Menunggu Kiprah Ulama Muda Indonesia
Dalam suasana
hiruk-pikuk pesta demokrasi lima tahunan saaat ini yang seakan menjadikan
politik sebagai jalan satu-satunya membangun bangsa, maka ada baiknya jika
kembali menelisik kiprah para ulama dari masa ke masa dalam membangun bangsa
ini, terutama dalam bidang pola pandang (world view) serta segenap
usaha-usaha mereka membawa bangsa ini ke arah yang beradab.
Dalam sejarah
perjalanan umat Islam dan bangsa Indonesia, peran ulama dalam memimpin dan
menggerakkan dakwah dan perjuangan sangat penting. Fakta menunjukkan bahwa di
mana para penguasa yang bergelar ‘sultan’ di situ ada ulama yang menjadi motor
penggeraknya, sebutlah Sultan Alauddin Awalul Islam, raja pertama dalam sejarah
islamisasi Sulawesi Selatan yang memeluk Islam ia di-back up oleh ulama
besar, Abdul Qadir Datuk Tunggal, atau Sultan Ageng Tirtayasa yang ditopang
oleh Syekh Yusuf Al-Makassari, bahkan ada pula penguasa yang sekaligus sebagai
ulama sebagaimana yang menyatu pada diri Karaeng Patingalloang (berkuasa
1639-1653) sebagai Mangkubumi kerajaan Gowa-Tallo atau seperti Pengrang
Diponegoro yang wafat dalam pengasingannya di Makassar.
Islam adalah agama
ilmu dan sekaligus politik yang sangat menekankan pentingnya ilmu pengetahuan
dan kepemimpinan dalam rangka menjaga agama (hirasat ad-din) dan
mengelola dunia dengan petunjuk syariah (siyasat ad-dunya bihi) dengan
koridor amar ma’ruf nahi mungkar. Kepemimpinan yang berbasis pada otoritas
ulama sangat sentral dalam kebangkitan umat, tanpa bimbingan dan pengawasan
ulama, ikhtiar perubahan umat ke arah yang lebih baik mustahil dapat terwujud.
Koreksi terhadap
kondisi umat, sebagaimana yang terjadi dalam sejarah perkembangan Islam, selalu
dimulai dan dikawal oleh para ulama. Karena itu untuk menggapai kemajuan
bangsa, negara, dan umat tidak bisa mengabaikan peran mereka. Para ulama yang
terdiri dari pendiri empat mazhab, Abu Hanifah (80-150 H), Malik bin Anas
(93-179), Imam Syafi’i (150-204 H), Ahmad bin Hambal (164-241 H), begitu pula
ulama-ulama lain seperti Imam Haramain Al-Juwaini (419-478 H) Imam Al-Gazali
(450-505 H), Abdul Qadir Al-Jailani (470-561 H), Izzuddin bin Abdussalam
(577-660 H), hingga Ibnu Taimiyah (661-728) adalah contoh ideal dalam memberi
kontribusi yang sangat berarti pada koreksi-koreksi keadaan umat, mereka terjun
langsung mengawal para pemerintah di zamannya, tanpa pamrih bahkan rela
mengorbankan jiwa dan raganya demi menegakkan kebenaran.
Di Indonesia juga
demikian, sebutlah misalnya koreksi-koreksi Mohammad
Natsir, seorang politikus
sekaligus ulama yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri, ketika melihat
kondisi umat di Indonesia, pada tahun 1951 atau hanya enam tahun setelah negara
ini merdeka, Pak Natsir, demikian sapaan akrabnya, menurunkan sebuah artikel
berjudul, “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”,
mengingatkan tentang bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu
memudarnya semangat pengorbanan, katanya, Dahulu, mereka girang-gembira,
sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan
pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu
negara merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan
beratus tahun yang lampau. Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta
dihargai. Sekarang timbul pengakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan
merajalela sifat serakah. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya.
Orang sudah mencari cita-cita yang di luar dirinya, (Watik Pratikya [ed.],
1989).
Pesan mantan
Perdana Menteri Indonesia itu perlu dicermati oleh para pemimpin dan tokoh
umat, terutama para ulama. Jika ingin mengangkat umat Islam Indonesia menjadi
umat yang besar dan disegani dunia, maka harus diwujudkan pemimpin dan para
ulama yang mencintai pengorbanan serta bisa menjadi teladan bagi rakyat dan
umatnya.
Beberapa tahun
menjelang wafatnya, Pak Natsir juga menitipkan pesan pada sejumlah cendekiawan
yang mewawancarainya, bahwa salah satu penyakit bangsa Indonesia, temasuk umat
islamnya, adalah berlebihan dalam mencintai dunia. Negarawan yang hidup
sederhana itu berpesan, Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan
itu merupakan gejala ‘baru’, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan
pada masa Orde Lama—kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat. Tetapi,
gejala yang ‘baru’ ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya,
sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan
berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang
menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi
persoalan yang cukup serius, (Watik Pratikya [ed.], 1989).
Penyakit cinta mati
pada dunia (hubbd-dunya) yang sedang melanda para pemimpin dan
pengelolah negara ini telah menjadi nyata. Legislatif, yudikatif, hingga
eksekutif, bahu membahu memperkaya diri sendiri dan mengabaikan pengorbanan dan
perjuangan, berbuat sedikit untuk rakyat, dan banyak untuk diri dan kroninya,
dan jika mereka menolong, pasti ada maunya, semua serba pamrih. Keadaan semacam
ini juga telah menular kepada sebahagian ulama kita yang kerasukan cinta dunia,
tarif tausiyah pun dibuat seperti, bahkan melebihi tarif artis papan atas
ketika menggung, atau mereka yang rela menukar keaslian ajaran Islam dengan
kesesatan hanya karena takut jamaah atau kedudukannya lengser. Tak diragukan
lagi, inilah tipe ulama su’ alias ulama jahat yang menggiring umat pada
kesesatan dan kenistaan. Karena itu, adalah menjadi tugas ulama-ulama yang baik
untuk mencegah dan mereduksi munculnya para ulama su’ tersebut.
Merebaknya
pemikiran sesat dan menyimpang telah menyebabkan sebagian umat Islam berada pada
titik ekstrim. Ada yang tidak peduli dengan kondisi umat, karena termakan
paham-paham sufi dan tarekat ekstrim (ghuluw) yang hanya sibuk memikirkan
dirinya sendiri dan melupakan aktivitas amar ma’fur nahy mungkar. Pada sisi
lain, ada yang sangat aktif keluar, tetapi melupakan pembinaan akidah dan jiwa,
tashfiah dan tazkiyah kepada diri sendiri. Tugas ulama adalah
menjaga keseimbangan dalam pembinaan diri dan dakwah, tidak terjebak dalam
salah satu kutub di atas.
MIUMI
Majelis Intelektual
dan Ulama Muda Indonesia, pada hari ini, Sabtu 29 Maret 2014, akan dideklarasikan
keberadaannya di Makassar, sebagai organisasi keulamaan yang diisi dan dibentuk
oleh pemuda idealis progesif dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan melawan
segala bentuk peyimpangan, memiliki tanggungjawab besar untuk mengembang amanah, melanjutkan
risalah kenabian Muhammad SAW yang terus berlangsung hingga akhir zaman.
Perlu dicatat,
bahwa keberadaan MIUMI bukanlah tandingan terhadap Majelis Ulama Indonesia,
karena seluruh inisiator MIUMI merupakan pengurus MUI Pusat, bahkan fungsi MIUMI yang pertama dan utama adalah
memperkuat legitimasi fatwa MUI sendiri dan berusaha menyebarkan pada khalayak
ramai, selain tetap merujuk pada pandangan ulama muktabar Ahlusunnah Waljamaah
dalam berbagai persoalan.
Di antara visi dan
misi MIUMI adalah, menjadi wadah pemersatu para intelektual dan ulama muda
Indonesia dalam membangun peta perjuangan (road map) menuju kejayaan
Islam; menyatukan potensi para intelektual dan ulama muda dalam membentuk
sebuah road map yang mendatangkan pertolongan Allah (nashrullah) dalam memenang
dan menjayakan umat Islam.
Rasulullah telah
menggariskan bahwa risasalah Islam diemban oleh para ulama. Karena itu
pendidikan yang bermisi mewujudkan dan menjaga para ulama agar tetap berada
pada jalur risalah para nabi adalah wajib diadakan. Tugas ini harus diemban
bersama-sama oleh seluruh komponen umat, terutama yang telah dikaruniai ilmu
dan berbagai keutamaan.
MIUMI yang
bermotto, ‘untuk Indonesia yang lebih beradab’ memiliki tanggungjawab dan
peluang untuk melakukan langkah-langkah strategis dan elegan dalam mewujudkan
kebangkitan umat Islam Indonesia, sehingga memiliki peran besar dalam membangun
peradaban di negeri tercinta ini. Selaras dengan sila kedua Pancasila,
Kemanusian yang adil dan beradab. Sebuah peradaban tidak akan mungkin terwujud
tanpa keadilan dan keagungan adab. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir,
Pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Sulawesi Selatan
Comments