Quo Vadis KPPSI

Dalam
kunjungan audiens Panitia Kongres ke-5 Umat Islam-KPPSI di kediaman K.H.
Djamaluddin Amin, baru-baru ini, dengan tegas menekankan, bahwa ketiga
deklarator KPPSI di atas bukan atas nama pribadi masing-masing, akan tetapi
bertindak sebagai wakil organisasi masyarakat (Ormas) Islam. Gurutta H. Sanusi
Baco dari Nahdatul Ulama (NU), K.H. Djamaluddin Amin wakil Ormas Islam
Muhammadiyah, dan Prof. Abdurrahamn Basalamah dari Forum Ukhuwah Islamiyah
(FUI). Dengan itu, KPPSI yang awalnya disebut sebagai komite persiapan’ lalu
berubah menjadi ‘komite perjuangan’ adalah milik segenap umat Islam Sulsel
secara khusus dan untuk kedamaian penduduk dan masyarakat lintas-keyakinan
secara menyeluruh.
KPPSI adalah
wahana aliansi (tansiq) yang bersifat independen demi tegaknya syariat
Islam secara formal melalui dakwah politik dan politik dakwah diiringai ta’dib
(pendidikan), tashfiyah (pemurnian akidah), dan perjuangan secara
konstitusional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta
ikhlas karena Allah semata, bertujuan untuk mewujudkan legitimasi secara formal
pemberlakukan syariat Islam di Provinsi Sulawesi Selatan sebagai rumah politik
sedang para cendekiawan, pakar, ulama, tokoh umat, pemimpin lembaga-lembaga
Islam mengisi rumah politik tersebut dengan aturan-aturan (qanun) atau manhaj,
hukum jinayah yang berdasarkan Alquran dan Assunnah, sehingga perjuangan itu
berjalan secara simultan dan bersinergi (H.M. Sirajuddin, Syariat Islam dan
Agenda Umat. Cetakan Makassar, 2011).
Ada pun
usaha agar gerakan penegakan syariat terealisasi, maka harus dilakukan dari dua
jalur dakwah by action, yang berbeda namun bersinergi. Kultural dan
struktural. Yang pertama berfungsi sebagai pilar utama dakwah, berupa ta’dib,
atau sebuah proses pendidikan yang menanamkan adab kepada segenap lapisan
masyarakat. Ini pula menjadi bagian dari sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang
adil dan beradab. Perkara utama yang menjadikan umat ini penuh dengan masalah
bak benang-kusut, dalam pandangan Al-Attas adalah hilangnya adab lost of
adab (Al-Attas, Islam and Secularism, 1992).
Jabaran akan
pentingnya adab akan mudah kita ketahui, dalam Islam, dikenal adab-adab
terhadap Allah yang Esa, yang tiada sesembahan selain diri-Nya (la ma’bud
illallah), adab kepada Rasulullah dengan jalan memelihara, melestarikan,
dan memperjuangkan ajarannya, termasuk menjaga kemurnian akidah-syariat Islam
dari golongan dan sempalan yang telah dicap oleh Majelisul Ulama Indonesia
sebagai ajaran yang harus didakwahi (disadarkan), atau diwaspadai, hingga
dihindari, karena sesat dan menyesatkan (dhal wa adhallu).
Adab
terhadap para pemimpin, dengan jalan, memilih pemimpin yang dapat menjadi
pelayan rakyat, bukan dilayani, jujur, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Karena pemimpin adalah wakil Allah di muka bumi (khalifatullah
fil ardh), maka memilih pemimpin juga harus yang beradab, paham akan
kemuliaan Islam, dan tentu saja, harus pro syariat, begitu idealnya, namun
bagaimana pun, karena sistem negara ini adalah demokrasi dengan mengedepankan
suara terbanyak, maka siapa pun yang telah terpilih jadi pemimpin, maka itulah
yang terbaik buat umat, tetap didukung segenap programnya, selama tidak
bertentangan dengan kemaslahatan umat. Daftar akan ragam adab dalam Islam
terlalu banyak, termasuk adab sesama manusia, antargolongan, orang tua,
saudara, suami istri, dst. (Wan Daud, Budaya Ilmu dan Gagasan 1Malaysia,
Membina Negara Maju dan Bahagia, 2012), semua itu akan menjadi pilar
tegaknya syariat Islam, jika umat ini benar-benar paham akan urgensi dan makna
adab sesungguhnya.
Selanjutnya,
penegakan syariat lewat dakwah struktural. Atau dakwah politik yang bertujuan
melegitimasi dan memantapkan dakwah kultural, yang pertama memuliakan dan
menjernihkan (tashfiyah) para politikus dan politik, sedang yang kedua
menguatkan yang pertama. Disadari atau tidak, politik saat ini sudah terlalu
hina dan tidak bermartabat akibat olah oknum-oknumnya yang memanfaatkan politik
untuk tujuan yang menyimpang. Manusia-manusia jenis ini adalah jelmaan iblis
dan setan dalam wujud manusia. Rakus, zalim, lalim, dan tak kenal belas-kasih,
merampok harta negara, merampas milik rakyat, dan menindas kaum papa. Karena
itu jangan salah jika ada yang berkesimpulan, politik itu kotor. Dalam tahap
inilah peran agama dibutuhkan dalam menjernihkan dan mengembalikan makna
politik pada tujuan utamanya, membangun bangsa dan negara yang beradab.
Mati Suri
Diakui atau
tidak, dalam beberapa tahun terkahir ini, KPPSI seakan mati suri, sesekali
muncul lalu tenggelam. Program-program syiariatisasi di berbagai daerah—salah
satunya Bulukumba—juga pasang dan surut, bahkan tidak berkelanjutan. Kurangnya
koordinasi, dan terputusnya komunikasi antarsesama sel yang berada di
daerah-daerah juga menjadi pemicu akan kefakuman lembaga miliki umat yang
diamiri oleh Ir. Abdul Aziz Qahhar Muzakkar ini.
Dan pernah
pula muncul pernyataan bahwa KPPSI lebih politik dari partai politik. Tentu
saja pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar, namun tidak bisa disalahkan,
tidak benar karena KPPSI adalah bukan partai politik dan tidak punya perwakilan
di gedung DPR. Bahwa ikut meramaikan peta politik setiap kali pilkada
Sulsel—khususnya tingkat provinsi—adalah fakta yang tidak bisa ditampik, namu
sekali lagi, itu hanyalah bagian dari ikhtiar untuk mewujudkan pemimpin yang
dinilai pro syariat dari pengururs dan pendukung KPPSI, namun kenyataannya
tidak terpilih, maka itulah dinamika. Sekali lagi, siapa pun yang terpilih
itulah yang terbaik buat umat.
Karena dalam
waktu relatif singkat ini, kembali akan diadakan Kongres Umat Islam ke-5 KPPSI
di Asrama Haji Sudiang, kalau tidak ada aral melintang, yang jadwal awalnya pada tanggal 14-17
Rabiul Akhir 1435 H bertepatan dengan 14-17 Februari 2014, lalu diundur pada pada minggu pertama bulan Maret ini. Maka akan elok jika
para komponen pengurus dan pendukung KPPSI bersinergi membangun dakwah
kultural dan struktural yang didukung oleh masyarakat dan pemerintah, dengan
itu, kemana arah-tujuan (quo vadis) KPPSI akan jelas, terwujudnya penegakan
syariat Islam di Sulawesi Selatan secara konstitusional. Wallahu Alam!
Ilham Kadir, MA. Sekretaris Panitia Pelaksana
(Organizing Committee) Kongres Umat Islam ke-5 KPPSI, Makassar 2014
Comments