Agama, Politik, dan Umat Islam

F. Schleiermacher mendefinisikan agama sebagai
'rasa ketergantungan yang absolut'. Ada pun Whithehead memahami agama sebagai
'apa yang kita lakukan dalam kesendirian'. Di sini faktor-faktor terpenting dan
pendukungnya adalah emosi, pengalaman, intuisi, dan etika. Sayangnya, defenisi
ini hanya cocok untuk agama primitif yang punya tradisi penuh ritus-ritus yang
tidak sesuai untuk agama yang punya struktur keimanan, ide-ide dan
doktrin-doktrin yang mapan.
Para sosiolog dan antropolog melihat religion
bukanlah sama sekali seperangkat ide-ide, nilai, atau pengalaman yang terpisah
dari matriks kultural. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri
sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa.
Tapi bagi pakar psikologi, agama justru harus diartikan sebagai faktor kekuatan
kejiwaan ketimbang faktor-faktor sosial dan intelektual.
Ada pun pandangan teolog Barat, mereka melihat
dan menganggap agama sebagai entitas yang komprehensif dan totalitarian. Adalah
Paul Tlillich, seorang filosof sekaligus teolog Kristen, mendefinisikan agama
sebagai 'the ultimate cencern' atau 'pusat perhatian'. Dengan itu, seluruh
agama yang dikenal manusia, formal atau berbasis wahyu, maupun informal atau
kreasi manusia, juga segala isme-isme modern dapat diakomodasi.
Agama Islam yang memiliki konsep unik tentang
al-din, di sini tidak ada perbedaan mendasar antara agama teistik dan
non-teistik. Konsep theos, tuhan, atau Ilah, menurut Alquran adalah objek
sesembahan (ma'luh) atau penghambaan (ma'bud) tunggal. Manusia tidak akan
pernah bisa lepas dari 'penghambaan' kapan dan di mana pun berada hingga mereka
yang mengingkari wujud Tuhan karena kepongahannya.
Demikian pula tidak ada bedanya antara
mengklasifikasi agama ke dalam personal dan ecclesial, atau agama alternaatif,
quasi-religion (semi agama), falsafah hidup (worldview) dan semisalnya. Tidak
jauh berbeda, antara bercampur dua doktrin teologi atau menggabungkan dengan
ideologi politik atau falsafah tertentu. Siapa pun bisa menjadi objek
penghambaan, dan ajaran apa pun bisa menjadi agama. Terlalu mencintai jabatan,
harta, dan pangkat sangat bisa menjadikan pemiliknya sebagai hamba, sehingga
banyak yang salah kaprah, rela mati demia semua itu, menghalalkan segala cara demi
meraih jabatan lalu menjadi budaknya.
Ajaran hura-hura aias hedonisme juga tak kalah
penting untuk disorot, fenemena ini telah mewabah, tayangan-tayangan media
turut menjadi penyebab. Slogan food, fashion and fun adalah motor penggerak
hedonisme yang kini telah menjadi sebuah ideologi bahkan agama baru.
Agama dan Politik
Agama dan Politik
Paparan terkait sifat dan karakteristik agama
telah saya ungkapkan. Bahwa agama mencakup segala sesuatu dan mengatur segala
aspek kehidupan. Tentu saja, kehidupan publik, termasuk pula hajat hidup orang
banyak masuk dalam lingkaran agama.
Pendapat ini didukung oleh Algernon Sidney
Crapsey, seorang pastor yang menulis buku "Religion and Politics",
katanya, In the great majority of American minds this assertion that politics
is not religion would have the force of self-evidant axiom, and yet whole
history of the world proves that while religionis much more than politics yet
politics is religion. (Dalam pikiran mayoritas bangsa Amerika, penegasan bahwa
politik bukan agama diyakini sebagai satu aksioma, akan tetapi sejarah dunia
secara keseluruhan membuktikan bahwa sementara agama lebih dari sekadar politik
namun politik adalah agama).
Crapsey lalu menjustifikasi pendapatnya dengan
menarik sejarah masa silam, ia menganggap bahwa seluruh kehidupan politis
pemerintahan polis Yunani Kuno dapat dikategorikan sebagai agama.
Demikian pula Naquib Al-Attas, ilmuan besar
kelahiran Indonesia dan berdiam di Malaysia, dalam bukunya "Islam and
Secularsm" menyatakan bahwa Islam memiliki konsep khusus terkait agama dan
politik. Dengan mengurai makna "al-din", bukan semata diartikan
sebaga agama, tetapi ada korelasi dengan "tamaddun" atau peradaban
dan "madinah" sebagai kota beradab dan beragama. Kota Madinah yang
dimana Nabi menjadi kepala negara dan menerapkan hukum yang sesuai dengan
tuntunan wahyu Alquran dan Sunnah.
Yusuf Al-Qardhawi, ulama kontemporer masa kini, dalam bukunya "Al-Islamu wal 'Ilmaniyah Wajhan Liwajhin" juga secara tegas mengatakan, al-din huwa as-siyasah. Agama adalah politik. Tidak ada dikotomi antara keduanya. Oleh karena itu, umat Islam yang diberi karunia berupa ilmu dan beberapa perangkap lainnya agar tampil terjun ke dunia politik sehingga politik di negeri ini diwarnai oleh orang-orang saleh, berilmu, amanah, cerdas, jujur, dan tegas membela kebenaran dan menumpas kejahatan.
Yusuf Al-Qardhawi, ulama kontemporer masa kini, dalam bukunya "Al-Islamu wal 'Ilmaniyah Wajhan Liwajhin" juga secara tegas mengatakan, al-din huwa as-siyasah. Agama adalah politik. Tidak ada dikotomi antara keduanya. Oleh karena itu, umat Islam yang diberi karunia berupa ilmu dan beberapa perangkap lainnya agar tampil terjun ke dunia politik sehingga politik di negeri ini diwarnai oleh orang-orang saleh, berilmu, amanah, cerdas, jujur, dan tegas membela kebenaran dan menumpas kejahatan.
Masyarakat Indonesia yang umumnya beragama
Islam juga mulai peduli terhadap pentingnya partisipasi dalam menentukan arah
bangsa, fenomena ini dapat terlihat dari meningkatnya perolehan suara-suara
partai berbasis Islam pada pileg 9 April lalu. Berdasarkan
hasil hitung cepat, kelihatan suara Parpol terfragmentasi dalam jumlah Parpol
yang begitu banyak. Tidak ada Parpol menjadi jawara dominan. PDIP memperoleh
19,8 persen suara, Partai Golkar 14,67 persen suara. Selanjutnya, disusul
Partai Gerindra 11,96 persen suara; Partai Demokrat 9,57 persen suara; PKB 9,39
persen suara; PAN 7,48 persen suara; PPP 6,7 persen suara; PKS 6,57 persen
suara; Partai Nasdem 6, 56 persen suara; Partai Hanura 5,4 persen suara; PBB,
1,41 persen suara; dan PKPI menempati urutan buncit dengan 0,98 persen suara.
Rata-rata dari dua belas kontestan Parpol tersebut, ada sepuluh Parpol pastinya
akan melenggang masuk ke senayan. Hanya PBB dan PKPI yang tidak lolos karena
tidak mencapai angka parliamentary threshold (3,5 %).
Kini
kerjaan berat menanti para petinggi partai, terutama berbasis Islam yang jika
digabung suaranya melebihi 30%, itu artinya dapat mengusung calon presiden
sendiri yang hanya butuh suara partai sebanyak 25% atau 20 % total jumlah kursi
di DPR RI. Namun ironi, betapa tidak, dua partai Islam berbasis massa Nahdatul
Ulama (NU) mengalamai masalah internal. PKB yang diketuai Muhaimin Iskandar
terancam pecah karena banyaknya calon presiden, di sana ada Mahmfud MD, Rhoma
Irama, Jusuf Kalla, dan kabar terakhir Sang Ketua Umum. PPP tak ketinggalan,
bermula ketika Ketua Umumnya,
Suryadharma Ali menghadiri kampanye Partai Gerindra. Karena itu, banyak elite
PPP berpendapat bahwa Sang Ketua Umum telah menggar AD-RT partai, dan layak
disomasi bahkan dijungkalkan.
Nampaknya,
para petinggi partai Islam belum bisa menyatukan visi dan misi dalam membangun
umat, fikiran mereka terlalu pragmatis, yang ada di kepala dan hatinya hanya
harta dan tahta bukan karena ingin memuliakan Islam dan meninggikan kalimat
Allah. Melihat fenomena itu, saya haqul yaqien, poros tengah yang konon sedang
digagas pada priode ini akan mustahil terwujud. Umat Islam yang telah memilih
partai Islam tersebut tidak mendapatkan apa-apa kecuali per’tai’ dari
elitenya. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, Pengurus DPW Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)
Sulsel.
Comments