Membangun Karakter Tulisan

Tetapi, jika
ada tiga penyanyi saja membawakan lagu yang sama dan tanpa ada perbedaan
cengkok dan karakter dalam satu panggung hiburan, maka saya pastikan para
penonton dan pendengar akan merasa jenuh dan booring. Seorang penyanyi
yang tidak kreatif mengembangkan potensi yang dimilikinya bahkan cenderum
monoton akan terkubur dengan banyaknya generasi baru yang lebih menarik dalam
segala hal, terutama suara dan karakter vocal. Nyatanya, banyak penyanyi yang
datang dan pergi seperti embun di pagi hari, menghilang tatkala matahari pagi
menyinari bumi. Lihatlah Prof. H. Rhoma Irama, kendati telah eksis sebelum saya
lahir, namun hingga datik ini, tetap tak berubah, tetap eksis dan terus menerus
dinanti para penggemarnya. Ada pula penyanyi, seperti Bunyamin, lagu-lagu lucu
dan konyolnya tak pernah mati, terus menerus mengocok perut, kendati Sang
Penyanyi telah terkubur di liang lahad. Demikian pula para penyanyi kawakan
lainnya, saya kenal Ebite G AD, Iwan Fals, Doel Sumbang-- daftarnya tertus
bertambah--tetap eksis di tengah serangan musik-musik Barat, India, hingga
Korea dan Timur Tengah. Mereka adalah penyanyi berkarakter khas .
Penulis juga
demikian, harus memiliki ciri khas tersendiri jika ingin mendapat pembaca, atau
dalam istilah ekonomi, konsumen dan pangsa pasar yang setia bahkan
fanatik--dalam artian positif. Para penulis pemula terus bermunculan bak jamur
di musim hujan, tetapi para penulis lama yang telah dulu eksis dan memiliki
karakter khas juga tetap kokoh berdiri dan eksis. Mereka bahkan jadi rebutan
berbagai media massa untuk menerbitkan karya tulisnya. Saya sebut saja
misalnya, Prof. Yusril Ihza Mahendra, yang catatan-catatannya di wall facebook-nya
menjadi incaran para pembaca setianya. Analisisnya terkait hukum, politik, dan
ragam persoalan bangsa lainnya sangat diminati para generasi sosmed saat ini.
Demikian juga Jalaluddin Rakhmat, sang nabi Syiah Indonesia, yang kata-katanya
telah menjadi sabda dan jimat golongan sesat lagi menyesatkan, Syiah Rafidhan
Indonesia. Kang Jalanl, demikian sapaan akrabnya, adalah sosok penulis yang
telah lama membangun fondasi karakter tulisan yang khas. Kamampuannya ditunjang
dengan ragam ilmu perangkat, seperti ilmu komunikasi dan bahasa. Penguasaan
bahasa riset yang banyak serta kemampuan memahami psikologi pembaca dan, atau
psikologi komunikasi membuat Kang Jalal adalah tipe penulis komplit. Hingga
saat ini, bendera Kang Jalal masih tetap berkibar, para pembaca dan pengikut
setianya, yang jangankan tulisan, ludah busuknya pun jadi rebutan untuk
dijadikan tabarruk—ngalap berkah—para laknatullah 'alaihim ajma'in. Tulisan
memang dapat menyelamatkan dan menyesatkan, haqqul yaqien, Kang Jalal adalah
tipe penulis sekaligus penyesat yang sempurna.
Tahun lalu
(2013). Ketika rombongan LPPI bersilaturrahim ke rumah Prof. Azhar Arsyad di
Samata Gowa, salah satu diskusi kami saat itu adalah permasalahan Kang Jalal
yang pendusta dan pembohong itu, di antara dustanya yang terang benderang,
pengakuan dirinya sebagai doktor lulusan Australian National University
Australia dan Guru Besar Universitas Padjadjaran Bandung. Konyolnya, dustanya
itu tertuang dalam sebuah wawancara yang merupakan bahan dasar penelitian
tingkat Magister di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, judul bukunya adalah
"Dakwah Sufistik Kang Jalal" dan penulis tesis itu adalah M. Rosyidi.
Belakangan,
ketika kebohongan Kang Jalal dilaporkan ke polisi, Rosyidi membantah kenyataan
nara sumber, maka dengan itu Penulis tesisis itu berhak dicabut gelar
magisternya karena meneliti dengan serampangan jika memang itu benar, atau Kang
Jalal yang dijebloskan ke penjara karena telah melakukan tindak pidana dengan
mengaku-ngaku sebagai doktor lulusan Australia dan guru besar. Ringkasnya, Kang Jalal jadi objek penelitian
karena karakter tulisannya yang khas dan ajarannya yang sesat, ada pun Rosyidi
adalah tipe penulis dan peneliti yang serampangan dan jelas tak berkarakter,
karena itu ia terkubur dalam dunia tulis menulis sebelum jasadnya masuk liang
lahad. Ada komentar Prof. Azhar yang, bagi saya menarik dan menantang, terkait
Jalaluddin terlaknat non rahmat yang bukan professor itu. "Kalian harus
lebih produktif dan lebih baik dalam menulis dari pada Jalaluddin Rakhmat, agar
bisa juga mengambil S3 by researh, kalian lebih berhak, jika kalian mampu
menulis seperti dia".
Saya juga suka
membaca tulisan-tulisan Emha Ainun Najib, beliau adalah penulis kesukaan saya
sewaktu baru selesai mondok di Darul Hufadz Tuju-tuju, buku "Markesot
Bertutur" dan "Markesot Bertutur Lagi" saya khatamkan beberapa
kali, demikian pula "Dalam Pojok Sejarah" ketiga buku itu saya bawa
kemana-mana, termasuk ke negeri Jiran Malaysia, waktu saya mengajar dan kuliah
di sana. Tulisan-tulisan Emha tersebut adalah sebagian besar berasal dari
kumpulan fikiran-fikirannya yang tertuang dalam format opini dalam salah satu
koran Nasional. Kemampuan Emha meramu budaya Jawa dalam konteks keindonesiaan
adalah perlu diapresiasi. Satu sisi dipandang positif oleh para cendekiawan
yang memang mayoritas bersuku Jawa, di sisi lain, adalah bagian dari jawanisasi
Indonesia. Karena itulah istilah-istilah Jawa dalam buku Emaha terlalu banyak
dan membingunkan oleh orang non Jawa seperti saya. Walau bagaimana pun, Emha
adalah penulis yang susah dicari tandingannya di Indonesia, dari beragam sisi,
istilah ‘syahwat politik’ dan ‘demokrasi Laa Raiba Fihi’ adalah bagian istilah
yang ia populerkan dan diterima luas oleh umat manusia Indonesia.

Oleh karena
itu, "Inna as-salah tanha 'anil fakhsya'i wal mungkar. Sesungguhnya
salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar." (QS. Al-Ankabut [29]:45),
mengganggu orang lain adalah bagian dari kemungkaran, dan bertentangan dengan
tujuan salat. Karena itu, Emha yang tulisannya berkarakter itu, serta banyak
peminat dan pembelanya hanyalah manusia biasa yang juga penuh dengan
kekeliruan. Kita ambil yang positif darinya, dan buang yang negatif lagi
merusak.
Namun, untuk
membangun karakter tulisan, latar belakang pengalaman dan pendidikan menjadi
bagian yang tidak bisa diabaikan. Prof. Yusril adalah cendekiawan komplit,
memiliki pangalam organisasi kemahasiswaan hingga saat ini menjadi salah
seorang pemimpin partai politik Islam, juga beberapa kali menjadi menteri, ia
pernah kuliah di bidang hukum tata negara di Universitas Indonesia, hingga
doktor dalam Islamic Studies di University Sains Malaysia. Juga Kang Jalal,
yang memiliki latar belakang pendidikan baik S1 maupun S2 dalam ilmu komunikasi,
serta kegigihannya dalam belajar bahasa, sangat menunjang kemampuan menulisnya.
Dengan disiplin ilmu dan latar belakang
pemahaman keagamaannya yang sesat itu, membawa dirinya menjadi penulis yang
berciri khas, dan mampu menyihir para pembacanya. Inilah dimaksud dalam sebuah
riwayat bahwa "Innal bayan lasikhr. Sungguh kata-kata itu dapat
menjadi sihir bagi pembacanya!". Kang Jalal telah mengamalkan hadis itu.
Sampai pada suatu saat saya berkomentar kepada salah seorang teman di LPPI,
Saya saja yang memiliki resistensi yang lumayan kuat dalam menangkal
teori-teori dan materi-materi penyesatan Jalaluddin Rakhmat masih saja kerap
terbius oleh susunan dan untaian kata-katanya dalam setiap buku-bukunya,
apalagi saudara-saudara kita yang sama sekali tidak memiliki daya tangkal, pastilah
mereka lebih mudah tersesat. Para pembacanya yang tak memiliki resisten adalah
domba-domba sesat yang dengan mudah digiring oleh srigala bernama Jalaluddin Rakhmat.
Latar belakang
Emha juga demikian, pengalamannya di Pondok Modern Gontor Darussalam, walaupun
tidak sempai tamat karena diusir, tetapi ilmu-ilmu bahasa, dan dasar-dasar
pemahaman dalam agama Islam (mabadi') telah ia pelajari. Plus kegigihannya
dalam belajar secara otodidak membuat dirinya menjadi seorang budayawan yang
pantas diacungi jempol namun tak pantas ditiru cara beragamanya.
Itulah di
antara para penulis yang telah umum diketahui bangsa Indonesia. Nama mereka
adalah garansi akan karakter tulisannya, tapi bukan garansi dalam mengukur
kebenaran, sebab kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Al-haq mir-rabik.
Bahkan dua penulis berkarakter terakhir di atas yang saya jadikan contoh adalah
tipe penulis berkarakter yang tidak memiliki adab yang baik kepada Agama Islam
sebagai agama yang hak (dienul-haq), dan pemahaman Ahlussunnah sebagai
paham satu-satunya yang diridhai oleh Allah. Keduanya masih terus menulis, dan
hanya dia dan Tuhan saja yang tau kapan akan berhenti menulis. Jin dan iblis
sekalipun tak mampu membendung mereka dalam menyebarkan kesesatan, sebagaimana
mereka tak akan mampu menahan saya untuk melawan tulisan para penyesat-penyesat
sekaliber Kang Jalal dan Emha. Saya akan terus menyuarakan kebenaran yang saya
yakini, Islam sebagai dien yang haq dan paham Ahlusunnah Wal Jamaah yang telah
diperaktikkan oleh para sahabat Nabi serta generasi salafussaleh lainnya adalah
paham keagamaan yang paling benar. Begitu saya berkeyakinan. Jika mereka
menebar racun, maka saya akan memberikan penawarnya.
Hanya tulisan
berkualitaslah yang dapat diingat dan diabadikan oleh para pembaca, dan
karakter khas yang terbangun adalah bagian dari kualitas tulisan. Anda, dan orang
lain alias pembaca dapat dapat merasakan,
apakah tulisan Anda berkarakter atau tidak! Demikian pula, Anda dan orang lain
dapat menilai, apakah tulisan yang Anda hasilkan membawa pencerahan atau
penyesatan! Amal jariah atau jariatus-su'.
Andai saja
seluruh isi lautan menjadi tinta, dan pohon-pohon yang ada di bumi berjumlah
tujuh kali lipat banyaknya menjadi pena untuk menulis firman Allah, maka semua
itu tidaklah cukup (QS. Luqman [31]: 27). Wallahu A’lam!
Enrekang, 12 Maret 2014. Ilham Kadir, Peneliti MIUMI Sulawesi Selatan.
Comments