Dr. H. Muttaqin Said; Pimpinan Darul Huffadh Tuju-tuju hingga Darul Abrar Palattae (2)
Bermula ketika saya
merekomendasikan Dr. Muttaqin Said, MA., agar diangkat profilnya di 'Tribun
Life' Koran Tribun Timur Makassar. Kebetulan saya berhak mengusulakan
tokoh-tokoh yang layak menjadi inspirator bagi generasi muda zaman sekarang.
Jika selama ini, yang kerap diangkat para politisi dan hartawan, maka saya
mengusulkan agar intelektual dan ulama juga dijadikan sebagai sumber inspirasi.
Tak terkecuali ulama muda.
Pilihan saya jatuh pada Dr. Muttaqin Said, guru saya di Tuju-tuju dahulu kala (1989-1996). Pertimbangannya sederhana saja, segela perangkat yang dapat menjadikan seseorang sebagai cendekiawan dan ulama telah terpatri pada sosok Muttaqin Said.
Cerita bermula, ketika saya dan beberapa pengurus MIUMI berdiskusi tentang sosok ulama mujtahid, masih adakah ulama jenis itu, mengingat syaratnya begitu ketat, menguasai ilmu 12, hafal Al-Qur'an 30 juz dengan mutqin, plus hafal hadis-hadis yang berkaitan dengan hukun, akidah, dan muamalat tidak kurang dari 500 hadis.
Tak plak lagi, Dr. Muttaqin Said adalah sosok paling tepat, hanya dialah di Sulawesi Selatan yang saya tau memenuhi kapasitas itu, yang lain mungkin ada, tapi belum pernah ketemu. Bahkan banyak guru besar dalam bidang tafsir tapi tak hafal Al-Qur'an, ada guru besar hadis, tapi tidak hafal banyak hadis apalagi Al-Qur'an, begitu yang saya tau.
Selain kemampuannya sebagai seorang ulama muda mujtahid, Muttaqin sosok yang layak jadi panutan, kehidupan sederhananya sangat tampak, walau telah meraih jenjang akademis tertinggi berupa doktor, ia tetap tawadhu dan mengamalkan ilmunya di pondok serta masyarakat sekitarnya. Dengan ilmu dan ampe-ampe madeceng yang ada padanya, sehingga layak disebut Panrita atau Anreguru sesungguhnya. Karena itu, kami dari Pengurus DPW MIUMI Sulsel tak salah pilih mengangkat dirinya sebagai Ketua Lembaga Fatwa.
Mengenai keilmuan dan ampe-ampenya, tidak satupun menyangsikan itu. Masalah kemudian muncul, karena dalam biodata pribadinya, saya tulis, sebagai Pimpinan Pondok Pesantren Darul Huffadh Tuju-tuju 1996, ternyata diprotes oleh saudara kandungnya dari pihak ayah, Ustazah Sa'diah Said. Diskusi dan perdebatan pun tak terhindarkan, berikut beberapa petikan saya pilih, setelah diedit beberapa kata tanpa menghilangkan maksud asalnya.
Pilihan saya jatuh pada Dr. Muttaqin Said, guru saya di Tuju-tuju dahulu kala (1989-1996). Pertimbangannya sederhana saja, segela perangkat yang dapat menjadikan seseorang sebagai cendekiawan dan ulama telah terpatri pada sosok Muttaqin Said.
Cerita bermula, ketika saya dan beberapa pengurus MIUMI berdiskusi tentang sosok ulama mujtahid, masih adakah ulama jenis itu, mengingat syaratnya begitu ketat, menguasai ilmu 12, hafal Al-Qur'an 30 juz dengan mutqin, plus hafal hadis-hadis yang berkaitan dengan hukun, akidah, dan muamalat tidak kurang dari 500 hadis.
Tak plak lagi, Dr. Muttaqin Said adalah sosok paling tepat, hanya dialah di Sulawesi Selatan yang saya tau memenuhi kapasitas itu, yang lain mungkin ada, tapi belum pernah ketemu. Bahkan banyak guru besar dalam bidang tafsir tapi tak hafal Al-Qur'an, ada guru besar hadis, tapi tidak hafal banyak hadis apalagi Al-Qur'an, begitu yang saya tau.
Selain kemampuannya sebagai seorang ulama muda mujtahid, Muttaqin sosok yang layak jadi panutan, kehidupan sederhananya sangat tampak, walau telah meraih jenjang akademis tertinggi berupa doktor, ia tetap tawadhu dan mengamalkan ilmunya di pondok serta masyarakat sekitarnya. Dengan ilmu dan ampe-ampe madeceng yang ada padanya, sehingga layak disebut Panrita atau Anreguru sesungguhnya. Karena itu, kami dari Pengurus DPW MIUMI Sulsel tak salah pilih mengangkat dirinya sebagai Ketua Lembaga Fatwa.
Mengenai keilmuan dan ampe-ampenya, tidak satupun menyangsikan itu. Masalah kemudian muncul, karena dalam biodata pribadinya, saya tulis, sebagai Pimpinan Pondok Pesantren Darul Huffadh Tuju-tuju 1996, ternyata diprotes oleh saudara kandungnya dari pihak ayah, Ustazah Sa'diah Said. Diskusi dan perdebatan pun tak terhindarkan, berikut beberapa petikan saya pilih, setelah diedit beberapa kata tanpa menghilangkan maksud asalnya.
Ustazah Sa’diah Said: Afwan, sedikit meralat. Almarhum Lanre Said, tidak pernah
digantikan oleh siapapun sebagai pimpinan Darul Huffadh hingga beliau wafat tahun
2004. Kak Muttaqin waktu itu, diangkat oleh beliau sebagai penanggung jawab
KMI. Hal ini tertulis di setiap kesyukurn di masa Almarhum dan setiap surat
keluar dari Darul Huffadh. Syukron!
KH. Anwar Harun: Tidak perlu
diklarifikasi, hanya Allah yang paling tau, saya hanya saksi yang masih hidup
bahwa pernah memang diserahi kepemimpinan ketika Saad masih kuliah di Gontor, setelah
terjadi kesalah pahaman dari pihak rumah Selatan, barulah Saad dipanggil pulang
untuk memimpin meskipun belum selesai kuliahnya. Kenapa hal yang seremeh dan
sekecil itu mau dipersoalkan, itu tidak akan mengurangi wibawa DH kalau memang masih
berwibawa, dan tidak akan mengangkat DA—Darul Abrar—kalau mamang tidak
berwibawa, DA terangkat bukan karena DR. Muttaqin pernah memimpin DH, pahami
itu...
Ustazah Sa'diah Said: Ustad Anwar Harum, kata “Saad dipanggil untuk memimpin” itu salah
besar. Ketika beliau datang dari Jawa, semua santri menjadi saksi bahwa K' Saad
hanya diserahkan sebagai pengasuhan, dan jauh maknanya dari kata pimpinan. Kata-kata
Antum juga sudah saya konfirmasi kepada salah satu saksi waktu itu,dan beliau
membantah hal ini. Ibunda saya tidak pernah
mempersoalkan siapapun yang memimpin DH, apalagi anak-anak beliau yang saat itu
kami semua masih di Jawa. Afwan Ustad, saya hanya butuh bukti klau ibu dan keluarga
Selatan terlibat dengan kata tidak setuju ini. Semoga bukan fitnah maka saya
butuh buktinya. Satu hal yang dikatakan Ustad Lanre Said, "Mereka hanya berbicara
tapi tidak tau apa yang terjadi di balik kelambu!" Syukron.
KH. Anwar Harun: Sudahlah, peganglah apa yang Anda anggap benar, tidak ada gunanya
bagi saya mempersoalkan yang remeh dan tidak penting. If'al ma syi'ta...
Ustazah Sa’diah Said: Afwan Ustad, kalau hal ini remeh lantas buat apa antum
harus turut membahasnya? Bukankah ini menunjukkn kalau itu penting buat Antum? Hanya itu pertanyaan dalam otak saya. Dan saya
masih menunggu bukti dari pernyataan Antum di atas. Apapun yang dikatakn orang
tentang Lanre Said, beliau adalah Ayah dan Ettaku yang Terbaik. Saya juga minta
maaf Ustad.
Abu Naqieb: Afwan Ustad Anwar, wallahi, sama sekali bukan itu maksud
dari minta klarifikasi. Cuma kami sebagai alumni sangat dituntut untuk
mengetahui sejarah almamater, bukan untuk berbangga atas yang lain wallahi
ma'adzallah. Kami menghormati semua ulama kita yang bukan milik siapa-siapa,
mereka adalah milik umat yang dibanggakan oleh kita semua tentunya. Cuma dalam
hal ini, hanya kebenaran data tuk khazanah pengetahuan kami. Berhubung Ustad Ilham
mengangkat masalah ini, hal yang tidak pernah didengar oleh kami sebagai
alumni, maka kami hanya perlu kebenaran data agar tidak ada kesalahpahaman
antara santri, alumni dan pesantren. Ukhuwah Islamiyah dari selurh elemen
lembaga Islam lebih penting untuk perjuangan, mohon untuk tidak salah paham Ustad.
Semoga Allah meneguhkan kita di atas perjuangan dakwah dan pendidikan Islam.
Ustazah Sa’diah Said: Wallahi, dari semua peristiwa kejadian di pondok, tidak
ada satu pun yang menguntungkan saya. Semata-semata semua saya lakukan untuk
pondok. Klau ada keuntungan yang saya dapatkan, maka Allah tidak perlu memberikan
saya pahala dari awal perjuangan hingga saat ini, (Alm. Lanre Said)... Insya Allah
Ustad, hari Jum'at tanggal 9/5/2014, saya balik ke-77. Saya akan bersilaturrahmi
ke rumah Antum, untuk mendengarkan langsung sehubungan dengan komentar Antum di atas. Syukron.
KH. Anwar Harun: Kalau tujuannya datang untuk membuat saya menggibahi orang yang sudah
mati, tidak perlu datang, datangi langsung orang yang terdzlimi yaitu Petta
Cinnong, mumpung beliau masih hidup, saya kan hanya pernah membantu Allah
Yarham Ustad Lanre Said (paman saya) mencari bantuan untuk pembangunan Pondok
DH yang masih dapat dilihat dan digunakan sampai saat ini.
*** ***

Tapi
karena permintaan dari Abu Naqieb dan dorongan dari Sa'diah sendiri, maka saya
akan katakan sejujurnya, apa yang saya ketahui tentang keberadaan Dr. Muttaqin
Said sebagai mantan Pimpinan Pesantren Darul Huffadh Tuju-tuju.
Bermula
ketika Dr. Muttaqin telah menyelesaikan pendidikannya pada jenjang magister di
Sudan. Begitu kembali ke Tuju-tuju, ia langsung diamanahi sebagai Pimpinan
Pesantren dengan catatan hanya mengurusi masalah pendidikan dan pengajaran,
bukan direktur, bukan pula sebatas penanggungjawab KMI, tetapi pimpinan. Kalau
bertindak sebagai direktur KMI saat itu Fuad Zein, Yanyan Mardiana, dan Ali
Najib, priode kepengurusannya dari 1994-1996. Saya juga tidak pernah menemukan
ada catatan bahwa Ustad Muttaqin sebagai Direktur atawa Penanggungjawab KMI.
Saya tau
betul, saat itu beliau diserahkan sepenuhnya untuk mengurus pondok terkait
hal-ihwal pendidikan, dan KH. Lanre Said, berkali-kali mengatakan bahwa dirinya
akan fokus mengurus isi perut dan tempat tinggal para santri.
Sewaktu
Muttaqin Said jadi pimpinan, saya termasuk saksi nyata.
Dalam sebuah Kamisan,
beliau sendiri berbicara di depan guru-guru bahwa dirinya telah diserahkan
amanah untuk mengurus pondok, khususnya dalam menjamin kelangsungan belajar
mengajar, dan kedudukan ayahnya adalah mengurus pembangunan dan konsumsi
santri. Saat itu, beliau juga menegaskan, jika dirinya kelak diminta untuk
mengurusi konsumsi para santri, namun tidak mampu berbuat sebagaimana sang
ayah, dengan menggeratiskan mereka, maka jalan terbaik baginya adalah harus
menyediakan lahan pertanian para santri agar kelak hasil panennya dapat
dikonsumsi sendiri, dan jika tidak mampu juga, maka jalan terbaik harus
membebani para santri untuk membawa beras sendiri sebagai kebutuhan pribadi.
Pernyataan
di atas sampai ke telinga KH Lanre Said, marah, lalu memecat putranya sebagai
pimpinan. Dalam kasus ini, ia berkali-kali berkata, "Saya masih hidup saja
sudah berani-berani ingin membebani para santri, apalagi kalau saya sudah
meninggal. Kenapa tidak berusaha dan berdoa pada Allah kiranya, Muttaqin
dikaruniai kemampuan seperti saya atau melebihi?".
Di lain
waktu, saya, Ustad Said Ya'qub, dan Ustad Furwadi, mendengar langsung berkata,
"Saya sudah serahkan kepada Muttaqin untuk memimpin pondok ini, tapi tidak
sanggup, maka saya tarik kembali!"
Kata-kata
"memimpin" di atas jelas bukan sekadar 'penanggungjawab' sebagaimana
disebut oleh Sa'diah Said. Beda pimpinan, dan penanggugjawab, kalau tidak
paham, silahkan cek di kamus.
Mungkin
ada yang bertanya, betulkah apa yang saya katakan? Karena ini adalah 'khabar'
maka bisa benar dan bisa pula sebaliknya, tapi pernyataan saya bisa dibuktikan
dengan menelusuri siapa-siapa yang pernah mendengar Lanre Said rahimahullah
bicara seperti yang saya utarakan, atau bertanya pada Muttaqin Said, atau pada
guru-guru KMI yang pernah merasa dipimpin oleh Muttaqin Said, dalam priode
1995-1996. Tanyakan pada mereka kebenaran cerita ini.
Lalu,
di manakah Utazah Sa'diah Said? Ia masih di Jawa, belajar di Pesantren Al-Mawaddah,
dan pastinya cerita ini tidak akan diketahui tanpa mendengarkan cerita dari
pihak lain. Nah, bolehlah Anda bandingkan, percaya sama saya selaku pelaku
sejarah, atau percaya sama orang lain yang sok tau sejarah, lalu bikin sejarah
baru? Terserah Anda!
Saya
hanya menulis apa yang saya tau dan alami, selain itu saya berlepas diri.
Ucapan KH. Lanre Said rahimahullah yang ditulis oleh putrinya agar direnungkan
bahwa apa yang dilakukan semua untuk pondok adalah benar adanya, tidak dapat
disangkal. Bahkan seluruh ucapan-ucapan rahimahullah setau saya semuanya
terbukti satu persatu.
Termasuk mimpinya bahwa pada akhir hayatnya hanya akan
memiliki satu istri. Kecuali satu, perkataan ini terus menerus diulang-ulang di
depan santri dan khalayak ramai, katanya, "Kelak yang sanggup memimpin
pondok ini adalah bukan dari keturunanku, bukan pula kerabat dan
keluargaku!" Anehnya, kata-kata itu selalu diulanginya di depan para putra-putrinya.
Dengan segala ilmu yang ia miliki, saya sangat yakin kalau kata-kata itu akan
terbukti! Ciri Panrita sekaliber Gurutta Lanre Said adalah, al-‘ilmu qablal
qaul wal ‘amal.
Last but
not least. Semua ini saya tulis karena permintaan teman-teman dan dorongan dari
Sa'diah Said, sama sekali tak mengharap apa-apa dari pernyataan ini. Dan
memang tidak ada apa-apa yang bisa saya dapatkan, sekadar saling mengingatkan
bahwa pondok sekarang yang sedang maju dan berkembang pesat, tidaklah serta-merta
terjadi, bukan 'sin sala bin' tapi melewati proses yang berliku dan terjal.
Sangat konyol bin jahil jika ada orang-orang yang sengaja ingin menghapus
sejarah permulaan dan perkembangan pondok pada masa awal perintisan, lalu
dengan bangganya mereka-reka cerita, sungguh itu adalah dongeng belaka. Wallahu
A'alm!
Sumigo,
4 Mei, 2014 Ilham Kadir. Alumni Majelisul Qurra' wal-Huffadz Tuju-tuju 1992.
Comments