Kurikulum Pendidikan

Sedangkan definisi tentang kurikulum secara
istilah (isthilahan) telah banyak ditulis oleh para pemikir pendidikan,
di antaranya adalah Omar Mohammad Al-Thoumy Al-Syaibany, bahwa konsep kurikulum meliputi semua
pengalaman, aktivitas-aktivitas suasana dan peengaruh-pengaruh yang diberikan
kepada murid-murid atau apa yang mereka kerjakan dan jumpai dalam dan di bawah program
sekolah. Sebab semuanya itu memberi pengaruh pada tingakah laku murid dan
memberi sumbangan dalam perkembangan yang menyeluruh. Kurikulum bukan hanya
meliputi mata palajaran dan pengalaman-pengalaman yang tersusun dan berlaku
dalam kelas, tetapi meliputi semua kegiatan kebudayaan, kesenian, olah raga dan
sosial yang dikerjakan oleh murid-murid di luar jadwal waktu sekolah
(Al-Syaibani, Falsafah at-Tarbiyah Al-Islamiyah, 1979).
Abdurrahman
Al-Nahlawi, sebagaimana dikutif oleh Kurniawan dan Mahrus berpendapat,
kurikulum adalah seluruh program pendidikan yang di dalamnya mencakup metode,
tujuan, tingkat pengajaran, materi pelajaran setiap ajaran, topik-topik
pelajaran, serta aktivitas yang dilakukan setiap siswa pada setiap materi
palajaran (Kurniawan dan Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,
2011).
Abuddin Nata mengutif Crow & Crow yang
berpendapat bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah
mata pelajaran yang disusun secara sistematis, diperlukan sebagai syarat untuk
menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu sekaligus berfungsi sebagai
alat mempertemukan kedua pihak sehingga anak didik dapat mewujudkan bakatnya
secara optimal dan belajar menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan mutu
kehidupan dalam masyarakat (Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta, 1997).
Salah Persepsi
Suatu
ketika, seorang tamu berkunjung ke Pondok Pesantren Modern ‘Darussalam’ Gontor,
bertemu dengan KH. Imam Zarkasyi sebagai pimpinan pondok. Sang Tamu bertanya
pada kiai, kurikulum apa yang digunakan di Pondok Modern Gontor sehingga dapat
melahirkan lulusan yang sesuai kebutuhan masyarakat dan negara? Sang Kiai
menjawab bahwa seluruh kehidupan yang ada di Pondok Pesantren adalah bagian
dari kurikulum, dari bagun tidur, bergegas ke masjid, masuk kelas, hingga
makan, dan kembali tidur semuanya adalah kurikulum.
Kesalahan
persepsi seperti penanya di atas hampir dialami sebahagian besar—kalau bukan
semau—pendidik saat ini, karena itu peserta didik hanya dianggap belajar jika
sedang menjajal materi pelajaran dalam kelas, setelah keluar kelas, apalagi
keluar sekolah, ikatan dinas, bahkan emosi antara guru dan pelajar terputus.
Maka jangan heran jika tidak sedikit pelajar yang berkubang dalam dekadensi
moral, termasuk free sex dan geng motor.
Ada
beberapa perkara yang sangat berbahaya bagi para pendidik dalam memahami
pengertian kurikulum. Pertama, sempitnya pengertian tentang kurikulum
dan tidak memasukkan segala pengalaman yang diperoleh para pelajar dan
jenis-jenis aktivias yang dikerjakannya di bawah kelolaan sekolah, baik dalam
atau di luar, untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesuai serta melaksanakan perkembangan yang menyeluruh dan
lengkap-melengkapi bagi pribadinya.
Kedua, pusat
perhatian padanya hanyalah terfokus pada mata pelajaran, pengetahuan teori, dan
hafalan. Ada pun segi amali (practical) dilupakan sama sekali, padahal
mengandung kepentingan yang ‘maha besar’ retorika dan teori lebih menonjol pada
kurikulum yang pada dasarnya memberatkan pengisian kepala murid-murid dengan
pengetahuan dan maklumat teoritis, tanpa memberi perhatian pada pengembangan
keterampilan dalam menggunakan pengetahuan dan maklumat yang telah mereka
peroleh sesuai dengan realitas hidup, dan tanpa menaruh perhatian pada
pembinaan kecakapan pelajaran untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi
dalam hidupnya.
Ketiga,
memusatkan perhatian pada kajian masa lampau dan berusaha menyiapkan
murid-murid bagi masa depan. Hanya berdasarkan pada suasana masa lampau yang
diharapkan oleh generasi sekarang, tanpa memberi sedikitpun perhatian pada
‘masa sekarang dan akan datang’ dari pelajar yang bahkan mungkin bertentangan
dengan masa kini.
Keempat, tidak
adanya kesesuaian dalam kandungan-kandungannya dalam banyak hal, dengan
kesediaan para pelajar, kecakapan khusus dan minat, keinginan, dan
kebutuhan-kebutuhannya sehari-hari. Juga tidak sanggup menggerakkan tenaga
kreatif pada murid-murid, untuk bersaing dengan realitas, alam sekitar, dan problematika
hidup mereka. Hanya diasaskan pada satu fikiran yang salah dengan mengatakan
bahwa pelajarlah yang harus menyesuaikan diri dengaan kurikulum. Posisi murid
sangat pasif, terbatas hanya menerima maklumat-maklumat dari guru, dan dia
tidak diberi peluang cukup untuk memainkan peranan positif dalam proses
pendidikan, berdikari, dan membina pribadinya yang bebas dan kreatif.
Kelima, tidak
membedakan antara satu pelajar dengan lainnya—pilih kasih—tidak mengakui
perbedaan orang-orang pada kemampuan, suasana alam sekitar, dan lain-lain.
Sudah tentu mengabaikan perbedaan-perbedaan ini pada kurikulum pendidikan akan
menghambat perkembangan pendidikan yang sesuai bagi setiap individu
Keenam, dapat
memcah-mecahkan pengetahuan dan fakta-fakta yang dikandungnya ke dalam berbagai
ilmu atau mata pelajaran yang berbeda, tidak berkait satu sama lain, dan
pengetahuan-pengetahuan dan fakta-fakta di situ tidak sesuai dengan logika.
Ketujuh, teralu
sempit dalam memandang satu perkara. Ketika menerangkan sebuah ilmu-ilmu syar’i
seperti syarat, dan rukun salat, sama sekali tidak disinggung dengan
pengetahuan sains kontemporer yang berkaitan dengan ibadah mahdah. Katakanlah,
syarat salat harus menutup aurat yang terbuat dari kain, kain terbuat dari
benang yang berasal dari kapas. Ilmu menanam kapas (pertanian), membuat benang
dan pakaian (perindustrian), hingga transportasi dan perniagaan adalah bagian
dari disiplin ilmu yang erat dengan salat.
Karena itu,
kurikulum yang diperlukan adalah yang mampu menjawab kesalahan-kesalahan
persepsi di atas, dapat menjadi solusi atas segala bentuk degradasi moral,
melahirkan out put sesuai kebutuhan zaman, dan pastinya, tidak lari dari tujuan
utama pendidikan: melahirkan insan kamil (manusia paripurna) dan menjadi
khalifah di muka bumi. Sebuah tindakan serampangan jika kurikulum terus menerus
diotak-atik, setiap ganti menteri, setiap itu kurikulum baru kembali disusun, sesuai
permintaan sang menteri, sebagaimana yang terus menerus terjadi di negeri ini.
Namun
secanggih apa pun kurikulum tanpa dibarengi dengan kapasitas guru yang memadai
maka kurikulum tidak akan maksimal. Karena itu, hanya guru yang berkualitas
dapat melahirkan anak didik yang berkualitas pula. Di pondok pesantren, kita
kenal, Ath-Thariqah ahammu minal maadah, metode lebih penting daripada
mata pelajaran, wal mudarris ahammu min ath-thariqah, namun guru lebih
penting dari metode, wa ruhul mudarris ahammu minal-mudarris nafsuhu,
dan jiwa seorang pendidik lebih penting dari gurunya itu sendiri.
Saya
yakin bahwa kasus ‘sodomi’ di Jakarta Internasional School (JIS) yang
akhir-akhir ini marak diberitakan oleh media—porsinya menyamai koalisi partai
menuju Pilpres—dianalisa, dan diulas luas para pakar pendidikan adalah bagian
dari kebobrokan sistem pendidikan kita yang bersumber dari kesalahan persepsi
terhadap makna sesungguhnya sebuah kurikulum dan ketiadaan jiwa mengajar para
gurunya. Dapat dipastikan kalau segenap pengajar JIS adalah manusia-manusia
berkualitas dengan kualifikasi internasional sesuai nama sekolahnya.
Di
sinilah jiwa seorang guru dipertaruhkan dan dituntut agar dapat mendidik sepenuh
hati, bukan saja dalam kelas, tapi seluruh gerak-gerik anak didiknya, terutama
dalam kawasan sekolah, lebih-lebih pada jam mengajar. Sangat tidak logis, sementara
jam pelajaran berlangsung lalu anak minta izin ke toilet, kembali dalam keadaan
menangis karna selesai ‘dihajar’ oleh Kaum Nabi Luth, namun tanpa dimengerti
oleh Guru. Inilah di antara ciri guru yang tak memiliki jiwa sebagai pendidik,
tidak memiliki ikatan emosi dan spritual pada murid-murid. Guru semacam ini
terus bertambah di era serba materialis dan pragmatis ini. Mengajar hanya
karena uang, hadiah terburuk di Hari Pendidikan Nasional. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, MA. Alumni Pesantren Darul Huffadh Tuju-tuju dan Peneliti MIUMI Sulsel
Comments