Pembaruan Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Muhammad
Darwis lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868. Ayahnya adalah seorang
ulama bernama KH. Abu Bakar bin KH. Sulaiman, yaitu pejabat khatib di Masjid
Besar Kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri dari H. Ibrahim bin KH.
Hassan, bertugas sebagai pejabat penghulu kesultanan.
Dengan
melihat latar belakang kedua orang tuanya, dapat disimpulkan bahwa Muhammad Darwis
adalah keturunan ulama, memiliki kedudukan mulia di sisi Allah dan di mata
masyarakat.
Pendidikan
awalnya ia dapat dari kedua orang tuanya, di samping karena kedua orang tuanya
adalah pencinta ilmu, pada masa itu, kaum pribumi tidak tertarik untuk
menyekolahkan anaknya pada sekolah gubernamen milik kompeni.
Selesai
mendapatkan dasar-dasar pengetahuan dari ayah dan ibunya, Ahmad Dahlan
meneruskan pelajarannya pada beberapa ulama yang berbeda, sesuai kompetensinya
masing-masing. Seperti ilmu fikih pada KH. Muhammad Saleh, ilmu nawhu pada KH.
Muhsin, ilmu qira’at pada Syekh Amin dan Sayyid Bakri, KH. R. Dahlan pada ilmu
falak, dan beberapa ulama kesohor lainnya.
Pada
tahun 1888, Muhammad Darwis, atas dorongan sang ayah, menunaikan ibadah haji,
sekaligus bermukim di Mekkah, belajar selama 5 tahun untuk menambah pengetahuan
agamanya, dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu logika dan tasawuf, serta
ilmu bahasa secara lebih mendalam. Setelah itu ia kembali ke negaranya dengan
merubah namanya, yang awalnya adalah
Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan.
Tapi
hanya berselang beberapa bulan saja di Yogyakarta, sebelum akhirnya kembali
lagi ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agamanya selama 3 tahun. Kunjungan yang
kedua kalinya ke Mekkah lebih memiliki pengaruh yang kuat pada diri Muhammad Darwis khususnya setelah belajar pada Syaikh Khatib Al-Minangkabawi disertai
ketertarikannya pada pemikiran dan pembaruan yang pernah dilakukan oleh Ibnu
Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Serta ide-ide pembaharuan yang sedang
dicetus oleh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.
Salah satu tafsir kesukaannya adalah “Tafsir Al-Mannar” yang disusun oleh
Muhammad Abduh dan Muridnya, Rasyid Ridha, dari sinilah ia terinspirasi untuk
melakukan perbaikan dan penataan terhadap umat Islam Indonesia, terutama dalam
sisi pemahaman keagaman dan pola pandang world view terhadap dunia.
Sekembalinya
ke tanah air, Ahmad Dahlan menjadi tenaga pengajar agama Islam di kampungnya
dalam beragam sekolah. Seperti Kweekschool (sekolah pendidikan guru) di Jetis
Yogyakarta, Opleiding School Voor Inlandhshe Ambtenaren (OSVIA) sejenis sekolah
untuk pegawai pribumi di Magelang. Tidak hanya mengajar, tapi Ahmad Dahlan juga
berdagang.
Pemikiran
Keagamaan
Sesuai
dengan ide pembaruan yang diserapnya dari pemikiran para gurunya di Timur
Tengah dan tokoh idolanya, ia pun mulai melakukan usaha meluruskan akidah dan
amal ibadah masyarakat Islam Indonesia. Melihat kondisi umat Islam yang saat
itu cukup kritis, Ahmad Dahlan terdorong untuk mendirikan organisasi yang
kemudian dikenal dengan nama Muhammadiyah. Organisasi ini berdiri tepat pada 8
Nopember 1912 di Yogyakarta.
Inti
utama diririkannya Muhammadiyah adalah berusaha mengembalikan ajaran Islam yang
bermanhaj Ahlussunnah Wal Jamaah kepada sumber aslinya yaitu Al-Qur’an dan
Hadis Shahih, dan segala bentuk sunnah Nabi dan pernah dicontohkan oleh para
Sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini. Dengan itu, Ahmad Dahlan dan
Muhammadiyah sangat melawan segala bentuk Takhayyul Bida’ah dan Churafat yang
disingkat dengan TBC. Karena itu pula,
sungguh aneh bin ajaib jika ada kader Muhammadiyah yang berkata, Muhammadiyah
bukan Sunni, bukan pula Syiah, tetapi Islam.
Atau
mungkin yang bersangkutan tidak paham bahwa Islam itu terpecah menjadi 73
golongan, dan hanya satu yang akan selamat, dalam pandangan Ibnu Abbas, sepupu sekali Rasulullah, yang pernah didoakan langsung oleh Nabi supaya menjadi fakih dalam
agama dan pintar dalam menakwilkan—allahumma faqqihhu fi ad-din wa ‘allimuhu
at-ta’wil—ketika menafsirkan Al-Qur’an,
ayat ke-102 surah Ali Imran bahwa pada hari itu (kiamat) berseri-seri muka
Ahlussunnah dan hitam muramlah muka para ahli bid’ah dan golongan sesat, ahlul
bid’ah wa ad-dhalal. Yang disebut Ahlul bid’ah adalah mereka yang
menambah-nambah perkara dalam agama yang jelas-jelas tidak pernah dicontohkan
oleh Nabi, lalu dinisbahkan padanya. Maka sangat tepat dan jitu jika Ahmad
Dahlan dan organisasinya sangat memusuhi segala bentuk bid’ah baik ibadah
maupun akidah.
Menurut
Hery Sucipto dan Najamuddin Ramli, dalam “Tajdid Muhammadiyah, Jakarta:
2005” menyatakan bahwa segala apa yang dilakukan Ahmad Dahlan adalah untuk
meraih ridha Allah dalam hidupnya, karena itulah ia tidak hanya berdakwah untuk
orang lain, tetapi juga diperuntukkan oleh dirinya sendiri. Hal ini terbukti
dengan terus-menerus menasihati dirinya, “Hai Dahlan, sesungguhnya bahaya
yang menyusahkan itu lebih besar dan perkara yang mengejutkan di depanmu dan
pasti kau akan menemui kenyataan yang demikian itu, adakalanya akan tewas
menemui bahaya. Hai Dahlan, gambar-gambarkanlah badanmu sendiri hanya
berhadapan dengan Allah saja dan di mukamu bahaya maut yang akan diajukan,
hisab dan pemeriksaan, surga dan neraka!” tulisan itu tertera pada kertas
karton lalu ia gantung dekat tempat tidur dan meja kerjanya.
Pemikiran
Pendidikan
Sejak
berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1912, telah menggarap dunia pendidikan,
namun sesungguhnya perumusan mengenai tujuan pendidikan lebih spesifik dan
sistematis baru disusun pada tahun 1936, atau sembilan tahun sebelum Indonesia
Merdeka. Karena itu Departemen Pendidikan Indonesia lebih muda berbanding
Departemen Pendidikan Muhammadiyah dan pendidikan Muhammadiyah tidak usah
diperdebatkan kualitasnya.
Awalnya,
tujuan pendidikan bagi warga Muhammadiyah tampak dari ucapan Ahmad Dahlan,
“Dadijo Kjai sing kemajoean, adja kesel anggonu njambut gawe kanggo
Muhammadiyah. Jadilah manusia maju, jangan pernah lelah dalam bekerja untuk
Muhammadiyah.”
Untuk
merealisasikan itu, maka Ahmad Dahlan membagi pendidikan menjadi tiga jenis.
Pertama, pendidikan moral, berupa akhlak, sebagai usaha menumbuhkan karakter
dan adab manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua.
Pendidikan individu, sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang
utuh, dan berkesinambungan antara keyakinan dan intelek, antara akal dan
fikiran, serta antara dunia dan akhirat. Ketiga, pendidikan kemasyarakatan,
sebagai usaha untuk menumbuhkan kese’iya’an dan keinginan hidup masyarakat,
(Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan,
Jogjakarta: 2011).
Terlalu
panjang untuk menuangkan seluruh ide-ide emas Sang Pembaru, pengunci
pintu-pintu kesyirikan, dan churafat, mereduksi segala bentuk kebid’ahan yang
ibarat kanker dalam tubuh. Beliau terlalu banyak berjasa pada bangsa ini. Sosok
yang selalu dinanti kehadirannya.
Ahmad
Dahlan adalah ulama intelektual yang menekankan pengamalan kesalehan individu
dan sosial secara seimbang dan secara langsung memberikan teladan bagi orang
lain, karena itu kata-katanya adalah perbuatannya. Ide-ide, pemikiran,
pemahaman keagamaan dan pendidikannya memang tidak banyak tertulis, tapi justru
karya sosialnya lewat dakwah dan pendidikan adalah wujud nyata dari segala
bentuk gagasannya.
Dari
segi akidah islamiyah, pemberantasan TBC adalah aksi nyata dari sebuah
organisasi yang pertama di Nusantara, serta menjadi pencetus lahirnya ormas
Islam dan gerakan kelompok maupun individu untuk turut andil dalam melakukan
gerakan pemurnian ajaran Islam.
Dari
segi pendidikan, tidak diragukan lagi bahwa Ahmad Dahlan adalah pelopor
pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.
Ide-idenya telah mengawali kebangkitan pendidikan Islam di tengah derasnya arus
kolonialisme. Ia berhasil mengawinkan sistem pendidikan Islam dan Barat yang
saat itu dipandang tidak lazim. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, MA. Pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)
Sulsel.
Comments