Wakil Rakyat Harapan Umat

Karena itu, fatwa MUI yang dihasilkan dalam pembahasan
Forum Ijtima Ulama 24-26 Januari 2009 di Padang Panjang, Sumatera Barat, patut
diapresisasi karena menekankan bahwa memilih dalam pemilihan umum (pemilu)
merupakan kewajiban bagi umat Islam yang memenuhi syarat.
Beberapa kutipan naskah fatwa berbunyi, pemilihan umum
dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang
memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan
aspirasi umat dan kepentingan bangsa; Memilih pemimpin dalam Islam adalah
kewajiban untuk menegakkan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan) dalam
kehidupan bersama. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat
sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat; Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa,
jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai
kemampuan dan kecerdasan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam
hukumnya adalah wajib; Memilih pemimpin
yang tidak memenuhi syarat-syarat atau bahkan tidak memilih sama sekali padahal
ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Selanjutnya, fatwa diikuti dengan dua rekomendasi,
yakni umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang
mengemban tugas amar makruf nahi munkar. Berikutnya, Pemerintah dan
penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar
partisipasi masyarakat dapat meningkat sehingga hak masyarakat terpenuhi.
Demikian pula Muhammadiyah, pada pertemuan nasional
tanggal 3 Januari 2014 di Jakarta, sebagai wujud komitmen dan tanggungjawab
kebangsaan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan pernyataan dan sikap resmi
sebagai bentuk pesan dan ajakan moral tentang penyelenggaraan pemilu 2014 ini.
Ada tujuh 'pernyataan sikap' yang dikeluarkan Muhammadiyah, di antaranya pada
poin pertama adalah: Muhammadiyah memandang Pemilu adalah proses politik yang
sangat bermakna, strategis, serta menentukan eksistensi, arah perjalanan dan
masa depan bangsa dan negara Indonesia. Pemilu bukanlah ritual politik dan
suksesi kepemimpinan belaka, tetapi momentum jihad politik dan sarana membangun
demokrasi yang substantif dan mengakhiri transisi dan segala bentuk eksperimen
politik yang selama ini ditengarai semakin menjauhkan kehidupan kebangsaan dari
misi mulia reformasi dan cita-cita nasional 1945.
Tujuh Kriteria
Ada beberapa kriteria yang layak menjadi pertimbangan
dalam memilih calon wakil rakyat yang kelak akan mewakili kita untuk
memperjuangkan aspirasi dan hak-hak serta hajat hidup orang banyak. Kriteria di
bawah ini bukanlah harga mati, dan sangat terbuka diperdebatkan, dikoreksi,
lalu direvisi.
Pertama. Selaku seorang muslim, maka pertimbangan
dalam memilih hendaknya didasari dari faktor keimanan dan ketakwaan seorang
caleg, salah satu fungsi dari maqashid asy-syariyah adalah hifdzud-din,
atau menjaga dan menyelamatkan iman dan agama, karena itu wakil yang kita pilih
adalah berdasarkan pada hierarki keimanannya. Dalam mengukur, bisa dipelajari
dari track-record-nya, atau rekam jejaknya, termasuk mereka yang dekat
dengan masjid dapat menjadi pertimbangan, karena orang yang rajin ke masjid
--bagi lelaki--adalah bagian dari tolok-ukur keimanannya, berdasarkan sebuah
sabda Nabi, Idza ra'aetumurrajulu ya'tadul masjid faktubu lahu bil-iman.
Jika engkau menyaksikan seorang lelaki yang rutin ke masjid maka pastikan ia
orang beriman. Sedangkan caleg yang melanggar aturan agama dengan membeli suara
atau menyogok, harus dihindari, tidak hanya membahayakan dirinya tapi juga
menistakan orang lain. Pesan Nabi, ‘ar-Rasyi wal murtasyi fin-nar. Orang
disogok dan menyogok akan dinerakakan’ harus dimengerti dan dipatuhi. Selogan,
“Ambil uangnya jangan pilih calegnya” harus dirubah menjadi “Jangan ambil
uangnya dan tolak calegnya”. Anggota
legislatif yang kadar keimanannya minim maka dapat dipastikan kebijakan
anggaran yang diperjuangkan tidak didasari atas kemaslahatan umat dan
pembangunan yang berhubungan dengan peningkatan ketakwaan, sehingga kemaksiatan
dan kemungkaran tumbuh pesat.
Kedua. Berfikir merdeka dari pengaruh westernisasi.
Mampu menangkis segala bentuk jajahan model modern, terutama yang terkait
dengan ekonomi sebagai sumber mengepulnya asap dapur dan berisinya periuk nasi
mayoritas rakyat Indonesia. Saksikanlan, di tengah hiruk-pikuk dan euforia
polik, disadari atau tidak, dollar menyungsut ke level belasan ribu rupiah yang
berdampak pada naiknya harga kebutuhan primer maupun sekunder. Jika dulu harga
sabun mandi masih kisaran Rp. 2000, maka saat ini tidak lagi. Ini baru sabun
mandi, belum lagi harga-harga lain, dan konyolnya, seakan tidak ada yang
peduli. Banyak yang tidak sadar bahwa ekonomi kita saat ini sudah ambruk, yang
ada hanya hutang, hutang, dan hutang. Oleh karena itu, memilih legislator
seharusnya mereka yang paham akan keadaan ekonomi bangsa dan umat. Agar kita
bisa bebas dari jerat hutang yang membelenggu.
Ketiga. Dekat dengan rakyat. Harus dekat dengan
masalah besar bagi orang kecil, bukan hanya dekat dengan masalah kecil bagi
orang besar. Untuk itu, dibutuhkan legislator yang dekat dengan masalah-masalah
besar bagi kaum marjinal, seperti kemiskinan, keadilan pembangunan, kebodohan
dan pembiaran. Kedekatannya pada rakyat bukan saja pada saat-saat pemilu saja,
tapi ia dekat dari dulu serta memiliki komitmen untuk perubahan ke arah yang
lebih baik bagi masyarakat kecil.
Keempat. Yang dipilih hendaklah yang negarawan. Bukan mereka
yang mengejar eksistensi diri, gila hormat, ingin dikenal di mana-mana,
berbangga-bangga, angkuh, dan cuek. Seorang negarawan pasti terpanggil untuk
membela dan mengayomi negara dan masyarakatnya. Bukan sosok yang akan
melanggengkan kekuasaan pribadi dan dinastinya, bukan pula yang menjajakan diri
di mana-mana bahwa dia begini dan begitu, atau bukan juga yang hanya ingin
menambah dan memperluas proyeknya. Menjadi legislatif adalah wadah pengabdian.
Kelima. Pilih mereka yang memiliki pengabdian dan
kontribusi yang jelas dan terukur di masyarakat, utamakan mereka yang
berkecimpung dalam organisasi masyarakat yang bergerak di bidang pemberdayaan
umat. Seperti pendidikan, atau pemberantasan baca tulis Al-Quran, hingga pemberdayaan
pengusaha kecil, seperti koperasi syariah (Baitul Mal wat-Tamwil). Rekam
jejaknya dalam pemberdayaan telah terbukti bukan sekadar jani-janji manis, atau
tiba-tiba muncul menjadi orang yang paling dermawan, atau mendadak aktivis dan
aktif dalam berbagai keormasan dan kegiatan kemasyarakatan, bahkan lagaknya
melebihi seorang muballig, jadwal ceramahnya sungguh padat. Padahal selama ini,
untuk salat jamaah saja batang hidungya jarang nampak.
Keenam. Memiliki integritas dan pendidikan yang jelas
jenjangnya. Kerap kita jumpai seorang caleg yang selama ini hanya sibuk di
pasar dan di toko, tak pernah terlihat ke kampus belajar, tiba-tiba muncul
dengan ragam titel, mulai dari SH, SE, S.Ag, hingga MM dan MBA. Atau mereka
yang gagal menyelesaikan kuliah di Timur Tengah, tapi begitu sampai di sini,
lalu menjadi caleg, langsung bikin titel, Lc., MA. Bahkan ada yang sengaja
memasang gelar guru besar 'Professor' yang sebetulnya sudah kadaluarsa karena
tidak lagi mengabdi dan berkarya di kampus, tidak pula punya publikasi ilmiah.
Ketujuh. Memiliki akses informasi dengan para
konstituen yang mudah. Minggu lalu, saya ke Enrekang, saya melihat sebuah
baliho milik Dr. H. Ali Mocthar Ngabalin, MA yang jadi caleg DPR RI Dapil III
Sulsel dengan mencantumkan nomor HP, FB, Twitter, hingga alamat Email, ini
layak menjadi contoh bagi caleg lain, dan fenomena langka di Indonesia, yang
juga pernah saya saksikan ketika kuliah dan jadi dosen di Malaysia. Bahwa
seorang aleg harus siap selalu dihubungi oleh masyarakat luas.
Era ini adalah zaman informasi, dan kita berada pada
dunia yang berbeda pada zaman Yunani Kuno yang orang-orang rela
berbondong-bondong dan berdesak-desakan ke sebuah arena hanya untuk menyaksikan
wakilnya berorasi, tidak pula berada pada era pra-Islam yang memilih orang
terhormat berdasarkan kehebatannya berpuisi di depan pengunjung Bar Ukkaz yang
naskah puisinya di gantung di Kakbah.
Saat ini, generasi melek informasi telah terlahir, dan
sosial media telah melanda dunia. Apa yang terjadi di belahan bumi lain dengan
muda dapat diketahui oleh penduduk bumi lainnya. Karena itulah, diharapkan
kepada pemilih untuk menyeleksi anggota caleg yang bersedia dihubungi kapan dan
dimana pun dengan berbagai ragam sosmed, mulai dari panggilan, sms, wechat,
twitter, whatsup, kakaotalk—daftarnya terus bertambah. Banyaknya permasalahan
yang dihadapi oleh masyarakat luas dan kadang kala datang tak terprediksi
bahkan tak mampu diselesaikan kecuali dengan bantuan pemerintah yang memang
bertugas untuk itu. Justru di sinilah para wakil rakyat harus siap dihubungi
dan berperan penting untuk mendorong para eksekutif agar turun membereskan
persoalan masyarakat. Atau mereka yang tertimpa musibah berupa kecelakaan dan
sejenisnya, wakil rakyat harus tanggap, jangan hanya kerjanya Datang, Duduk,
Diam, dan Duit. Caleg yang bertingkah arogan dan susah diajak berkomunikasi
sebaiknya jangan dipilih! Komunikatif atau muda diajak berkomunikasi adalah
bagian dari kriteria yang harus diutamakan.
Demikian beberapa kriteria yang layak menjadi pertimbangan
dalam memilih wakil rakyat dambaan umat. Tentu ini bukanlah sebuah keniscayaan,
hanyalah ijtihad kecil dari politik kualitas rendah seperti saat ini menuju
ijtihad politik kulias tinggi. Tanpa ijtihad dan jihad politik, maka demokrasi
hanya akan melahirkan pemimpin berkualitas rendah, dan bersikap tinggi hati,
arogan, gila hormat, serta hanya tau jaim dan pencitraan. Bahkan tidak menutupi
kemungkinan, demokrasi yang kita perjuangakan justru hanya menjadikan orang
berkualitas seperti cendekiawan dan ulama menjadi hina, dan memuliakan para
koruptor, dan orang bodoh.
Jika demikian adanya, kita tinggal menunggu
kehancuran. Idza usnidal amru ila ghairi ahaliha fantadhirs as-sa'ah.
Jika urusan telah dilimpahkan pada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancuran. Wallahu
A'lam!
Ilham Kadir, MA. Pengurus Dewan
Pimpinan Wilayah Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Sulawesi
Selatan
Comments