Kemuliaan Ilmu dan Ulama
Dalam
situasi hiruk-pikuk politik seperti saat ini, dimana setiap orang seakan dapat
membeli kemuliaan dengan harta, kedudukan, dan pangkat. Saksikanlah para calon
anggota legislatif, dari daerah hingga pusat, rela menghambur-hamburkan uang
hingga miliaran rupiah demi meraih kursi kehormatan.
Hasil
penelitian Associate Researcher LPEM FE-UI menyatakan, Untuk duduk di kursi
legislatif, seorang caleg DPR RI harus mengeluarkan dana investasi kampanye
sebesar Rp 1,8 miliar hingga Rp. 4,6 miliar, dan Rp. 481 juta hingga Rp. 1,5
miliar untuk DPRD provinsi, dan ini masih dalam batas kewajaran. Dipandang
tidak wajar jika caleg menghabiskan dana sebesar Rp. 4,6 miliar hingga Rp. 9,5
miliar untuk DPR RI dan Rp. 1,5 miliar hingga Rp 3 miliar untuk caleg provinsi.
Jika caleg DPR RI menghabiskan dana di atas Rp. 9,5 miliar dan caleg provinsi
menghabiskan dana lebih dari Rp. 3 miliar, maka dipandang tidak rasional.
Kategori
tidak wajar dan tidak rasional, dinilai dari kalkulasi resmi pendapatan anggota
dewan yang angkanya tidak akan sampai pada titik itu—ketika ia terpilih. Hal
inilah yang dapat memicu tindak korupsi ketika kelak menjabat sebagai
legislator. Nah, pertanyaannya, kalau hanya untuk mengembalikan modal, untuk
apa menghabiskan tenaga, waktu, dan harta yang tidak sedikit?
Dewasa
ini, di era globalisasi yang didasari pada materialisme. Memandang kebahagiaan
dunia sebagai tujuan utama dan pertama. Kebahagiaan bagi penganut materialisme
adalah segala yang berbentuk fisik. Harta, kedudukan, dan pangkat adalah tolok-ukur
kebahagiaan dan kesuksesan.
Mereka
yang memiliki jabatan, pangkat, dan harta lebih dihormati dari jenis manusia
manapun. Mereka dijaga 24 jam oleh pengawal pribadi, bertemu dengannya adalah
sebuah anugrah bagi orang lain, terutama rakyat jelata. Betapa tidak, hanya
untuk sekadar bersilaturrahim saja harus melayankan surat audiensi dua minggu
sebelumnya. Semua itu bisa didapat dengan uang, karena itulah uang adalah
hampir menjadi segala-galanya, dan segala-galanya sulit terwujud tanpa uang.
Di
lain pihak, orang yang memiliki keistimewaan berupa ilmu, iman, dan takwa.
Hidup dalam keadaan apa adanya, mengasuh para santri di pondok pesantren
misalnya, atau mengajar di sebuah lembaga pendidikan swasta, serta hanya
berdakwah dari satu tempat ke tempat lainnya, mereka hanya dipandang
biasa-biasa saja, dan tidak begitu mendapat penghormatan dan kemuliaan
sebagaimana para pejabat dan anggota dewan terhormat.
Karena
itulah, orang yang telah berduit merasa tidak cukup hanya dengan harta yang
ada, merasa perlu untuk mencari eksistensi diri lebih tinggi: duduk sebagai
anggota dewan. Tentu sah-sah saja, selama yang bersangkutan memiliki
kualifikasi dan ada keinginan, selain untuk mencari kedudukan, juga membantu
orang banyak.
Seorang
teman yang juga maccaleg untuk DPRD tingkat kota menceritakan sejujurnya
pada saya bahwa dana yang telah ia keluarkan sejak berjalan dua tahun silang
tidak kurang dari 400 juta lebih, dan kini, di ambang pemilihan, amunisinya
sudah mengering. Teman lain, yang menjadi caleg DPRD tingkat provinsi berujar,
Andai bisa dibeli itu kursi di DPR dengan harga satu miliar, akan saya bayar
dengan cash. Demikian gambaran perjalanan dan perjuangan para caleg
untuk menggapai singgasana DPR. Untuk sebuah kursi kehormatan.
Sejujurnya,
ada yang salah dalam paradigma berfikir sebagian besar masyarakat kita, cara
mereka memandang dunia (world view) atau dalam perkara yang ada pada
alam sekitar yang berimbas pada kesalahan dalam membuat kerangka kerja (frame
work).
Begitu
jelas akan penyakit rohani-psikologis yang mendera masyarakat Indonesia yang
umumnya beragama Islam. Agama yang sangat menghargai ilmu, dan hanya dengan
ilmu, agama pamungkas ini dapat tetap eksis dari masa ke masa. Ajaran-ajarannya
semua bersumber dari ilmu, dan pengajarnya dikenal dengan sebutan “ulama” yang
sebetulnya juga berasal dari kata “ilmu”. Ulama memiliki arti sebagai ‘seorang
yang memiliki ilmu yang banyak’ atau ‘orang-orang yang berilmu’.
Ulama
dalam Islam memiliki kemuliaan yang tidak terhingga. Sehingga para penguasa
atau politikus pun menghargai dan mengormati ulama, bahkan ada dari kalangan
ulama yang menjadi pemimpin politik. Namun, demi menjaga netralitas, ulama memang
selayaknya menjadi penyanggah sebuah peradaban, menjadi korektor untuk para
penguasa, serta menjadi ekosisten dalam sebuah peradaban, terlebih peradaban di
era hedonisme ini, lebih khusus lagi bangsa Indonesia yang sedang dalam
peralihan dan pencarian jati diri. Peran ulama harus lebih signifikan dalam
mengarahkan haluan dan tujuan bangsa ini.
Islam
adalah agama yang sekali lagi, sangat mencintai ilmu. Bahkan secara filosofis,
seorang muslim telah belajar sejak terlahir di dunia—dengan mengumandangkan
azan di telinganya—hingga menjelang wafatnya, dengan mengajarkan ia ucapan
kalimat tauhid berdasarkan sabda Nabi, Laqqinu mautakum la ilaha illallah.
Ajarilah orang yang akan mati di antara kalian, la ilaha illallah.
Adalah
Abu Rayhan Al-Biruni (w.1048M), seorang saintis, pakar undang-undang, dan guru
besar ilmu perbandingan agama. Ketika ia sakit parah, pada menit-menit terakhir
sebelum malaikat maut mencabut nyawanya. Salah seorang sahabat berkunjung
padanya bermaksud menanyakan salah satu bab dalam perkara agama. Sahabat itu
urung meminta penjelasan karena waktunya tidak tepat, namun sang guru besar
menegaskan bahwa dirinya tidak mau meninggal dunia dalam keadaan tidak
mengetahui perkara yang ditanyakan oleh siapa pun.
Tidak
ada alasan untuk tidak belajar, demikian realitas dan sejarah peradaban Islam.
Kemiskinan dan sosio-kultural yang tidak baik bukanlah alasan untuk tidak
belajar dan menjadi ulama dan ilmuan. Imam Syafi’i (w.820 M) adalah anak yatim
dan miskin, namun ia telah menghafal Al-Qur’an ketika berumur 7 tahun, dan
telah menghafal dan memahami dengan sempurna kitab Al-Muat-tha’,
karangan Imam Malik di kala berumur 10 tahun, ketika masuk usia 15 beliau sudah
berfatwa, umur yang anak-anak saat ini banyak yang belum bisa baca Al-Qur’an
tetapi mahir main game online dan mengakses situs porno.
Abul
Hasan Al-Tamimi (w.918 M) seorang yang buta, tetapi cintanya pada ilmu memaksa
dirinya untuk belajar hanya melalui pendengaran saja, sehingga menjadi salah
satu ulama fikih paling muktabar dalam
Mazhab Syafi’i. Demikian pula Ibnu Taimiyah (w.1328 M) yang lahir ketika
situasi politik yang kacau-balau, umat Islam dibabat habis-habisan oleh
kebiadaban Bangsa Mongol dan Perang Salib, namun tetap belajar di bawah asuhan
keluarganya. Ia mempelajari Al-Qur’an, hadis, fikih, matematika, filsafat,
tasawuf, sejarah, sastra, tafsir, mantiq, dan teologi, semua itu dia
selesaikani pada usia 21 tahun.
Demikian
pula mereka yang hidup dalam kemewahan, berharta dan sebagai anak pejabat.
Mereka tetap memiliki pendangan bahwa hanya dengan ilmu seseorang dapat manjadi
mulia, naik sebagai pemimpin tanpa ilmu yang memadai pun tidak akan menjadikan
dirinya mulia, jika dihormati itu hanya sesaat dan basa-basi.
Ibnu
Hazm (w.1064 M) dilahirkan di Cordova (Spanyol) adalah seorang anak menteri dan
hidup dalam kemewahan. Begitu pula Ibnu Khaldun (w.1406 M) lahir di Tunisia,
juga berasal dari keluarga kaya-raya, mewah, dan terpandang. Mereka berdua
justru memanfaatkan kedudukan keluarga dengan menelaah buku-buku yang ada dalam
perpustakaan pribadi, dan mendatangkan guru private untuk mengajar mereka
berbagai cabang ilmu. Ibnu Hazm adalah ilmuan yang muktabar dalam bidang
kedokteran, fikih, dan perbandingan agama, sedang Ibnu Khaldum adalah bapak
sosiologi dunia yang namanya selalu dikenang.
Faktor
umur dan kedudukan juga tidak menghalangi seseorang untuk belajar. Imam Abu
Hanifah, kendati sudah terkenal berilmu dan punya banyak pengikut masih tetap
belajar pada Imam Malik yang 13 tahun lebih muda darinya.
Karena
itu, dalam hiruk-pikuk politik yang sedang melanda negeri ini, peran para
intelektual dan ulama, khususnya yang lebih fresh dan masih muda harus
ikut andil dalam memberi bimbingan dan penawar racun materialisme kepada
segenap masyarakat Indonesia. Inilah menjadi salah satu tujuan terbentuknya
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) yang pada 29 Maret 2014
dideklarasikan keberadaannya pada tingkat wilayah Sulawesi Selatan. Segenap
masyarakat luas, khususnya umat Islam diharap turut andil dalam mendukung
program-program organisasi yang telah berdiri sejak dua tahun silang, dan telah
banyak menyuarakan kebenaran demi tercapainya ‘Indonesia yang Lebih Beradab’. Wallahu
A’lam!
(telah dimuat pada Harian TRIBUN TIMUR MAKASSAR edisi Jumat 28 Maret 2014)
Ilham Kadir, MA. Ketua Lembaga Penelitian Majelis Intelektual dan
Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Wilayah Sulawesi Selatan.
Comments