Menyingkirkan Konsistensi Penyesatan Ismail Amin (3)

Lafaz gharar
dari segi tata bahasa merupakan isim (kata benda). Gharar dibatasi
dengan sesuatu yang majhul (tidak diketahui), dan tidak termasuk di
dalamnya unsur keraguan dalam pencapaiannya. Definisi ini adalah pendapat murni
mazhab Dhahiri. Ibn Hazm mengatakan bahwa unsur gharar dalam transaksi
bisnis jual beli adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh pembeli apa yang ia
beli dan penjual apa yang ia jual. Kombinasi antar kedua pendapat tersebut di
atas, yaitu gharar meliputi dalam hal yang tidak diketahui pencapaiannya
dan juga atas sesuatu yang majhul. Contoh dari definisi ini adalah yang
dipaparkan oleh Imam Sarkhasi, Gharar adalah sesuatu yang akibatnya
tidak dapat diprediksi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama fikih. Termasuk dalam jenis ini adalah menjual ikan dalam tambak, buah-buahan yang masih di pohon, burung di udara, kacang dalam tanah, ternak dalam janin, dsj., (baca
misalnya, Syauqi Dhoif et. al., ‘Mu’jam
Al-Washith’; Ibnu Taimiyah ‘Majmu’ Fatwa’; Abdurrahman
bin Nashir As-Sa’di ‘Bahjah
Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar’). Lha, apa hubungannya dengan
tulisan? Kita liat!
Sebagaimana uraian di atas, gharar adalah majhul atau tidak jelas,
orang pondok menyebutnya, la yajlas. Dengan muda dapat diaplikasikan dalam dunia tulis menulis,
khususnya karya ilmiah, tak terkecuali karya ilmiah populer yang disebut juga
opini. Bahwa semua tulisan yang tidak jelas makna, cara, dan metode serta
metodologi penulisannya adalah bagian dari tulisan gharar, dan penulis yang
tidak diketahu siapa orangnya juga menjadi gharar, dan lembaga yang tidak jelas
keberadaannya pasti gharar tidak terkecuali lppimakassar.net yang gadungan itu.
Berikut contoh tulisan gharar
karya Ismail non Al-Amin di Harian Tribun Timur, 25 Januari 2013.
“Menurut hemat kami, usaha terbaik Anda adalah membagi-bagikan harta baitul mal
kepada para pemimpin, pembesar dan sanak keluarga. Dengan begitu, niscaya
mereka tidak akan menentang Anda.” Imam Ali As menjawab, “Apakah kalian
berharap orang yang seperti aku ini akan memperkokoh sendi-sendi pemerintahan
dengan kezaliman dan penindasan? Aku menerima kepemimpinan ini justru
kumaksudkan untuk menyapu bersih ketidak adilan!”. Dialog ini dinukil oleh Prof
Muhsin Qiraati dalam salah satu bukunya.”
Yang gharar di sini hanya lima kata yang
saya bagi menjadi dua. Pertama tulisan ‘As’ dan yang kedua ‘dalam salah satu
bukunya’. Kata ‘As’ jika diartikan dengan Alaihissalam maka dengan jelas
dapat diketahui, Imam Ali dalam pandangan Ismail Amin adalah nabi atau rasul yang
diangkat oleh orang Syiah, artinya mereka telah meyakini bahwa setelah
Rasulullah Muhammad SAW wafat, masih ada bahkan banyak nabi yang terus
bermunculan. Tapi bisa pula kata ‘As’ bermakna Amerika Syarikat
(Melayu)-Serikat (Indonesia), atau bahkan kartu perdana telkomsel ‘As’. Entahlah
mana yang benar, namanya saja gharar.
Seorang penulis, baik itu peneliti, intelektual,
ulama, dst., jika melakukan kesalahan dalam penulisan tanpa sengaja, adalah
lumrah adanya, tanpa sengaja dimaksud adalah kekhilafan dan kealpaan, seperti
salah dalam mengutip nama buku, penulis, halaman, perkataan, hingga kesalahan
penulisan dalil seperti ayat atau hadis. Itu bisa diterima karena manusia tidak
ada yang sempurna termasuk para ulama muktabar sekalipun. Bahkan pengalaman
saya dalam mengedit beberapa tulisan guru besar juga tak terlepas dari
kesalahan, begitu pula dalam penerjemahan, juga banyak penerjemah yang
melakukan kesalahan tanpa sengaja. Yang fatal dan aib adalah jika melakukan
kesalahan dengan sengaja seperti Jalaluddin Rakhmat dalam beberapa karyanya,
termasuk "Al-Mushthafa". Ada lagi satu, yaitu kesalahan dalam
metodologi penulisan, kata, “dalam salah satu bukunya” adalah sangat
tercela dalam dunia penelitian dan penulisan.
Ada beberapa cara mengutip pendapat para penulis dalam
bentuk in note : menyebut seluruhnya secara lengkap, penulis, nama buku,
cetakan, nama tempat, penerbit, tahun, dan halaman, (Ilham Kadir, Jejak Dakwah
KH. Lanre Said, Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi. Cetakan I;
Jogjakarta: Aynat Publishing, 2010, halaman 10), atau cukup Penulis dan judul
buku dan tahunnya, (Ilham Kadir, Jejak Dakwah KH. Lanre Said, 2010), atau hanya
penulis dan bukunya (Ilham Kadir, Jejak Dakwah KH. Lanre Said), atau hanya
penulis, tahun dan halamannya saja (Ilham Kadir, 2010: 10) bisa hanya cukup
mangambil nama terakhirnya (Kadir, 2010: 10) atau (Kadir, 2010), dapat juga hanya menyebut kitabnya, jika telah jamak diketahui, seperti 'Shohih Bukhari-Muslim'--kedua kitab tersebut merujuk pada nama penulisnya--dan kitab-kitab muktabar lainnya, seperti Majmu' Fatawa yang merujuk pada Ibnu Taimiyah, dan yang paling terakhir adalah cukup menyebut namanya saja, terutama
jika pendapat yang dikutif itu sudah masyhur, seperti: pendapat Aristoteles
yang mengatakan, saya mencintai guruku, tetapi saya lebih cinta pada kebenaran;
atau perkataan I La Galigo, Sianre bale taue—laksana ikan makan ikan bagi
masyarakat yang tak punya pemerintahan yang baik dan kuat; atau perkataan
Syakib Arsalan, orang Barat maju karena meninggalkan kitab mereka (Bible), dan
orang Islam mundur juga karena meninggalkan kitab mereka (Al-Qur'an); atau
pernyataan Sukarno, Warisilah Islam dengan apinya, jangan dengan debunya; atau
Al-Attas, istilah pendidikan yang paling tepat adalah ta'dib, karena ta'dib
telah mencakup semuanya, baik rohani maupun jasmani, akal maupun jiwa, berbeda
dengan tarbiyah yang lebih mengedepankan aspek fisik, bisa dikaitkan dengan
hewan dan tanaman, atau benda mati lainnya; atau perkataan Ibnu Maskawaih yang
menggunakan istilah tahdzib dalam pendidikan; atau perkataan Porf. Quraish
Shihab, Sunni-Syiah berada pada jalan dan tujuan yang sama hanya beda
kendaraan; hingga pernyataan saya, Sunni-Syiah ibarat minyak-air, keduanya
walau benda cair tapi tidak akan mungkin bersatu, istilah ini pertama kali
muncul ketika saya menulis artikel "Tragedi Sampang dan Polemik
Sunni-Syiah", di harian Fajar Makassar lalu dicopi dan dimuat beberapa
media cetak dan on line oleh grup Jawa Pos, hingga istilah itu dipakai pula
oleh KH. Abdusshomad Buchori, Ketua MUI Jatim, dst.
Jadi, seorang penulis haruslah paham dan punya etika
dalam mengutip pernyataan dan perkataan seseorang, dan tidak boleh mengatakan
'dalam salah satu bukunya', karena pembaca akan bertanya, bukunya yang mana,
penulisan semacam ini masuk dalam teori 'gharar' alias 'la yajlas'.
Semoga itu hanya kealpaan saudara Ismail Amin agar bisa diterima, namun jika
memang ia sengaja, maka patutlah disebut sebagai 'penulis gharar'.
Dalil Palsu
Dalil-dalil dari Hadis yang ditulis oleh Ismail
Amin banyak yang dipertanyakan keabsahannya, dan semestinya tidak layak
dijadikan sandaran. Selain itu, yang bersangkutan juga serampangan dalam
memahami makna sebuah hadis, khususnya dari sisi historitasnya. Di bawah ini,
hanyalah contoh kecil akan kekeliruannya, yang semestinya tidak terjadi jika
dirinya memiliki keilmuan dalam epistemologi hadis, sayangnya tidak.
Keluasan ilmu Imam Ali as tidak diragukan oleh
siapapun, lewat sabdanya Rasul memuji, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah
gerbangnya.” Sabda Nabi ini dibenarkan oleh para sahabat yang menyaksikan
sendiri betapa Ali adalah satu-satunya orang sepeninggal Nabi yang menjadi
rujukan dalam berbagai hal. Tulis Ismail Amin di Harian Tribun Timur, 25
Januari 2013.
Sejatinya, Hadis, “Aku adalah kota ilmu dan Ali
adalah gerbangnya” adalah hadis dhaif. Dijelaskan oleh Ibnul Jauzi bahwa
seluruh jalan periwayatannya adalah palsu dan dusta. Imam Adz-Dzahabi
mengatakan hadis itu palsu (at Talkhis ma’a al-Istidrak, jild.III/137).
Ahli hadis kontemporer, Syeikh Al-Bani mengatakan hadis itu palsu (Dhaif
al-Jami al-Shaghir, Jilid II/13). Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika kota ilmu
itu tidak memiliki banyak gerbang dan hanya memiliki satu gerbang serta ilmu
itu tidak tersalurkan kecuali dari satu orang rusaklah Islam” (Minhaj
as-Sunnah dan Majmu’ Fatawa,Jilid IV/410)
Masih di hari dan harian yang sama, ia juga
mengutif sebuah hadis, “Sesungguhnya posisi Ali di sisiku sebagaimana posisi
Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sesudahku” adalah hadis shahih,
namun tidak menunjukkan bahwa Ali-lah satu-satunya pemegang wasiat,
pemerintahan dan khilafah setelah wafatnya Rasulullah saw.
Kronologi munculnya pujian Rasulullah saw.
kepada Imam ra. adalah ketika beliau menugaskan Imam Ali sebagai orang yang
memimpin Madinah ketika kaum Muslimin bersama Rasulullah SAW pergi ke medan
Tabuk. Tidak tersisa di Madinah kecuali wanita, anak-anak dan yang memiliki
udzur. Imam Ali segera menyusul pasukan yang sudah berjalan. Setelah berhasil
menemui Rasulullah, Imam Ali bertanya, “Apakah Engkau meninggalkan aku bersama
wanita dan anak-anak?”, Nabi saw. menjawab, “Tidak maukah kamu di sisiku
sebagaimana posisi Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sesudahku.” (Shahih
Bukhari, Ghazwah Tabuk, Kitab al-Maghazi).
Kurikulum
Dari nada penulisannya, 'santri yang pernah dihukum
botak di Pesantren karena tindakan indisiplinernya', (lppimakassar.net), menunjukkan
bahwa seorang santri jika dibotak selama
ia mondok adalah sebuah aib, bahkan memalukan. Asumsi ini tidak saja keliru,
tapi lugu dan konyol. Pendidikan dalam bentuk pondok pesantren sangat beda
dengan pendidikan umum di luar. Ketika KH. Imam Zarkasyi rahimahullah,
salah satu dari Trimurti (pendiri) Pondok Modern Darussalam Gontor pernah
ditanya oleh seorang tamu yang berkunjung ke pondoknya, Sang Tamu meminta jenis
kurikulum yang diajarkan di Gontor agar dapat diaplikasikan di sekolahnya. Pak
Kiai yang akrab dengan Gurutta Lanre Said itu menyatakan bahwa seluruh apa yang
ada di pondok, termasuk alat pendidikan, dan kehidupan santri selama 24 jam
adalah bagian dari kurikulum dan, harap jangan disamakan dengan lembaga
pendidikan umum milik pemerintah (baca misalnya, Mahlani, ‘KH. Imam Zarkasyi,Sintesa
Pondok Modern Gontor’. Cetakan Makassar, 2011; Omar Mohammad Al-Taumi
Al-Syaibani, Falsafah Al-Tarbiyah Al-Islamiyah. Bulang Bintang,
Jakarta, 1979).
Mata pelajaran, hanyalah bagian kecil dari kurikulum
pendidikan, di pondok, jangankan jadwal makan, jadwal buang hajat (berak) pun
diatur, santri yang buang hajat bukan pada waktunya akan bermasalah. Seorang
santri hanya mengucapkan kata 'Iya'' bahasa Bugis yang artinya 'Aku'
selama tiga kali dalam seminggu akan dipelontos kepalanya, di pondok, berbahasa
daerah adalah pelanggaran berat, yang mendapatkan sangsi berat, mulai dari
sebatan, penggundulan, hingga pengusiran. Dan semua itu adalah bagian dari
kurikulum yang mendatangkan pendidikan bagi santri itu sendiri, rekan-rekan
sepondok, dan seluruh warga pondok. Tidak pernah ada santri yang tidak
melanggar.
Selama saya mondok di Darul Huffadh Tuju-tuju sudah
tidak terhitung berapakali saya disebat, baik oleh Gurutta Lanre Said, Petta
Cinnong, hingga para asatidz, dan semua itu saya jalani dengan apa
adanya, ada pelanggaran ada hukuman, demikian hukum alam berlaku di pondok.
Akan aneh jika santri seperti saya dari pedalaman Bontocani-Bone yang berusia
13 tahun sampai 21 tahun hidup di pondok namun tidak pernah melanggar. Saya
telah dibotak setidaknya dua kali, kali pertama karena terlambat pulang dari
liburan Ramadhan, dan kali kedua sewaktu mengambil kopi panas untuk panitia
ujian akhir tahun yang saya anggap juga punya hak karena kala itu santri kelas
enam yang jumlahnya hanya tiga orang sudah terjun membantu panitia ujian dalam
hal teknis, seperti mengatur bangku, ruangan, dst., kesalahan saya adalah
mengambil air kopi di tengah jalan sebelum sampai ke kantor, andai saya ambil
di kantor tentu ceritanya lain dan, jika itu dianggap sama Ismail Amin minus
Al-Amin sebagai aib, maka saya anjurkan supaya membaca novel "Negeri Lima
Menara" karya A. Fuadi, alumni Pondok Modern Gontor, di dalamnya terdapat
cerita bagaimana Alif dan rekan-rekannya dibotak saat telah menjadi santri
senior dan merasa telah berjasa di Pondok, begitu pula ketika pertama kali
mondok dan dihukum dengan 'jewer berantai', dan macam-macam hukuman yang
bentuknya sangat kreatif.
Alkisah, suatu ketika, ada
teman-teman kedapatan tertidur di serambi rumah penduduk. Paginya, diadakan
perhimpunan seluruh santri di halaman pondok, mereka yang ketahuan tidur di
luar asrama itu dipanggil satu per satu ke depan, lalu diambilkan meja, mereka
naik di atasnya, dibotak, lalu tiba-tiba disimbah air bekas cucian dan disuruh
mengangkat besi dan semen beton seberat 35 kg. tiap-tiap santri, sambil dijemur selama setengah hari. Apakah
itu aib? Tentu tidak, justru saat-saat itu, jika kami ketemu dengan teman-teman
itu, yang kini, salah satunya menjadi pengelolah taksi bandara Sulthan
Hasanuddin Makassar dan anak mantan Pimpinan Muhammadiah Bone, justru menjadi
pembicaraan yang mengocok perut. Dan, kalau ternyata ada bekas santri yang
masih beranggapan bahwa dibotak, atau bahkan diusir dari pondok adalah aib
seumur hidup, maka santri tersebut tidak hanya jahil kuardat tapi--meminjam
istilah orang betawi--bego'nya kaga' ketulungan. Bahkan banyak santri yang
diusir dari pondok namun setelah di luar justru berhasil berkembang. Tentu saja
yang saya maksud mereka diusir bukan karena perbuatan terlarang dalam agama
seperti pelanggaran dalam assab’ul mubiqaat—kafir, fasik, syirik, membunuh,
durhaka kepada kedua orang tua, dan zina. Emha Ainun Najib dan Prof.
Abdurrahman Basalamah hanyalah dua di antaranya yang karena satu dan lain hal
dikeluarkan dari Pondok Modern Gontor. Tulisan-tulisan tentang kehidupan di
pondok sudah saya tuangkan dalam novel trilogi "Petuah Panrita" yang
kelak bisa diakses secara massal.
Secara subjektif maupun objektif, orang-orang Syiah
semacam Ismail Amin ini sudah snewen dan kehilangan akal untuk
menghadapi saya yang gencar mempreteli kesesatannya sejengkal demi sejengkal,
sehasta demi sehasta, dari A sampai Z, bukan masalah saya pernah dibotak karena
melanggar di Pondok. Sebab, ditinjau dari segi mana pun saya memiliki prestasi
yang sulit bahkan tidak akan pernah disamai oleh para generasi pelanjut. Saya
ambil dari sisi bahasa saja, karena memang salah satu sisi keunggulan Pesantren
Tuju-tuju adalah penguasaan bahasa Arab-Inggris—sebagaimana lazimnya pondok
alumni Gontor—selain hafalan Al-Qur'an. Tahun ajaran 1992/93, saya dan beberapa
teman-teman pilihan lainnya sebagai peserta pertama dalam sejarah pondok
sebagai santri yang ikut perlombaan 'musabaqatul fawazir' alias lomba
cerdas cermat berbahasa Arab diikuti beberapa pekan selanjutnya dalam lomba khitabah
al-mimbariyah, atau lomba pidato dalam bahasa Arab, saya termasuk sebagai
salah satu pemenang, dan ketika duduk di kelas V Kulliatul Muallimin al-Islamiyah
(KMI) saya menjabat sebagai Ketua Bagian Penggerak Bahasa dan Penerangan qism
tahriku al-llighah wal I'lan dalam Organisasi Santri Pondok Pesantren Darul
Huffadh.
Bagian ini yang mengontrol bahasa segenap santri, dan
saya pula yang pertama-tama tampil kedepan seleuruh santri dan guru-guru serta
jamaah untuk membacakan 'I'lan' dalam bahasa Arab dan Inggris, dan puncaknya,
ketika lulus sebagai alumni, tidak ada guru dari Gontor yang mampu mengajar—karena
mayoritas sudah pulang atau lanjut kuliah—mata pelajaran Al-Balaghoh Al-Wadhihah
karena buku yang diajarkan semasa di KMI Gontor berbeda dengan Tuju-tuju, oleh itulah
seluruh guru sepakat menunjuk saya sebagai pengganti--kini mata pelajaran itu
tetap ada tetapi buku yang berbeda, bahkan saat itu, saya turut ditunjuk jadi wali kelas V karena
pertimbangan bahasa Arab dan Inggris yang saya miliki dipandang bagus. Ini
sekaligus menjawab pernyataan Ismail Amin yang pernah meragukan kemampuan
bahasa Arab saya, dan menantang dirinya untuk melakukan debat terbuka dengan
menggunakan bahasa Arab, walaupun dirinya produk Iran sementara saya hanya
produk nusantara, dan hanya pernah menjadi jurnalis dan interpreter
Arab-Inggris, atau pernah menjadi penerjemah dan editor di Penerbit Darul-Haq
Jakarta serta hanya pernah menang lomba menerjemahkan artikel bahasa Arab yang
diadakan oleh Ma'had Al-Birr-Unismuh Makassar.
Akidah
Akhlak
Tahun lalu (2013), saya dengan Ismail Amin dalam
sebuah diskusi ringan di wall facebook—jika yang bersangkutan ingkar,
saya siap bermubahalah alias sumpah pocong—kala itu ia mengatakan, “tidak ada hubungan antara akhlak
dan akidah”. Pernyataan ini disampaikan dalam keadaan siuman, tidak gila dan
tidak pula pingsan, dan yang bersangkutan belum pikun. Pendapat ini, tidak
hanya keliru, tetapi jahil murakkab, sesat, dan menyesatkan. Ketika penulis
duduk di kelas 2 Sekolah Dasar (SD) 288 Watangcani, saya masih ingat keterangan
guru agama kala itu, bahwa Islam itu datang dengan membawa tiga ajaran pokok,
akidah, syariah, dan akhlak. Terkait akhlak, guru agama yang beranama Hj. Siti
Zaurah itu, menyampaikan sebuah hadis, innama
bu'iitstu liutammima makarimal akhlak, sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak mulia. Dalam perjalanannya, selama belajar, baik di
pesantren maupun di bangku kuliah, dalam maupun luar negeri, juga mendapati hal yang sama dengan penjabaran
yang lebih luas, akhlak misalnya, bagi sebagian ulama maupun ilmuan memasukkan tasawuf
ke dalamnya, artinya ajaran tasawuf yang mengedepankan tazkiyatun-nafs
adalah bagian dari akhlak karena terdapat banyak ajaran-ajaran yang berkaitan
dengan akhlak mulia, seperti ikhlas beramal, mengedepankan kepentingan orang
banyak, sederhana dalam berbagai hal, budaya zuhud dan nihil tamak, murah hati,
cinta berjuang dalam menegakkan kalimat tauhid, dst., semua itu adalah sifat
terpuji, mahmudah dalam ajaran Islam, sebagaimana kita diwajibkan
meninggalkan hal-hal yang tercela, seperti berdusta, khianat, zalim, jahil,
dst. Begitu pula akidah dan syariat, kendati kadang istilahnya berbeda namun
tetap pada subtansi utamanya. Keterikatan antara akidah dan akhlak dalam
kurikulum pendidikan agama Islam, tercermin dalam buku ajar “Akidah Akhlak”
yang diajarkan pada tingkat dasar, menengah pertama dan atas di lembaga
pendidikan negeri maupun swasta.
Akidah misalnya, terdapat penjabaran di dalamnya
tentang makna syahadatain, rukun-rukun Islam lainnya serta rukun-rukun Iman,
yang sama sekali tidak bisa dilepaskan dengan akhlak. Seorang yang beriman
adalah yang memuliakan tamu atau tetangga, di dalamnya telah mencakup ajaran
akidah dan akhlak. Iman adalah akidah dan memuliakan tamu dan tetangga adalah
akhlak. Bahkan Syed Husain Nasr intelektual Syiah moderat, menegaskan bahwa roh
islamisasi itu terletak pada tasawuf yang terkait dengan akhlak (Ensiklopedi
Islam, Suplemen II, 2003), bahkan Vali Nasr, anak dari Hosein Nasr dalam “The
Shia Revival: How Conflicts Within Islam Will Shape the Future, 2006”
menegaskan jika seandainya ingin mencari titik temu antara Sunni dan Syiah
masuklah dalam ranah tasawuf, karena baik Syiah maupun Sunni yang sama-sama
bertasawuf akan menemukan titik temu. Pendapat ini bisa diterima, karena akhlak
memang hanya terbagi dua mazmumah dan mahmudah, terpuji dan
tercela, kalau sama-sama terpuji maka disitulah titik temunya. Ada pun syariah
dan akidah, maka pembahasannya akan mengarah pada sesat-selamat, halal-haram.
Bagi sunni alias Ahlussunnah, Syiah jelas sesat dan menyesatkan jika ditinjau
dari segi akidah, Syariat juga demikian, halalnya mut'ah bagi golongan Syiah
lalu dipandang sebagai zina bagi Ahlussunnah adalah dua kutub yang
bertentangan.
Baru-baru ini, saya ditugaskan oleh Ketua Komisi
Komunikasi dan Informasi MUI Sulsel untuk meliput acara seminar nasional yang
diadakan oleh MUI Sulsel bekerjasama dengan UMI Makassar dengan tema
Revitalisasi Peran Ulama dan Zuama dalam Pemberdayaan Umat dan Tudang Sipulung
akhir tahun 2013 dirangkaikan dengan Pengukuhan Lulusan Pendidikan Kader Ulama
(PKU) angkatan XVI tahun 2013, tanggal 26 Desember. Dalam acara seminar di
atas, salah satu narasumber adalah Prof. Dr. Umar Shihab yang tema
pembahasannya 'Penguatan Akhlak Sebagai Pilar Pembangunan Umat', kakak kandung
Prof. Quraish Shihab itu menegaskan, berbicara masalah akhlak maka harus
berhubungan dengan Islam, karena Islam tidak bisa dipisahkan dengan akhlak,
selain akidah dan syariat, (baca, Peran Ulama dan Zuama dalam Pemberdayaan
Umat), sengaja saya kutif perkataan Prof Umar Shihab, karena pendapatnya kerap
menjadi dalil bagi pengikut Syiah Indonesia.
Maka, patutlah saya bertanya, apa sebenarnya yang
dipelajari saudara Ismail Amin yang sudah bertahun-tahun di negara para
Ayatollah itu, padahal konon dirinya belajar di Mostafa International
University Iran, tetapi sayangnya pengetahuan keislamannya lebih rendah dari
anak kelas 2 SD. Ataukah ia hanya kuliah di Universitas La Pangkong
(fiktif?). Wallahu A'lam! Enrekang 03 Januari 2014.
Ilham Kadir,
B.A., M.A., Wartawan, Editor, Peneliti,
Novelis, dan Aktivis
Comments