Menulis Agar Dikenang Selamanya

Banyak yang mengapresiasi lewat komentar-komentar dari sosial media
(sosmed), mulai dari facebook, twitter, wechat, whatsup, hingga SMS. Namun, ada
pula yang bertanya, bagaimana saya menulis sehingga dengan muda diterima oleh
media cetak yang notabenenya melalui penyaringan dan kompetisi yang ketat?
Tentu jawaban yang dibutuhkan dalam pertanyaan di atas, perlu
penjelasan dengan komprehensif bahwa menulis memang ‘gampang-gampang susah’. Gampang
karena setiap orang yang pernah belajar terutama di bangku sekolah serta
memiliki anggota tubuh yang sempurna (tangan), maka yang bersangkutan pasti
pernah menulis. Menulis, dewasa ini adalah bagian dari hidup manusia normal.
Untuk mempersempit pembahasan, tulisan yang dimaksud dalam catatan
ini adalah, buah pena alias hasil goresan tinta yang dapat dikonsumsi oleh
orang lain dalam beragam bentuk, seperti catatan khusus, laporan kegiatan,
pengalaman pribadi, artikel, jurna, buku, hingga cerita-cerita inspiratif dalam
bentuk fakta maupun fiktif (novel).
Saya dapat pastikan bahwa setiap manusia memiliki jalan dan
perjalanan hidup yang berbeda. Dan setiap kita adalah person yang memiliki
pengalaman hidup yang dapat memberi pelajaran bagi orang lain, apakah itu
pelajarannya dalam bentuk kebaikan agar ditiru orang lain, atau dalam bentuk
dosa agar orang lain tidak ikut terjerumus.
Sangat disayangkan jika pengalaman-pengalaman dan perjalanan hidup
Anda yang penuh dengan pelajaran itu hanya diketahui oleh Anda sendiri, akan
lebih baik dan bermanfaat jika dituangkan dalam bentuk tulisan walau hanya
beberapa paragraf lalu dishare ke berbagai media yang jumlahnya kian
banyak, baik cetak maupun elektonik.
Tulisan hanyalah rangkain huruf menjadi kata, berkembang menjadi
kalimat, selanjutnya dirangkai menjadi paragraf. Untuk satu artkel hanya butuh
beberapa paragraf, minimal tiga dengan jumlah huruf setiap paragraf berkisar
antara seratus kata.
Itulah di antara tips bagaimana menulis, sangat mudah bukan? Anda jangan
berpikiran terlalu melangit bahwa ingin menulis artikel yang ilmiah seperti
para kolumnis di media-media besar seperti Amin Rais, atau ingin menjadi penulis
buku yang tebal dan bermutu seperti Hamka, atau ingin menulis novel yang masyhur
sehingga difilemkan seperti Habiburrhamna El-Siraji dan Andrea Hirata.
Cukup memulai dengan menulis hal-hal yang paling mudah, menulis
pengalaman pribadi, apa yang dirasakan dan dialami dalam hidup ini adalah
bagian dari pengalaman pribadi yang Anda dapat tuangkan dalam untain kata. Kalau
itu telah Anda lakukan, maka mulailah bermimpi bahwa suatu saat juga akan
dikenal orang karena hasil karya tulis yang pernah saya buat.
Pengalaman Pribadi Saya

Bangun dari tidur, ke sumur, berangkat ke masjid, baca Al-Qur’an,
salat berjamaah, dst. Karena merasa biasa-biasa saja, sehingga hanya sedikit
yang menuangkan perjalanan hidupnya dalam
catatan ketika ia nyantri. Saya adalah bagian dari sedikit itu. Saya suka
menulis segala sesuatu yang terjadi di pondok dari sudut pandang saya secara
pribadi. Hampir tiap hari saya menulis kejadian-kejadian yang menurut saya
menarik. Setidaknya, saya telah menggunakan tiga diary harian selama saya
tinggal di pondok yang durasinya satu windu, dari tahun 1989-1998.
Saya menulis keadaan-keadaan yang sangat sederhana, seperti
interaksi saya dengan Pak Kiai yang kami panggil Petta Lanre, dan istrinya,
Petta Cinnong. Saban hari, selain bergelut dengan hafalan Al-Qur’an, ragam
ilmu-ilmu alat di sekolah seperti Bahasa Arab (Durus Allughah Al-Arabiyah),
Nahwu (tata bahasa Arab), Sharaf (morfologi), Tarikh (sejarah Islam), Tajwid,
Khat, dst., saya juga harus bergulat dengan sebarak kerjaan di dapur umum
santri. Saat itu, santri yang benar-benar full time mondok cuma tiga
orang, saya (Ilham Kadir), Saad Basri, dan Rusdin. Kerja-kerja cuci piring,
mengambil air di Sumur Atas—sebutan sebuah sumur yang berada di sebelah selatan
pondok yang tianggal di atas bukit samping kuburan dengan cara dipikul kami
lakukan tiap hari.
Saat itu, keadaan pondok sangat sederhana, masih berbaur dengan
masyarakat tanpa aturan-aturan yang sangat ketat sebagaimana yang terjadi
beberapa tahun kemudian. Segala bentuk aktifitas di pondok saya tuangkan dalam
bentuk catatan yang sekarang telah terangkai dalam sebuah buku “KH. Lanre
Said, Ulama Pejuang dari Era DI/TII hingga Era Reformasi, Jogjakarta, 2010”
ada pula dalam bentuk novel “Petuah Panrita”, serta dalam bentuk artikel
yang dapat dinikmati oleh siapa saja. Pernah ada pembaca buku di atas yang
menangis tersedu-seduh ketika saya ceritakan perjuangan Petta Cinnong dan Petta
Lanre dalam merintis Pondok Pesantren Darul Huffadh Tuju-tuju Bone.

Sebagai pelecut semangat menulis kepada siapa saja. Mungkin ‘Sekapur
Sirih’ atau Muqadimah dalam buku terbaru saya yang merupakan hasil penelitian
magister pendidikan saya di Universitas Muslim Indonesia (2013), bisa
bermanfaat. Saya menulis:
Menulis adalah warisan para ulama, seseorang hanya layak disebut
ulama jika mampu menularkan ilmunya kepada orang lain. Baik melalui qalam
maupun melalui kalám. Namun tradisi lisan (bil-kalám) memiliki
seting ruang dan waktu untuk mengaksesnya. Sementara dengan qalam, ilmu
seorang ulama akan abadi dan dapat menjadi amal jariyah yang lebih panjang
durasi waktunya.
Sekadar menarik ke belakang, sewaktu penulis belajar di Pondok
Pesantren Majelisul Qurra’ wal Huffadz-Darul Huffadz Tuju-tuju Bone, kami
diwajibkan untuk selalu menulis. Salah satu mata pelajaran, al-Insya’
al-Yawmiyah, atau karangan harian berbahasa Arab dengan jumlah karangan
yang telah ditentukan. Umumnya untuk pemula, yaitu kelas tiga Kulliatul Muallim
Al-Islamiyah (KMI) sederajat dengan kelas tiga Tsanawiyah, minimal setiap
santri harus menulis sekitar seratus kata, kelas empat naik menjadi empat ratus
kata. Dan ketika menginjak tahun terkahir, seorang santri sudah harus menulis
artikel dalam bahasa Arab yang baik.
Selain itu, ada pula pelajaran Muthala’ah, berupa mata
pelajaran berbahasa Arab yang diterangkan dengan menggunakan bahasa Arab dalam
bentuk lisan dan tulisan. Satu judul Muthala’ah, panjangnya bisa
melebihi dua ribu kata. Ada pula Muhadharah, ceramah yang menggunakan
bahasa Arab, dan harus dibuat dalam bentuk teks, yang panjangnya bisa mencapai
tiga ribu kata. Ini belum termasuk, Mahfizhat, Tafsir, Hadis,
dll. Pendek kata para santri ketika di pesantren telah diajarkan untuk
membiasakan diri menulis beragam materi pelajaran.
Berangkat dari ataslah penulis belajar menulis, baik dalam bahasa
Arab dan Inggris yang menjadi bahasa wajib, juga dalam bentuk bahasa Indonesia.
Memang, salah satu masalah yang penulis anggap dalam menulis bagi para santri
adalah penguasaan bahasa Indonesia, sebagaimana yang penulis rasakan. Betapa
tidak, bertahun-tahun diajar di pondok dengan menggunakan bahasa asing, Arab
dan Inggris. Dari sinilah banyak teman-teman yang malas menulis dalam bahasa
Indonesia, pada saat yang sama ia juga telah meninggalkan pondok dan tidak lagi
terbiasa menulis bahasa Arab karena telah dinyatakan lulus. Jadilah ilmunya
membeku.
Penulis merasa bersyukur karena walaupun telah keluar dari pondok,
tradisi menulis yang telah kami peroleh tetap penulis kembangkan hingga saat
ini. Terutama ketika penulis menjadi wartawan
di Ibu Kota, Jakarta. Kemampuan menulis ‘on the spot’ juga kian
berkembang, hingga penulis juga mampu menulis buku, jurnal, novel, hingga
artikel yang kini sudah lebih dari seratus yang telah terpublikasi di media.
Namun seluruh karya-karya penulis di atas, memiliki perbedaan
dengan karya ilmiah dalam bentuk “Tesis” karena memiliki prosedur dan aturan
tersendiri. Untuk itulah, melahirkan karya seperti ini juga merupakan
perjuangan yang tak kalah menantangnya bagi penulis.
Untungnya, penulis memiliki pembimbing yang telah banyak memberi
arahan dan masukan agar hasil penelitian ini lebih layak untuk disebut hasil
penelitian ilmiah. Masukan-masukan dari para pembimbing makin menyadarkan
penulis jika aturan-aturan penulisan juga merupakan bagian yang tidak bisa
diremehkan.
Untuk itulah, penulis, senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas
limpahan nikmat dan karunia-Nya. Dan lewat kata pengantar ini penulis ingin
mengucapkan ucapan terimah kasih yang sebesar-besarnya, kepada, Prof. Dr. Hj.
Masrurah Mochtar, Rektor UMI Makassar, juga
Dr. M. H. Arfah Shiddiq, MA., dan Dr. Hj. Nurul Fuadi, MA., atas arahan
dan bimbingannya hingga karya ilmiah ini selesai. Tanpa mereka berdua, niscaya
ceritanya akan berbeda. Hanya Allah-lah yang dapat membalas jasa baik mereka.
Selain itu, penulis juga haturkan terima kasih pada tim penilai, yaitu, Dr. H.
Arif Halim, MA., Prof. Dr. Mappanganro, MA., dan Dr. Muh. Ishaq Shamad, M.A.
Karena pada dasarnya buku yang ada di tangan pembaca ini adalah
‘tesis’ maka ada beberapa bagian yang telah dibuang dan pada bagian yang lain
ditambah. Sejatinya, isi dari buku ini juga tidak seutuhnya penulis
pertanggungjawabkan pada sidang penguji karena atas saran pembimbing beberapa
bagian tidak begitu relevan dengan pemikiran pendidikan Al-Attas, termasuk pada
bagian terakhir yaitu adab dalam pandangan masyarakat Bugis. Namun karena
dipandang memiliki manfaat, maka penulis menyertakan dalam buku ini. Apalagi
saat ini selalu ditekankan agar mengambil khazanah lokal (local wisdom)
sebagai salah satu pilar kebangsaan. Juga karena dipandang terlalu ‘gemuk’
untuk ukuran tesis sehingga ada beberapa judul juga ‘terpaksa’ digunting. Namun
tetap tidak mengurangi nilai keilmiahannya.
Secara umum, buku ini berisi empat bagian (bab), bagian pertama
mengurai masalah yang telah, sedang, dan akan dihadapi umat Islam, serta
bagaimana cara mengatasinya. Di antara masalah tersebut adalah keterbelakangan
umat Islam dalam mengejar ketertinggalan pada ranah keilmuan, termasuk
pendidikan yang tidak mampu melahirkan manusia yang beradab, padahal, bagi
Al-Attas problem utama umat Islam yang sesungguhnya adalah lost of adab alias
hilangnya adab. Bagian kedua, memuat tentang riwata hidup Al-Attas, termasuk
perjalanannya dalam menuntut ilmu (rihlah fi thalabil ‘ilmi),
karya-karya, dan perjalanan intelekteulanya dari masa ke masa. Tidak lupa pula
penulis paparkan sejauhmana pengaruh Al-Attas—termasuk di Indonesia—sebagai ulama
ilmuan yang kapasitasnya telah diakui oleh dunia. Bagian ketiga, mengurai
pemikiran pendidikan Al-Attas yang sangat komprehensif, dimulai dari konsep
manusia, islamisasi ilmu, hingga komparasi Adab dalam pandangan Al-Attas dan
masyarakat Bugis. Sedang bagian terakhir berisi tentang kesimpulan-kesimpulan
dan inti dari pendidikan menurut Al-Attas.
Menulis adalah hembusan nafas, denyut nadi, life style, serta
menjadi bagian terpenting dalam hidup saya. Jika Imam Nawawi rahimahullah
hanya hidup berkisar tiga puluh enam tahun, tetapi dengan karyanya ia telah
hidup hingga ratusan tahun. Mengapa kita tidak bisa berkarya agar juga dapat
menelurkan amal-jariah plus dapat bunus berupa nama yang dikenang oleh
generasi pelanjut sebagaimana Imam Nawawi? Nuun wal qalami wama yasthurun!
Sumigo, 11 Maret 2014. Ilham Kadir. Kabag Penelitian MIUMI Sulsel
Comments