Perjuangan Syariat di Indonesia
Tahun 1991 penguasa Orde Baru, Soeharto pergi
berhaji ke Baitullah di Mekah bersama isterinya. Sepulang menunaikan rukun
Islam kelima tersebut, terjadilah perubahan pada diri sang presiden dengan
sangat signifikan. Antaranya, namanya mendapat tambahan menjadi ‘Haji Muhammad
Soeharto’.
Bermula dari situ, titik awal perkembangan
Islam pun dimulai. Berawal dengan berdirinya sebuah bank syariah pertama, Bank
Muamalat yang seluruh sahamnya hampir semuanya berasal dari Cendana, oleh
karena itu, ketika berbicara masalah perbankan syariah yang kini sangat marak dan
pesat perkembangannya, maka tidak bisa dipisahkan dengan jasa-jasa Soeharto dan
putranya Tomy yang menggelontorkan dana begitu banyak untuk pembangunan Bank
Muamalat, sebagai pelopor bank syariah di Indonesia.
Tak lama kemudian, Soeharto mendukung
berlangsungnya perhelatan akbar di Masjid Istiqlal yang bernama ‘Festifal
Istiqlal’. Sang Jenderal juga mendirikan sebuah masjid megah dan terindah di
Indonesia yang lokasinya berada di depan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Masjid itu kemudian diberi nama At-Tin, sempena mengambil nama sang Isteri,
Tien Soeharto. Sekedar informasi, hingga kini, segala biaya operasional masjid
At-Tin masih didanai oleh Cendana.
Menarik juga untuk menelisik kembali peristiwa
ketika terjadinya pembantaian umat Islam di Bosnia. Tepat tanggal 13 Maret
1995, ketika jutaan umat Islam Indonesia meneriakkan simpati dan dukungan
kepada perjuangan muslim Bosnia, Muhammad Soeharto, sebagai dan atas nama
pemimpin dengan gagah berani terbang ke
negara konflik tersebut. Padahal, Sekjen PBB telah mengingatkan untuk tidak
berkunjung ke sana karena alasan keamanan. Maklum, kala itu, sebuah pesawat
milik PBB yang melintas di Bosnia jatuh tertembak. Soeharto tidak peduli dengan
peringatan PBB, kunjungan itu diabadikan dengan berdirinya masjid bernama
“Soeharto” atas prakarsa beberapa tokoh Islam seperti Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia, Hasan Basri (alm), tokoh Muhammadiyah, Lukman Harun (alm), dan
pengusaha nasional Probosutedjo.
Bagi saya, jika ditanya, apa yang paling
menonjol tentang keberpihakan Soeharto pada Islam? Jawabannya adalah berdirinya
Yayasan Amal Bhakti Pancasila. Dengan yayasan ini, Soeharto telah melakukan
islamisasi dengan membangun masjid yang jumlahnya ribuan di seluruh pelosok
Indonesia. Kendati dikabarkan bahwa proyek ini berasal dari pemotongan gaji
pegawai negeri sipil, dan dilatari oleh politik, namun menurut saya, cukuplah
keberadaan masjid-masjid pancasila itu yang kini dirasakan manfaatnya oleh kaum
muslim Indonesia, menjadi amal jariah bagi Soeharto sekaligus menjadi pelebur
dosa-dosanya.
Ijo Royo-royo
Pada dasarnya, sikap Soeharto yang mulai
mendekat dengan kalangan ‘hijau’ (Islam), sudah dimulai pada awal dekade 90-an.
Waktu itu, Desember 1990, ia merestui berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI). Banyak kalangan menyebut, inilah saat dimana Soeharto mulai
melirik Islam dan berakhirnya masa kemesraan dengan kalangan non-Islam
(Kristen) yang dimotori oleh Center for Strategic and International Studies
(CSIS). Lembaga ini adalah think-tank yang dibidani dan dibina oleh
mendiang Ali Moetopo dan LB. Moerdani. Pada awal berdirinya CSIS, ia membuat
kesimpulan bahwa Islam adalah faktor penghambat pembangunan bangsa.
Langkah Soeharto mendekati kelompok Islam
diikuti sejumlah Jenderal. Bahkan sejak itu, ramai-ramai para jenderal mengubah
wajah menjadi ‘nyantri’. Tepat tanggal 9 Ferbruari 1995, ketika R Hartono
dipilih oleh Soeharto menjadi Kepala Staf Angkatan Darat menggantikan Jenderal
Wismoyo Arismunandar, Majalah Teras edisi 23 Feb. 1995 membuat laporan dengan
judul cover ‘Duet Jenderal Santri’ dengan maksud Faisal Tanjung dan R Hartono.
Laporan ini dilengkapi dengan ulasan, Harold Crouch, berjudul “ABRI dan Islam”.
Pada era 90-an ini pula, simbol utama seorang
muslimah, syariat jilbab, mulai menjamur. Para siswi, mahasiwi, wanita
kantoran, hingga pegawai negeri sipil ramai-ramai mengenakan busana muslimah,
sebuah pemandangan yang langka di era 80-an. Pemerintah mulai melonggarkan
larangan membawa simbol agama ke instansi pemerintahan hingga ke lembaga
pendidikan.
Puncak kemesraan Orde Baru dengan Islam
ditandai dengan diangkatnya BJ Habibie yang kala itu menjabat Ketua Umum ICMI
dan dianggap representasi dari Islam, sebagai wakil presiden (1997). Ia
mengalahkan rival beratnya, Try Sutrisno. Padahal kala itu, tokoh CSIS, Dr
Joseph Kristiadi menggembar-gemborkan bahwa bila Habibie naik menjadi wakil
presiden maka dolar akan naik Rp. 15ribu sampai Rp. 20ribu. Pikiran serupa juga
dinyatakan oleh pakar CSIS seperti Sofjan Wanandi dan Pande Raja Silalahi.
Begitu pula Siswono Yudhohusodo, kala itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi
dan Permukiman Perambah Hutan hingga Lee Kuan Yew. Bahkan perdana menteri
senior Singapura itu berkomentar, Pasar uang akan beraksi sangat negatif kalau
sampai Indonesia memilih orang yang salah untuk menjadi wakil presiden.
Artinya, mereka tidak pernah setuju jika Habibie menduduki RI-2 dan ngotot
mencalonkan Try Sutrisno sebagai wakil presiden kali kedua. Habibi akhirnya naik,
para cendekiawan muslim yang tergabung dalam ICMI mewarnai kabinet. Ada yang
menyebut kabinet saat itu lebih ‘nyantri’. Koran Kompas menggelari parleman
yang ijo royo-royo.
Reformasi datang
Pertengahan medio kedua era 90-an, desakan
reformasi yang dimotori para mahasiswa ‘meledak’, walau ada pula yang
beranggapan bahwa ini adalah reaksi atas keberpihakan Soeharto pada Islam.
Bagaimana pun, non-muslim dan nasionalis turut was-was. Sebab, jika Soeharto
lengser di tengah jalan, maka otomatis Ketua Umum ICMI itu akan duduk sebagai
RI-1.
Soerharto tumbang dan Habibie naik tahta,
dikala situasi begitu chaos, Habibie disuruh jalan sendiri oleh Soeharto
dalam membawa negara ke arah yang lebih baik di bawah kendalinya. Dan sang
presiden tanpa wakil itu membuktikan kemampuannya, kendati rakyat tidak
menyadari saat itu. Ia bahkan dihujat dari segala penjuru. Dari dalam negeri, misalnya,
tajuk rencana Majalah Mingguan Tempo, edisi 27 September-3 Oktober 1999.
Kendati judulnya terlihat sopan, namun isinya seakan memaksa sang presiden
berdarah Bugis itu turun tahta dengan tidak mencalonkan diri lagi sebagai
presiden. Tulisnya, Ada sepasang saran buat Presiden Habibie. Pertama, bacalah
koran. Kedua, sudi apalah kiranya untuk tak ngotot agar terus jadi kepala
negara sesudah sidang umum MPR sebentar lagi.
Dari luar negeri, tekanan serupa datang,
lagi-lagi dari Lee Kwan Yew. Menjelang Habibie naik tahta menggantikan
Soeharto, Lee Kwan melontarkan ancaman dengan mengatakan bahwa nilai satu dollar
AS akan mencapai Rp. 50ribu. Ternyata ancaman itu hanya pepesan kosong belaka,
dan ditengarai merupakan pesanan Amerika yang tidak suka pada Habibie.
Singapura adalah anak emas Amerike di Asia Tenggara, sebagaimana Israil di
Timur Tengah.
Serangan terhadap Habibie tidak bisa dipisahkan
dengan posisinya sebagai ketua dan pendiri ICMI. Dan sejak berdirinya,
organisasi cendekiawan muslim itu tidak penah sepi dari ragam tuduhan negatif,
ada yang menyebutnya sebagai sektarian. Namun Soeharto tetap berdiri tegap di
belakang membala ICMI. Dari sinilah, para jenderal ‘merah’ non ‘hijau’
ramai-ramai membuat lembaga tandingan, misalnya, Cendekiawan Pembangunan
Pancasila (PCPP) di mana Edi Sudrajat dan Try Sutrisno masuk di dalamnya. Ada
pula Forum Demokrasi (Fordem) yang dimotori oleh Gus Dur, ada pula Ikatan
Cendekiawan Kebangsaan Indonesia (ICKI), serta Yayasan Kesatuan dan
Persaudaraan Kebangsaan (YKPK).
Perjuangan Syariat
Melihat usaha-usaha para pendahulu bangsan ini
di erah Orde Baru untuk membumikan syariat dengan langkah dan metode secara
kondisioner dan situasionil, maka kerja-kerja ibadah tersebut tidak bisa putus
mata raintainya sampai di situ. Dalam sebuah artikel di Republika, Kamis
31 Januari 2008, berjudul “Kebijakan Orde Baru Terhadap Msyumi dan Islam
Politik”, Prof. Yusril Ihza Mahendra menulis, Titik akhir perjalanan Orde Baru
ditandai dengan titik akhir karier Soeharto di masa Orde Reformasi. Namun, itu
bukanlah titik akhir perjalanan Islam.
Habibie dan Soeharto pada dasarnya telah
membuka gerbang harapan bagi umat Islam agar membumikan syariat di Indonesia
dengan cara yang elegan dan konstitusional. Bermula dengan membangun ekonomi
syariah dengan Bank Muamalat, hingga pembangunan Masjid Pancasila. Dan kini,
tugas kita adalah melanjutkan perjuangan mereka dengan melakukan pembinaan pada
umat agar memahami agamanya dengan baik dan benar, sesuai tuntunan Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah, bebas dari segala bentuk bid’ah, khurafat, dan aneka
kesesatan.
Salah satu wadah untuk memperjuang dan
menegakkan syariat dengan pendekatan persuasif dan konstitusional adalah Komite
Perjuangan Penerapan Syariat Islam (KPPSI) yang saat ini sedang malakukan
konres, pada tanggal 7-9 Maret 2014. Tema yang diusung pada kongres ke-5 ini
adalah “Reaktualisasi KPPSI untuk Menata Masyarakat Madani dalam Bingkai NKRI”.
Maka, sangat diharapakan pada segenap kaum muslimin yang diberi kelebihan
karunia oleh Allah berupa ilmu, harta, dan kekuasaan, untuk ikut andil dalam
membawa paguyuban ini ke arah yang lebih baik. Selamat berkongres! (dimuat diharian nasionan Koran Sindo 7 Maret 2014 M).
Ilham
Kadir, MA. Sekretari Panitia Pelaksana (Organizing Committee) Kongres ke-5
KPPSI, Asrama Haji Sudiang, Makassar, 2014.
Comments