Dakwah Politik Dr. H. Ali Mocthar Ngabalin

Kecuali itu adalah hari pasar, di kota ini pula yang
mungkin juga satu-satunya kabupaten yang hanya dua kali pasar dalam seminggu.
Senin dan Kamis. Untuk itulah saya mengundang Bang Ali untuk memberi tausiyah
di Masjid Pasar Enrekang tepat pada hari pasar waktu Zuhur dengan asumsi jamaah
pada waktu itu, sebagaimana biasanya memenuhi masjid yang bertingkat itu,
lantai pertama untuk jamaah kaum pria dan lantai kedua untuk jamaah kaum Hawa.
Bagitu waktu Zuhur tiba, Bang Ali datang lebih awal dibanding
saya, sempat menelpon menanyakan keberadaan saya yang masih di dalam rumah
sedang asyik mengedit novel, dan segera keluar bertemu dengannya. Kami segera
masuk masjid bersama, imam tetap dan pengurus masjid mempersilahkan beliau maju
untuk memimpin jamaah salat zuhur, saya sendiri berada di belakang imam agak ke
kanang. Bakda salat, pengurus masjid mempersilahkan Bang Ali untuk naik memberi
tausiah usai zikir dan salat sunnah rawatib bakdiah. Bang Ali berdiri, memulai
ceramahnya denga salam dan muqaddimatul khitabah.
Ia menekankan pentingnya salat dengan berjamaah. Di
samping salat berjamaah membawa banyak keutamaan, termasuk 27 derajat bila
dibandingkan dengan salat sendirian, ia juga menekankan bahwa dosa hukumnya
menunaikan salat sendirian di rumah tanpa uzur syar'i walau salatnya tetap sah
dan tidak usah diulangi. Uzur syar'i adalah sebuah kondisi yang dapat
diterima oleh syariat, seperti orang dalam keadaan musafir, sakit, tidak
mengetahui bahwa waktu salat telah masuk dan tidak pula mendengar azan karena
satu dan lain hal, orang kecelakaan, dan sejenis itu.
Namun--lanjut mantan Ketua Umum BKPRMI terlama
ini--bagi orang yang mendengarkan azan tapi masih saja tetap sibuk dengan
barang dagangannya di pasar, tetap melayani pembeli, atau malah asyik
berbelanja, maka orang-orang seperti ini jelas berdosa. Tidak hanya ini, umat
Nabi Muhammad yang mendengarkan azan berkumandang tapi tidak juga tergerak
hatinya untuk memenuhi panggilan Allah dan untuk meraih kemenangan—hayya 'alas sholah
dan hayya alal falah—maka mereka ini tergolong sebagai muslim tapi belum bisa
dikatakan mukmin sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat ke-14 dan
15.
قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ
قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا
اللَّهَ وَرَسُولَهُ لا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ (١٤) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (١٥)
Orang-orang Arab Badui itu
berkata, "Kami telah beriman". Katakanlah, "Kamu belum beriman,
tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi
sedikitpun pahala amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka Itulah
orang-orang yang benar.
Terkait urgennya salat berjamaah, Bang Ali lalu
mengutif sebuah kisah salah seorang sahabat Nabi yang datang mengadu dan
berharap akan diberi konvensasi, bebas menunaikan salat fardhu di rumahnya.
Sang Sahabat yang buta dan telah berumur 85 tahun itu merasa keberatan untuk
menghadiri salat berjamaah lima kali sehari, terutama di waktu-waktu gelap dan
tak ada orang yang dapat menuntunnya. Nabi lalu memberi keringanan, dan ketika
sahabat buta dan tua renta itu hendak pamit, Nabi lalu bertanya, Apakah Engkau
mendengar azan berkumandang? Sahabat menjawab, iya. Nabi bersabda, kalau begitu
tidak ada alasan bagimu untuk tidak berjamaah di masjid ini.
Bang Ali lalu memberi pertanyaan pada jamaah, adakah
orang di Enrekang ini yang tidak mendengar azan ketika waktu salat tiba?
Tentu saja tidak, karena begitu tiba waktu salat masuk, azan besahut-sahutan
dari satu masjid ke masjid lainnya, dari mushalla ke mushalla, toa terdengar
membahana, memantul dari satu gunung ke gunung lainnya, menjadikan Kota
Enrekang yang berbentuk lembah laksana sebuah masjid besar dijejali pembesar di
setiap penjuru mata angin.
Karena itu, menurut Bang Ali, tidak ada alasan untuk
tidak mengikuti jamaah pada setiap waktu salat tiba. Selain itu. Lanjut Bang
Ali, salat adalah ukuran beriman atau sebaliknya seorang muslim, bahkan, salat
dapat menjadi pembeda antara muslim dan kafir, Daud dan David, Musa dan Moses,
Ali dan Alex, Yusuf dan Josoef, Sulaiman dan Solomon, begitulah seterusnya. Selain
itu, salat juga berfungsi sebagai tolok-ukur akan kebaikan seseorang. Jika
salatnya baik, pasti dia tidak akan melakukan perbuatan keji dan mungkar. Jika
salatnya sempurna, pasti dia tak akan menggarong harta rakyat, jika salatnya
diterima, pasti dia tak akan mencuri, membunuh, menyakiti orang lain, berzina,
dan segala bentuk angkara munkar dan ragam maksiat.
Intinya, salat adalah tiang agama dan barometer
kehidupan harian umat Nabi Muhammad. Bang Ali menutup tausiyahnya dengan
mengatakan, Sayang jika hidup yang singkat ini tidak dipergunakan untuk
berbakti pada Allah sepenuh hati, dan berbuat baik kepada orang lain sebanyak
mungkin. Tidak ada yang dapat kita banggakan dalam hidup yang begitu singkat
ini. Pemimpin datang dan pergi, rakyat lahir dan meninggal, kita semua juga
akan mengalami itu, jika kita kebetulan dipilih menjadi pemimpin, maka itu
adalah amanah, sebagaimana jika dipilih menjadi wakil untuk rakyat, semua telah
diatur dan ditakdirkan oleh Allah.
Selama mendampingi beliau di Enrekang, walaupun kurang dari dua hari, saya sudah dapat mengambil benang merah pada
diri Bang Ali, yang bagi saya, layak untuk dijadikan pelajaran bagi orang lain,
terutama para politisi, dan karena itu pula saya menulis tentang beliau,
tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Di antara hal-hal yang layak dijadikan
teladan pada sosok Bang Ali dalam berpolitik adalah.
Pertama. Tidak terlihat mencolok bahwa dirinya adalah seorang caleg, kemana-mana
ia hanya memakai baju koko putih berlogo BKPRMI di kantong bajunya, menggunakan
kain sarung, songkok dan sorban di kepala. Yang menandakan kalau dia caleg
hanyalah mobilnya yang telah dibrending. Atribut-atributnya juga sangat
terbatas dan hampir semuanya disponsori oleh rekan-rekannya yang sebenarnya
tidak memiliki kepentingan dengannya, untuk se-Kabupaten Enrekang saja, hanya
terdapat dua baliho ukuran 2x3.
Kedua. Kesantunan dalam berpolitik. Ketika ada tim
sukses dari partai yang sama menurunkan atribut Bang Ali karena takut disaingi,
Bang Ali justru cuek dan tak begitu peduli, malah berkata, Muda-mudahan yang
bersangkutan bisa lolos sebagai wakil rakyat dan benar-benar memperjuangkan
aspirasi masyarakat. Bang Ali menilai bahwa menjadi anggota dewan itu adalah
amanah dan pertanggungjawabannya bukan hanya pada manusia, tapi pada Allah,
kita bisa saja lari dari manusia, tapi dari Allah, itu tak mungkin.
Ketiga. Minus Politik Uang. Itulah yang saya saksikan,
dari ratusan orang yang mendatangi Bang Ali, saya liat sendiri tak ada satu pun
yang datang minta uang walau hanya satu sen. Bahkan justru masyarakat yang
berlomba-lomba menyapa dan mengajaknya berfoto bareng, beliau mengalahkan para
salebritis. Dan setiap orang yang bertemu minta foto, juga minta nomor HP, dan
itu dikasi dengan senang hati, bahkan banyak yang langsung SMS-an.
Keempat. Blusukan. Langsung kepada para pemilih,
termasuk mengunjungi rumah-rumah Mereka. Bertamu sambil bincang-bincang segala
hal, berdiskusi tentang budaya, politik, agama, dst. Dan saya baru melihat ada
caleg yang berani pasang nomor Hand Phone, alamat Facebook, Twitter,
dan E-Mail, agar memudahkan pada siapa saja berkomunikasi langsung
dengannya. Bahkan nomor HP yang ia pasang pun tak pernah berubah sejak dahulu.
Itu berarti memang beliau selalu siap dihubungi oleh siapa saja, Bagi Bang Ali,
rakyat harus memiliki akses langsung (direct access) kepada para
wakilnya supaya dapat mengadu lasung permalasahan mereka. Bang Ali tidak punya
tim sukses, hanya berbasis pada pendukung setia dan rekan-rekan sekaligus
sebagai simpatisan yang militan, merekalah yang bekerja, yang menurut saya jauh
lebih efektif dari tim sukses mana pun.
Kelima. Tausiyah di berbagai tempat, termasuk di
masjid dan mushalla-mushalla, atau acara-acara tertentu. Dalam hal ini, Bang
Ali pure sebagai seorang muballig, ceramah-ceramahnya sama sekali jauh
dari nuansa politis. Tidak ada sama sekali kata-kata, saya adalah caleg, di
partai ini dan itu, nomor utut sekian, dan sebagainya sebagaimana ustad dan
muballig-muballig lainnya yang ikut maccaleg.
Keenam. Tidak pernah mengumbar janji, atau bilang
pilihlah saya, karena saya layak dipilih, saya terkenal, saya dapat berbuat
begini dan begitu, tida pula punya jargon khusus seperti “Jujur, Bersih, Amanah”,
atau “Religius, Jenius, dan Ramah”. Beliau hanya mengatakan, kalau saya masih
terpilih dan lolos ke DPR Pusat maka saya akan berbuat sebagaimana dulu sewaktu
saya duduk di Senayan. Terkait apa yang telah saya perbuat untuk dapil saya,
maka tanyalah pada kepala daerah yang memimpin saat itu, bila saya yang
bercerita akan hilanglah amal saya karena masuk dalam kategori riya' (poji
ale).
Sebagai manusia biasa, tentu Bang Ali banyak
kekurangan, namun mencari manusia sempurna tentulah hal mustahil, kita hanya
dituntut memilih wakil yang paling sedikit kekurangannya. Demikian pula, di
tengah banyaknya para politisi busuk yang kerjanya mengumbar janji tanpa bukti,
dan minim integritas, nampaknya sosok Bang Ali, bagi saya pribadi yang bisa
saja berbeda dengan Anda, menilai bahwa beliau layak mewakili rakyat di DPR RI,
dan Ormas Islam seperti Wahdah Islamiyah telah mengarahkan dukungannya kepada
Dr. H. Ali Mocthar Nngabalin untuk daerah pemilihan Sulsel III. Sidrap,
Pinrang, Enrekang, Toraja, Palopo, dan Luwu Raya. Untuk sebuah dukungan dari
Ormas Islam sekelas Wahdah haruslah memiliki kriteria yang tidak mudah, mulai dari
integritas pribadi, pemahaman agama, sumbangsihnya pada dakwah, hingga latar
belakang keluarga dan kualitas individu. Wallahu A'lam! Enrekang, 18 Maret 2014.
Ilham Kadir MA. Aktivis, Jurnalis, Peneliti,
dan Novelis
Comments