Tafsir Hermeneutika

Hermeneutics selanjutnya bermetamorfosis
menjadi sebuah ilmu, metode, dan teknik dalam memahami suatu pesan atau teks
yang sesungguhnya baru terjadi pada sekitar abad ke-18 Masehi, menyusul
terjadinya gerakan reformasi yang dicetuskan oleh Martin Luther di Jerman. Para
teolog Protestan menolak klaim otoritas gereja Katolik dalam pemaknaan
penjabaran kitab Suci. Bagi mazhab Protestan, setiap orang berhak menafsirkan
kitab suci Bibel asalkan tahu bahasa dan konteks sejarahnya. Maka, berdasarkan
prinsip kegamblangan (perspicuitas) dan sola scriptura lalu
dibangunlah metode ilmiah bernama hermeneutika. Dalam pengertian masa kini
(kontemporer) istilah hermeneutcs lazimnya dikontraskan dengan exegesis,
sebagaimana ilmu tafsir dibedakan dengan tafsir.
Tujuan utama diciptakannya hermeneutika adalah
untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible, sebagaimana juga
dijelaskan dalam The New Encyclopedia Britannica bahwa hermeneutika
merupakan studi prinsip general tentang interpretasi Bible. Hal ini dapat dibapahami karena pada teks
Bible terdapat banyak masalah mendasar seperti otentisitas teks, bahasa teks,
dan bahkan kandungan teks itu sendiri, sebagaimana diutarakan oleh Duane A.
Priebe dalam “Communicating the Test Today”, bahwa problem yang mereka
(penulis Bible) kemukakan kebanyakan bukan problem kita—masa kini—dan cara-cara
berfikir mereka tidak dapat kita produksi kembali begitu saja pada hari ini. Karena
itu dunia Bible umumnya asing bagi kita, dan bahasanya sulit difahami.
Karena penulis-penulis Bible berfikir tentang
diri mereka pada masanya (kuno) dan cara berfikir masyarakat Kristen modern
pasti berbeda. Maka dunia teks (Bible) dianggap refresentasi dari dunia kuno
dan mitos, di lain pihak masyarakat modern identik dengan ilmiah dan rasional.
Maka hermenautika adalah jalan terbaik untuk mejembatangi kesenjangan ini: teks
dan mitos.
Sedikitnya ada tiga poin penting yang harus
diketahu terkait metodologi penafsiran ala hermeneutika. Pertama, menganggap
bahwa semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini
terbangun dari kekecewaan mereka terhadap Bible, teks yang semula dianggap suci
belakangan diragukan keasliannya. Campur tangan manusia dalam perjanjian lama
(Torah) dan perjanjian baru (Gospel) ternyata didapati jauh lebih banyak
ketimbang apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa.
Kedua, hermeneutika menganggap semua teks
sebagai produk sejarah. Sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible,
mengingat sejarahnya yang amat problematik. Lalu praktisi hermeneutika dituntut
untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari mana pun datangnya, dan
terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai lingkaran hermeneutika,
dimana makna senantiasa berubah. Sikap seperti ini juga sangat pas untuk Bible
yang telah mengalami perbuhan bahasa dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu
Latin dan tentu saja memuat banyak perubahan dan kesalahan redaksi (textual
corruption and scribal errors).
Ketiga, hermeneutika menghendaki pelakunya
untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak kebenarannya,
semuanya relatif. Kebenaran menurut seseorang, bisa saja salah menurut orang
lain, sangat tergantung pada seting ruang dan waktu tertentu.
Tafsir Alquran?
Yosfiandi menulis dengan tema “Memaknai Agama
Secara Progresif” dalam Harian FAJAR, Jumat, 14 Februari 2014, sang penulis
menghendaki agar penafsiran Alquran dilakukan dengan metode hermeneutika,
dengan merujuk pada hermeneutika dalam pandangan Fazlur Rahman yang besar kemungkinan
merujuk pada salah satu karyanya, “Islam and Modernity”.
Dalam dua dekade ini, konsep hermeneutika
memang sudah masuk dalam kurikulum studi keislaman di Indonesia, menyusul
maraknya para sarjana muslim yang telah lulus dan kembali dari Barat. Salah
satu metodologi penafsiran yang dianggap pas untuk Alquran masa kini adalah
hermenutika. Pandangan ini tidak bisa lepas dari asumsi ilmuan Barat terhadap
Bible bahwa, Alquran bagi kaum muslimin tidak ada bedanya dengan Bible, maka
jika hermeneutika diguna-pakai dalam memahami Bible, kenapa Alquran tidak?
Akhirnya, tafsir hermenutika pun diajarkan di Indonesia, dan dipakai dalam
menafsirkan Alquran.
Asumsi di atas jelas keliru, serampangan, dan
pasti sesat. Alquran jelas beda dengan Bible, dan metodologi penafsiran Alquran
memiliki cara tersendiri yang tidak dimiliki oleh kitab manapun, termasuk
Bible. Seorang ahli tafsir harus memiliki ilmu alat yang khusus, mulai dari
Bahasa Arab yang meliputi nahwu (gramatika), saraf (morfologi), ilmu balaghah
(komunikasi), meliputi bayan, badi’, dan ma’ani, serta harus ditunjang dengan dzauqullughah
perasaan khusus dalam berbahasa, termasuk di antaranya memahami perkataan
bahasa Arab yang berbentuk prosa dan syair (‘arud wal qafiyah). Ini
belum termasuk ilmu-ilmu inti lainnya, seperti fikih, ushul al-fiq, hadis, ilmu
hadis, ilmu-ilmu Alquran meliputi nasikh-mansukh, sebab turunnya ayat, lafaz
umum dan khusus, dst., bahkan hampir semuan penafsir hafal Alquran.
Karena itu, jika metode hermenautika diterapkan
dalam Alquran akan berimplikasi buruk, karena beberapa hal. Pertama,
hermeneutika menghendaki penolakan terhadap status Alquran sebagai kalamullah
(firman Allah), bahkan mempertanyakan otentisitasnya, dan pada gilirannya juga
menggugat kemutawatiran mushaf utsmani.
Kedua, Alquran sangat terkait dengan tempat di
mana ia diturunkan (Arab) dan kapan ia turun (abad ke-7 Masehi), oleh karena
itu kandungan Alquran harus selalu diperbaharui, padahal dalam pandangan Islam,
Alquran sangat relevan sepanjang zaman, dan dimana pun ia berada. Kebenaran
menurut Alquran, zaman dan tempat diturunkannya, tidak berbeda dengan saat ini,
paham semacam ini dapat mengaburkan kebenaran dan akan melahirkan mufasir
gadungan, pemikir liar yang menyesatkan.
Ketiga, hermenautika sama sekali tidak cocok
diterapkan kepada Alquran karena memang diperuntukkan untuk Bible, pendapat ini
juga didukung oleh Josef Van Ess, guru besar emeritus dan pakar sejarah teologi
Islam dari Universitas Yuebingen, Jerman. Katanya, bahwa hermeneutika yang
berasal dari Jerman itu sebenarnya memang bukan ditujukan untuk kajian
keislaman. Pada asalnya ia merupakan produk teologi Protestan. Dipakai untuk
mengkaji Bible oleh Scleiermcher, dan belakangan Heidegger dan Gadamer dalam
kajian kesusastraan Jerman maupun klasik. Yang mereka maksud ‘teks’ ialah karya
tulis buatan manusia, sesuatu yang indah lagi menarik, biasanya sebuah naskah
kuno yang hanya terdapat dalam satu versi, seperti kisah tragedi karangan
Sophocles, dialog-dialog karya Plato, atau pun puisi yang ditulis Holderlin.
Ini jelas tidak sama dengan konsep teks dalam kajian Islam.
Jika ilmuan Barat saja telah tidak sepaham
dengan mengadopsi metode hermeneutika ke dalam kajian Islam (tafsir Alquran),
maka kenapa kita justru keranjingan mengimpor barang yang jelas-jelas dapat
merusak khazanah keilmuan Islam yang telah mapan dan teruji keunggulannya. Saat
ini, belum pernah, dan tidak akan pernah ada hasil tafsir hermeneutika yang
lahir melebihi atau minimal sama dengan hasil karya ulama-ulama tafsir yang
muktabar. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, Pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Sulsel,
Sekretaris Organizing Committe Kongres ke-5 KPPSI 2014
Comments