Reaktualisasi KPPSI

Pangngaderreng
(Bugis) adalah sistem pranata sosial yang berisi kitab undang-undang dasar
tertinggi orang Bugis-Makassar. Sistem pranata sosial ini sudah lama mengakar
dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat jauh sebelum Islam datang. Pangngaderreng
memiliki empat sendi yaitu: Ade’ (adat-istiadat),
Rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), Wari’ (Sistem
protokoler kerajaan), dan Bicara (Sistem hukum). Dan setelah Islam resmi
diterima sebagai agama kerajaan, maka bertambah satu sendi lagi yakni
Sara’ alias syariat Islam.
Dari segi
aplikasinya, empat dari yang pertama, dipegang oleh Pampawa Ade’ (Pelaksana
Adat) yaitu Raja dan Pembantu-pembatunya, sedangkan yang kelima dipegang oleh
Parewa Sara’ (perangkat Syariat) dipimpin oleh ulama, mulai dari panrita, imam,
hakim (qodhi), dan para pembantunya. Kedua Lembaga ini memiliki fungsi dan
tugas sesuai bidangnya masing-masing dan memiliki kekuasaan otonomi tersendiri.
Pemimpin tertinggi Pampawa Ade’ adalah Raja yang khusus menangani pemerintahan,
sedangkan pemimpin tertinggi Parewa sara’ adalah ulama yang menangani hal-hal
yang berhubungan dengan syariat Islam.
Masuknya
sara’ dalam Pangngaderreng sekaligus melegitimasi kedudukan ulama sebagai
bagian dari istana yang tidak hanya menjadi simbol dan pabbaca doang (pembaca
doa) pada acara-acara seremonial belaka sebagaimana yang lazim saat ini. Akan
tetapi, saat itu para parewa syara’ yang notabenenya adalah para ulama,
terjun langsung manjadi bagian dari penegak hukum yang memiliki otoritas penuh.
Adanya dikotomi tugas antara raja dan
parewa syara, berimplikasi pada sistem pengaturan sosial selanjutnya, tetapi
tidak berarti terjadi sekularisasi antara urusan kerajaan dan keagamaan—tidak
ada pemisahan negara dengan agama—sebab dalam praktiknya keduanya saling
mengisi atau beriringan, namun adat tetap tunduk kepada syariat Islam. Sehingga
yang terjadi adalah syariat tetap bertoleransi kepada adat sepanjang tidak
bertentangan dengan pelaksanaan Islam, karena itulah wibawa dan kepatuhan
rakyat kepada Islam dan adat sama kuatnya.
Di Kerajaan
Wajo misalnya setelah Arung Matowa (Raja) Wajo ke-XII yang bernama La Sangkuru’
Mulajaji memeluk Islam tahun 1610, maka raja Gowa mengirim ulama Minangkabau
Sulaiman Khatib Sulung yang sudah kembali dari Luwu’. Khatib Sulung mengajarkan
tentang keimanan kepada Allah dan segala larangan-larangannya, seperti: (a) dilarang
mappinang rakka’ (memberi sesajen kepada apa saja); (b) dilarang mammanu-manu’ (bertenung
tentang alamat baik-buruk melakukan suatu pekerjaan [thathayyur]); (c) dilarang
mappolo-bea (bertenung melihat nasib); (d) dilarang boto’
(berjudi); (e) dilarang makan riba (bunga piutang); (f) dilarang mappangaddi
(berzina); (g) dilarang minum pakkunesse’ (minuman keras); (h) dilarang
makan cammugu-mugu (babi); (i) dilarang mappakkere’ (mempercayai
benda keramat).
Reaktualisasi
KPPSI
Berdiri pada
tangga 21 Oktober tahun 2000 M di Asrama Haji Sudiang Makassar dengan nama
Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) sebelum akhirnya berubah pada kongres
umat Islam ke-4 tahun 2010 di Pangkep
dengan Komite Perjuangan Penegakan
Syariat Islam.
KPPSI
memiliki misi, terwujudnya penegakan syariat Islam di Sulawesi Selatan, dan
misi agar terlaksananya penegakan syariat Islam secara legal formal melalui
perjuangan poltik konstitusional, demokratis dan tetap dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, guna
memperoleh otonomi khusus, sehingga syariat Islam menjadi sumber rujukan dalam
kehidupan pribadi, mayarakat, berbangsa dan bernegara, ada pun dasar dan manhaj
perjuangan KPPSI adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, menurut pemahaman
salafush-shaleh.
Beberapa hari
ke depan, tepatnya 14 Rabiul Akhir 1435 H/14 Februari 2014 M. Kongres KPPSI
ke-5 akan kembali dihelat di Asrama Haji Sudiang dengan mengusung tema
“Reaktualisasi KPPSI untuk Menata Masyarakat Madani dalam Bingkai NKRI”,
menelaah tema kali ini, tampak jelas jika paguyuban yang dinakhodai oleh Ir. H.
Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar ini ingin menegaskan bahwa visi dan misi KPPSI
tidak pernah lapuk ditelan waktu, tetapi tetap aktual sepanjang zaman (shalihul
likulli zaman), dan di setiap tempat (wa makan), terutama di Susel
yang mendapat jukukan ‘Serambi Madinah’.
Dalam sebuah
rapat pemantapan kongres yang dihadiri oleh beberapa tokoh dan sesepuh KPPSI
yang datang dari lintas organisasi Islam, salah satunya adalah KH. Drs.
Abdurrahman K. Pengurus FKUB Sulsel ini menegaskan bahwa, KPPSI harus segera
melaksanakan kongres dengan salah satu tujuan utamanya adalah menegaskan kepada
masyarakat Sulsel dan umat Islam jika sampai detik ini, dan ke depan,
perjuangan penegakan syariat tetap aktual dan dibutuhkan oleh umat dan bangsa
demi menuju masa depan yang lebih baik.
Disadari
atau tidak, dalam beberapa tahun belakangan ini, KPPSI memang seakan tenggelam,
dan timbul sesekali, itu pun dalam ranah yang lebih sempit dan politis,
khususnya dalam pemilihan gubernur Sulsel, dan pada sisi lain, program-program
kerjanya sebagi katalisator atau perekat antarsesama organisasi Islam untuk
menegakkan syariat tidak begitu nampak. Bahkan perda-perda syariat yang telah
dikeluarkan oleh beberapa pemerintah daerah tingkat kabupaten juga ikut
tenggelam dan nyaris terkubur. Rendahnya kesadaran umat, plus kurangnya dukungan dari pihak pemerintah menjadi
kendala utama terlaksananya perda syariat tersebut. Akhirnya, perjuangan KPPSI
seakan tidak aktul lagi.
Sangat
penting untuk merefresh atau menyegarkan kembali sel-sel kepengurusan
KPPSI agar kembali segar, lancar, dan penuh semangat, tidak hanya dalam dakwah
kultural yang meliputi pembinaan dan penyadaran umat (amar makruf), tapi harus
didukung dengan pencegahan kemungkaran (nahy mungkar) yang kian hari
tampak sulit dibendung. Sinergitas antara dakwah kultural dan struktural untuk
membangun masyarakat madani adalah sebuah keniscayaan. Masyarakat madani adalah
masyarakat yang hidup di bawah pemerintahan yang menegakkan hukum Allah dengan
baik dan benar, serta selalu mengedepankan unsur-unsur kemaslahatan dan
keadilan, sebagai prinsip dasar hukum Islam.
Pancasila,
UUD-45, Syariat Islam adalah bagian yang tidak terpisahkan, satu dan lainnya
saling memperkuat bukan menegasi. Ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, beradab,
musyawarah, mufakat, dst., adalah bagian dari syariat yang juga tertuang dalam
pancasila dan UUD-45. Demikian pula, kezaliman, semana-mena, korupsi, kolusi,
nepotisme, dst., adalah bagian dari sikap tercela dalam syariat yang tentu saja
sangat dibenci oleh negara dan warga negara yang baik.
Oleh karena
itu, perjuangan penegakan syariat Islam di Sulsel masih tetap dalam koridor
pancasila dan UUD-45, serta ikut memperkokoh keutuhan KNRI. Bukankah dalam
sejarahnya bangsa ini, para pejuangnya, baik pra dan pasca kemerdekaan terdiri
dari para pejuang syariat (agama) dan negara sekaligus.
Jika zaman
dahulu saja, para raja dan ulama mampu bersinergi dalam menyeru pada kebenaran
dan mereduksi kemungkaran dalam bentuk Pangngaderreng, tentu saja saat ini,
dengan dukungan sumberdaya manusia dan infrastruktur yang lebih baik, akan jauh
lebih siap menjalin kerjasama dalam menegakkan hukum Allah dengan berpedoman
pada Al-Quran dan Sunnah plus pancasila dan UUD-45, agar bangsa dan negara ini
terjauh dari lembah kenistaan yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir, MA., Sekretaris Panitia Pelaksana (Organizing
Committee) Kongres ke-5, KPPSI Makassar 2014
Comments