Cinta Sesat Sesaat
Tidak
ada ungkapan lebih menarik dalam kehidupan ini melebihi kata ‘cinta’. Hanya
terdiri dari lima huruf namun memiliki makna yang sangat filosofis. Karena
itulah para penyair berlomba-lomba mendefinisikan cinta dengan gubahan
kata-kata yang hingga kini terus berkembang, dan karena itu pula tidak ada arti
yang baku dalam memaknai cinta, baik dari kata verbal maupun kata hati. Setiap
orang dapat mengartikan cinta sesuai kadar kemampuannya. Seorang pujangga akan
beda bahasanya dengan seorang ilmuan ketika mengungkapkan makna cinta.
Al-Qur’an,
kitab wahyu paling otentik dan berbahasa Arab memaknai cinta dengan hubb
dan mawaddah. Namun tidak semua kata hubb dalam Al-Qur’an
bermakna cinta, ia bisa berubah menjadi ‘memilih’ (QS. 41: 17) dan
‘mengutamakan’ (QS. 38: 32), bahkan dapat pula diartikan dengan ‘sedikit’ tapi
ini umumnya berkaitan dengan harta yang sedikit dan paling disayangi namun
karena kedermawanannya, maka harta itu diinfakkan. Wa ata al-mal ‘ala hubbih,
dia memberikan hartanya—kepada fakir miskin—sekalipun hartanya tinggal sedikit.
Khusus terminologi hubb terkahir ini, sangat berkaitan dengan cinta
kepada harta.
Ada
pun mawaddah, hanya memiliki satu makna yaitu cinta (misalnya, QS. 30:
21). Namun harus ditegaskan bahwa cinta dengan arti mawaddah hanya dapat
ditujukan kepada sesama manusia, antara pasangan suami istri, orang tua dan
anak, sesama kerabat, teman sekantor dan sejenisnya. Sebagai tambahan mawaddah
adalah bentuk cinta yang murni dan penuh kasih sayang, tidak ada ruang untuk
melakukan penyelewengan.
sedangkan
hubb yang dominan dipakai dalam bahasa Arab, termasuk Al-Qur’an ketika
memaknai cinta, memiliki tingkatan-tingkatan (hierarki), dari yang teratas
hingga yang paling rendah, dari yang mulia hingga yang paling hina. Karena
itulah, pemahaman cinta yang benar dapat menyelamatkan seseorang untuk
terhindar dari pengamalan cinta yang berujung pada kenistaan.
Hierarki
cinta
Secara
umum, makna cinta adalah perasaan kasih sayang yang melahirkan rindu yang
terdalam dan mendorong pelakunya untuk rela menghamba kepada yang dicintainya
karena itu pula tingkah laku sang pencinta biasanya tidak bisa dipisahkan
dengan keinginan pujaan hatinya.
Islam
mengajarkan kepada pemeluknya agar cinta yang pertama dan paling utama harus
ditujukan kepada Allah dengan artian menjadikan Allah sebagai sesembahan
tunggal dan menafikan apa pun bentuk sesembahan lainnya (thaghut).
Inilah yang dimaksud dalam firman Allah, Dan di antara manusia ada orang-orang
yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah, (QS. 2: 165). Ada
pun tanda orang-orang yang mencintai Allah adalah mengikuti ajaran Rasulullah,
termasuk sunnahnya, maka niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya, (QS. 3:
31). Ayat terkahir ini sekaligus menjadi dalil akan kewajiban seorang muslim
mendudukkan Rasulullah sebagai cinta kedua.
Ada pun tanda cinta kepada Allah sebagaimana diutarakan oleh
Ar-Rabi’ bin Anas dalam “Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab” adalah banyak
mengingat-Nya, karena tidaklah engkau menyukai sesuatu kecuali banyak
mengingatnya. Zikir atau mengingat Allah, bukanlah perkara susah, bisa
dilakukan dalam keadaan berdiri, duduk, hingga berbaring (QS. 3: 191) dengan
bermacam macam cara, mulai dari shalat, baca Al-Qur’an, baca buku, mendengar
tausiyah, memikirkan penciptaan alam dan isinya, hingga sekadar mengucapkan, Subhanallah,
Alhamdulillah, La ilaha illallah, Allahu Akbar, La haula wala quwwata illa
billah, dan Astagfirullah. Zikir-zikir itu sangat mudah diucapkan oleh
lisan, namun memiliki timbangan yang berat. Hafifah fillisan watsaqilah fil
mizan. Ada pun cinta kepada Rasulullah, mengikuti ajaran dan segenap
sunnahnya, dan paling ringan sering-sering membaca shalawat, Allahumma
shalli ‘ala muhammad wa ala ali muhammad.
Dewasa ini, banyak orang hanya mengaku-ngaku cinta kepada Allah,
tapi ternyata sebaliknya. A’id Al-Qarni, penulis buku “La Tahzan”
berkata, Engkau berbuat durhaka kepada Allah, padahal engkau mengaku cinta
pada-Nya. Sungguh aneh keadaan seperti ini, andai kecintaan itu tulus, tentu
engkau akan taat pada-Nya, karena sesungguhnya orang yang mencintai itu tentu
selalu taat kepada orang yang ia cintai.
Cinta karena Allah
Hierarki
cinta selanjutnya adalah mencintai manusia kerena Allah, artinya seorang muslim
atau muslimah menyukai, menyayangi, dan saling mencintai karena benar-benar
ikhlas tanpa pamrih. Tanpa melihat status sudaranya, bukan karena ia pejabat,
kaya, dan memiliki pengaruh, cinta dan persaudaraannya benar-benar tulus dan
ikhlas.
Soerang
pujangga Arab berkata. In zada mali fakullunnas hullani. Wan in qalla mali
fala hillun yusahibni. Ketika hataku melimpah, maka setiap manusia menjadi
kawanku. Namun, ketika hartaku habis, tak seorang pun sudi berkawan!
Kawan
yang digambarkan dalam syair di ataslah paling dominan dewasa ini, sangat susah
menemukan kawan yang benar-benar tulus, mereka hanya mendekat ketika ada
interest. Karena itu mereka yang saling mencintai tulus karena Allah akan
mendapat balasan di hari kemudian. Abu Hurairah, salah seorang sahabat Nabi
yang paling produktif dalam meriwayatkan hadis bertutur, Sesungguhnya pada hari
kiamat, di sekeliling arasy terdapat beberapa mimbar yang terbuat dari cahaya,
di atas mimbar itu terdapat sekelompok manusia yang pakaian mereka terbuat dari
cahaya dan wajah mereka bersinar, padahal mereka bukan dari golongan nabi dan
bukan pula para syuhada’, bahkan para nabi dan syuhada’ pun menginginkan
kedudukan seperti mereka. Lalu Abu Hurairah berkata, Wahai Rasulullah, sebutkan
sifat mereka kepada kami. Menanggapi itu, Nabi pun bersabda, Mereka dalah
orang-orang yang saling cinta karena Allah, selalu duduk bersama—membahas
perkara agama—karena Allah, dan saling berkunjung juga karena Allah.
Sebuah
hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Ahmad, dari hadis Ubadah bin al-Shamit, Nabi
bersabda, Sesungguhnya Allah SWT berfirman. Cinta kasih-Ku ditetapkan pada
orang-orang yang saling bersilaturrahim karena-Ku, cinta kasih-Ku juga
ditentukan untuk orang-orang yang saling kasih sayang karena-Ku, cinta kasih-Ku
ditetapkan pada orang-orang yang saling mencurahkan kekuatannya karena-Ku,
cinta kasih-Ku diberikan kepada orang-orang yang saling menolong karena-Ku.
Tidak hanya itu, menurut sabda Nabi lainnya, Sesungguhnya, nanti di hari kiamat
Allah SWT berfirman, Dimana orang-orang yang saling cinta karena keagungan-Ku?
Pada hari ini Aku akan menaunginya dalam naungan-Ku, yang dimana tidak tidak
ada naungan kecuali naungan-Ku. Saat itu, matahari hanya sejengkal dari kepala,
dan ada golongan manusia yang tenggelam dalam genangan air keringatnya sendiri.
Berutunglah mereka yang saling mencintai karena dorongan Agama, ikhlas, tanpa
pamrih, dan benar-benar hanya mengharap ridha Allah SWT.
Valentine’s
day
Atau
hari valentine sebagai simbol hari kasih sayang yang selalu diperingati pada
tanggal 14 Februari tiap tahunnya. Hari dimana pasangan kekasih tanpa ikatan
pernikahan menyatakan dan mengepresikan cinta mereka. Pendek kata, ini adalah
hari raya cinta.
Sejatinya,
cinta tidak mengenal ruang dan waktu, ia selalu hadir kapan dan dimanapun.
Cinta kepada Allah, atau pun sesama makhluk, termasuk manusia harus selalu ada
dengan cara dan ekspresi yang berbeda. Cinta kepada Allah dengan terus menerus
menghamba pada-Nya, mencintai Nabi dengan mememlihara dan membela ajarannya—dari
para ahli bid’ah baik akidah seperti Syiah Rafidhah, maupun bid’ah ibadah
seperti sufi ghuluw—mencintai sesama dengan tulus dan ikhlas, terutama pada
pasagan suami istri, ayah, ibu, anak, saudara, kerabat, sesama muslim—dengan
loyal terhapa mereka—bahkan segenap umat manusia, atas dasar kemanusiaan.
Tidak
ada perintah atau contoh dalam Islam untuk mengeprsikan bahkan merayakan cinta
hanya pada hari ini, apalagi dengan cara dan orang yang salah. Merayakan cinta
kepada lawan jenis yang tidak terikat dengan pernikahan adalah sebuah kesalahan
dan jelas itu dosa. Inilah hierarki cinta yang paling hina, dan cinta jenis ini,
hanya cinta sesaat yang penuh dengan nafsu sesat. Valentine’s day tak
lebih dari ekspersi cinta sesaat yang sesat. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir, Pengurus MIUMI Sulsel, Panitia Kongres ke-5 KPPSI, dan
Munas ke-12 BKPRMI
Comments