Ibnu Abbas, Ahlus-sunnah, dan Syiah

Ia
berotak encer, pandai serta fasih berbicara. Banyak dari lawan bicara Ibnu
Abbas mengikuti pendapatnya setelah berdialog dengannya. Seorang ulama tabi’in,
Masruq bin Al-Ajda’ mengatakan, “Ketika aku melihat Abdullah bin Abbas, aku
katakan, ‘Dia adalah orang yang paling tampan.’ Lalu ketika dia berbicara, aku
katakan, ‘Dia orang yang paling pandai bicara.’ Dan ketika dia berbicara aku
katakan, ‘Dia orang yang paling berilmu.’”
Selain
jenius, sepupu sekali Rasulullah ini adalah anak yang rajin, dan gigih dalam menuntut
ilmu. Ibnu Abbas menuturkan pengalamannya dalam menuntut ilmu, “Tatkala
Rasulullah telah berpulang ke hadirat Allah, aku mengatakan kepada seorang
Anshar, ‘Mari kita bertanya kepada para shahabat Rasulullah mumpung sekarang
mereka masih banyak.’ Orang Anshar itu pun menukas, ‘Aku heran, apakah engkau
menyangka bahwa manusia membutuhkan dirimu?’” Ibnu Abbas tidak menggubris
ucapannya. Dia pergi menemui para shahabat dan menanyai mereka. Ibnu Abbas
melanjutkan penuturannya, “Suatu hari, aku mengetahui ada hadis dari seseorang.
Aku pun mendatangi pintunya. Ternyata orang tersebut sedang tidur siang. Aku
pun beralas baju atasku—berupa selendang—menunggunya
di depan pintu. Angin meniupkan debu ke wajahku. Lalu, setelah orang tersebut
pun keluar dan melihatku, dia berkata, ‘Wahai sepupu Rasulullah, kebutuhan apa
gerangan yang membuat Anda datang kepadaku? Kenapa Anda tidak mengutus
seseorang untuk kemudian aku yang akan mendatangi Anda?’ Aku pun mengatakan,
‘Tidak. Aku lebih berhak untuk mendatangimu lalu menanyaimu tentang hadits.’ Orang
Anshar tadi pun hidup hingga melihat orang-orang mengelilingiku untuk
menanyaiku. Dia pun berkata, ‘Sejak dahulu, pemuda ini lebih pandai dariku.’”
Selain
itu, Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhuma sangat menghargai dan menghormati para ulama disebabkan
ilmu mereka. Seorang ulama tabi’in Asy-Sya’bi mengisahkan, “Zaid bin Tsabit (seorang
ulama shahabat) mengendarai unta. Ibnu Abbas pun menuntun untanya. Zaid
mengatakan, ‘Jangan lakukan, wahai sepupu Rasulullah.’ Ibnu Abbas pun menyahut,
‘Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan ulama kami.’ Kemudian,
Zaid bin Tsabit mencium tangannya dan mengatakan, ‘Seperti inilah kami
diperintahkan untuk memperlakukan keluarga Nabi kami.”
Ulama
tabi’in lainnya, Abu Wa`il Syaqiq bin Salamah mengatakan, “Ibnu Abbas
berkhutbah kepada kami pada musim haji. Beliau membuka khutbahnya dengan Surat
Nur, lalu membacanya dan menafsirkannya. Aku pun mengatakan, ‘Aku tidak pernah
melihat atau mendengar ucapan seseorang yang semisal ini. Anda Persia, Romawi,
dan Turki mendengarnya, niscaya mereka akan masuk Islam.”
Soal
tafsir pun Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhuma adalah ahlinya. Abdullah bin Mas’ud seorang ulama shahabat, mengakui kepiawaian
Ibnu Abbas dengan mengatakan, “Penafsir Al-Quran yang paling baik adalah
Ibnu Abbas. Jika dia berumur seperti kita, niscaya tidak ada seorang pun dari
kita yang ilmunya mencapai sepersepuluh ilmunya.”
Al-Qasim
bin Muhammad mengatakan tentangnya, “Aku tidak melihat di majelis Ibnu Abbas
satu kebatilan pun. Aku tidak pernah mendengar fatwa yang lebih cocok dengan
sunnah daripada fatwanya. Para muridnya menjuluki beliau Al-Bahr (lautan ilmu)
dan Al-Habr (tinta).” Demikianlah, Ibnu Abbas dijuluki Habrul Ummah.
Siapa
tak kenal Umar bin Al-Khaththab, Sang Khalifah kedua setelah Abu Bakr?
Ternyata, shahabat sekelas Umar pun mengakui keilmuan Ibnu Abbas yang waktu itu
masih muda. Tercatat oleh Al-Bukhari di dalam kitab “Shahih”
bahwa suatu saat Umar memasukkan Ibnu Abbas muda ke dalam majelisnya bersama para
tokoh Islam. Pada waktu itu, para tokoh Badr yang telah matang dalam usia
sangsi akan kemampuan Ibnu Abbas. Mereka pun bertanya kepada Umar, “Kenapa Anda
memasukkan pemuda ini ke tengah majelis kita padahal kami juga punya anak
seperti dia?”
Umar
pun menjawab, Kalian telah mengetahui tentangnya—kepandaiannya. Suatu saat,
Umar memanggil Ibnu Abbas ke tengah majelis untuk memperlihatkan kepandaiannya.
Umar menanyakan kepada mereka, “Apa yang kalian ketahui tentang firman Allah ta’ala (yang artinya),
Idza ja’a nashrullahi wal fath. Jika telah datang pertolongan Allah dan penaklukan. [Q.S. Al-Nashr:1-3]?”
Sebagian
tokoh Badr tersebut pun menjawab, “Allah memerintahkan kita untuk beristighfar
setelah Allah menolong dan memudahkan kita untuk menaklukkan kota Mekah.”
Sedang sebagian lainnya memilih diam. Sekarang
giliran Ibnu Abbas, “Demikiankah?” kata Umar kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas
mengatakan, “Tidak.” “Lantas, apa menurutmu?” tanya Umar. Ibnu Abbas
mengatakan, “Itu adalah wafatnya Rasulullah, Allah memberitahukannya kepada
beliau. ‘Jika datang
kepadamu pertolongan dan penaklukan.’ [Q.S. Al-Nashr:1]
itu adalah tanda dari dekatnya wafat Nabi. Maka
bertasbihlah dengan pujian kepada Rabbmu dan mintalah ampun. Sesungguhnya Dia
Maha Pengampun.’ [Q.S.
An-Nashr:3]. Umar pun berkata, “Aku tidak mengetahuinya kecuali
seperti apa yang engkau katakan.”
Demikianlah
ketajaman dan ketelitian Ibnu Abbas dalam memahami wahyu. Dia mengetahui bahwa
perintah istighfar tidak biasa digunakan ketika terjadi kemenangan dan
penaklukan. Dia mengetahui bahwa perintah istighfar dan taubat biasanya
digunakan untuk mengakhiri sesuatu, maka dia pun menafsirkan pertolongan dan
penaklukan dalam ayat tersebut sebagai tanda akan diwafatkannya beliau (Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, I’lamul
Muwaqqi’in).
Bahkan
istilah “Ahlussunnah wal Jama’ah” tidak bisa dilepaskan dengan diri Ibnu Abbas.
Ketika ia menafsirkan Surah Ali Imran ayat ke-106.
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ فَأَمَّا
الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ
بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ (١٠٦)
Ibnu
Abbas menafsirkan, Pada hari muka mereka menjadi putih yaitu Ahlussunnah wal
Jamaah dan muka-muka menjadi hitam yaitu ahlul bid’ah.
Penafsiran
Ibnu Abbas di atas tetap mengacu pada keterangan-keterangan Baginda Nabi
Muhammad, terutama pada hadis yang membahas atas terpecahnya umat Islam menjadi
73 golongan dan 72 golongan akan masuk neraka, hanya satu yang dijamin masuk
surga yaitu “Al-Jamaah” (HR. Ibnu Majah). Siapakah mereka? Terjawab pada hadis
lain, bahwa Al-Jamaah adalah ‘siapa saja yang berpegang dengan ajaranku dan
para sahabatku’ (HR. Hakim).
Dengan
keterangan ini sangat jelas bahwa golongan yang tidak menganggap para sahabat
Nabi adalah bagian daripada agama ini, atau bahkan melakukan diskualifikasi
dengan mencela, bahkan melaknat mereka terutama Umar dan Abu Bakar radhiallahu
‘anhuma sambil melakukan pelecehan terhadap istri Nabi, terutama Aisyah dan
Hafshah radhiallahu anhuma sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok sesat
yang kesesatannya 100% la raiba fihi, yaitu Syiah Rafidhoh yang sedang
bercokol dan berkembang di Indonesia.
Kembali
ke Ibnu Abbas. Tidak hanya tafsir, beliau juga pandai dalam banyak perkara.
Murid Ibnu Abbas, Atha` bin Abi Rabah mengatakan, “Banyak orang mendatangi
Ibnu Abbas untuk mempelajari syair dan nasab-nasab. Orang yang lain mendatangi
Ibnu Abbas untuk mempelajari sejarah hari-hari peperangan. Dan kelompok lainnya
mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari ilmu agama dan fikih. Tidak ada satu
golongan pun dari mereka kecuali mendapatkan apa yang mereka mau.”
Berbagai
keutamaan yang Ibnu Abbas raih ini sejatinya tidak lepas dari doa mustajab yang
dipanjatkan oleh Rasulullah. Saat itu, beliau selesai buang hajat. Ibnu Abbas
kecil memahami kebiasaan Rasulullah yang berwudhu setiap kali habis dari
buang hajat. Dia pun meletakkan air wudhu di tempat keluarnya Nabi. Lantas,
ketika Nabi melihat air wudhu yang sudah dipersiapkan, Rasulullah pun
bertanya, “Siapa yang meletakkan ini?” Ibnu Abbas menjawab, “Ibnu Abbas.” Maka
Rasulullah pun meletakkan telapak tangannya yang mulia di bahu Ibnu Abbas
kecil seraya berdoa: اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ “Ya Allah, berilah dia pemahaman
dalam masalah agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir.” (H.R. Al-Bukhari, Muslim). Dari doa
inilah kemuliaan demi kemuliaan kemudian dia peroleh. Namun, tentu saja
kemuliaan ini bukan turun dari langit begitu saja. Allah memberi taufik kepada
Ibnu Abbas untuk menuntut dan mencari kemuliaan tersebut dengan sepenuh tenaga
yang Allah karuniakan kepadanya, bukan hanya dengan berpangku tangan.
Ibnu
Abbas meninggal di Tha`if pada tahun 68 H pada pemerintahan Ibnu Zubair. Waktu
itu, umur beliau sekitar 70 tahun. Di antara yang menshalati jenazahnya adalah
seorang ulama tabi’in, Muhammad bin Ali bin Abu Thalib yang dikenal dengan
Ibnul Hanafiyah (w. 80 H), berujar, “Telah meninggal seorang ulama rabbani bagi umat ini.”
Enrekang, 22 Maret 2014. Ilham Kadir, MA. Pengurus MIUMI
Wilayah Sulawesi Selatan
Comments