ada pun Ibnu Rajab, ia mengatakan, Telah
diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun
sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada
riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan
tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula
yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah
shahih. Sedang Abu Syamah menegaskan, Sebagian orang menceritakan bahwa Isra’
Mikraj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil--pengkritik
perawi hadis--menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan, (Al Bida’
Al Hawliyah, 274).
Penetapan tanggal 27 Rajab sebagai hari
berlakunya Isra' Mikraj adalah simbol belaka untuk mengakhiri perdebatan. Lagi
pula, tidak dicantumkannya waktu Isra' Mikraj secara detail dari kitab wahyu,
baik Alquran maupun Hadis sama sekali tidak mengurangi kepercayaan umat Islam
akan kejadian fenomenal itu, dan pastinya tidak akan pernah merusak akidah
maupun syariat.
Kecuali itu, hukum memperingati Isra'
Mikraj juga tidak ada dalam aturan Islam, dan memperingatinya bukanlah bagian
dari perintah agama. Adalah satu keistimewaan bagi umat Islam Indonesia yang
diberi kemuliaan dengan menetapkan hari Isra' Mikraj sebagai libur nasional.
Kerena itu pula, mengingat-ingat peristiwa keajaiban Isra' Mikraj adalah sama
dengan mengungkapkan sirah atau perjalanan hidup Nabi yang merupakan bagian
dari sunnah. Dan orang yang mencintai sunnah Rasulullah adalah bagian dari
ciri-ciri orang beriman. Intinya, saling mengingatkan akan peristiwa Isra'
Mikraj adalah bagian dari amalan sunnah yang pasti terpuji.
Hidup Berjamaah

Salat dari segi bahasa adalah doa. Dari
sudut istilah bermakna, perbuatan yang didahului dengan takbiratul-ihram dan
diakhiri oleh salam dengan syarat dan rukun-rukun tertentu. Pada dasarnya,
setiap nabi maupun rasul melakukan salat, hanya saja berbeda tatacara
pelaksanaan antara satu dengan lainnya. Khusus bagi umat Islam sebagai pengikut
nabi pamungkas, diwajibkan menunaikan salat lima kali sehari semalam selama
hayat masih di kandung badan.
Kecuali dalam waktu dan kondisi
tertentu, boleh mendapat diskon khusus. Seperti orang yang sedang bepergian
dengan jarak tertentu atau hujan lebat, bencana alam, sakit, dsj., mereka
mendapat keringanan dengan menggabung sambil mengurangi jumlah rakaat, pada
waktu Lohor dan Asar, juga Magrib dan Isya. Dapat dipastikan, jika ada golongan
yang mengotak-atik jumlah salat, atau menggabung dua salat dalam satu waktu
tanpa ada udzrun syar'i, alasan tertentu, maka golongan itu bukan dari
Ahlussunnah wal-Jamaah, dan sesat lagi menyesatkan. Mereka harus mendapatkan
pembinaan.
Hukum salat adalah wajib: dilakukan
mendapat pahala ditinggalkan mendapat dosa besar, dan seluruh umat Islam pasti
paham. Yang kerap mengundang perdebatan, adalah salat berjamaah bagi laki-laki,
apakah wajib atau sunnah? Bagi Imam Abu Hanifah, salat berjamaah wajib
hukumnya. Ini dapat dimaklumi karena pengasas Mazhab Hanafiyah ini memisahkan
hukum 'fardhu' dan 'wajib', yang pertama, adalah ibadah yang perintahnya
bersumber langsung dari Alquran (qath'i), seperti perintah menunaikan seperti
perintah menunaikan salat, puasa, zakat, dst., yang kedua, adalah ibadah yang
perintahnya hanya bersumber daridari dalil zhanni (hadis) atau dicontohkan
langsung oleh Rasulullah. Karena selama hidupnya, selama dalam kondisi normal,
Nabi tidak pernah meninggalkan salat berjamaah, dari sinilah Abu Hanifah
memandang bahwa salat jamaah hukumnya wajib.
Ada pun Imam Syafi'i dan imam
mazhab lainnya berpendapat bahwa salat berjamaah hukumnya fardhu kifayah,
artinya jika satu kompleks terdapat masjid, dan didapati setiap waktu ada
jamaahnya, maka gugurlah kewajiban bagi muslim lainnya, namun jika sebaliknya,
maka seluruhnya akan berdosa. Pendapat ini juga menjadi anutan Imam Nawawi,
ulama muktabar mazhab syafi'i, pengikut mayoritas muslim Asia Tenggara.
An-Nawawi dalam kitabnya, "Raudhat at-Thalibin" menulis, Shalat
berjamaah hukumnya fardhu 'ain untuk salat Jumat. Sedangkan salat fardhu
lainnya terdapat beberapa pendapat, yang paling shahih hukumnya fardhu kifayah,
tapi ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah, dan yang lain mengatakan
hukumnya fardhu 'ain.
Dalilnya bersumber dari Abi Darda' yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa'i, Nabi bersabda, Tidaklah tiga orang yang
tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan salat berjamaah,
kecuali setan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah sebab srigala
itu memakan domba yang lepas dari kawanannya. Tidak hanya itu, sebagaimana
diutarakan Ibnu Umar, dan diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi bersabda, Salat
berjamaah itu lebih utama dari salat secara solo dengan 27 derajat.
Melihat perbedaan pendapat di
atas, maka jumhur atau mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jamaah, mengambil sikap
bahwa salat berjamaah hukumnya wajib bagi yang mampu, namun jika tetap
melakukan salat sendirian maka kewajibannya telah gugur dan salatnya sah tidak
usah diulangi. Hemat penulis, melakukan salat berjamaah adalah bagian dari
hikmah isra' mikraj yang harus dipelihara. Betapa tidak, perintah pertama
adalah melakukan salat 50 kali dalam 24 jam lalu turun hanya 5 kali.
Jika setiap melaksanakan salat berjamaah
akan mendapat 27 kali keutamaan dibandingkan salat sendirian dengan satu
keutamaan, maka sesungguhnya salat berjamaah akan menambah kualitas hidup umat
Islam. Jika sehari semalam mampu menunaikan salat berjamaah, itu artinya
kualitas umur dan ibadah dapat digandakan menjadi 27 hari. Hanya dengan salat
dan hidup berjamaah umat Islam akan kokoh dan bermartabat. Dan jika salat saja
susah berjamaah, apalagi dalam urusan politik, kita sepertinya lebih menyukai
menjadi domba yang terlepas dari kawanan lalu diterkam para srigala lapar.
Wallahu A'alm!
Ilham Kadir, Pengurus KPPSI Pusat dan Ketua Bagian
Penelitian MIUMI Sul Selatan
Comments