Menjungkirkan Konsistensi Penyesatan Ismail Amin (2)
Kemampuan brillian yang
dimilikinya dalam hal nukil-menukil tulisan orang-orang yang dipujanya,
sayangnya tidak mampu membantunya untuk menentukan sikap sendiri. Tulis Ismail
Amin dalam lppimakassar.net.
Pernyataan mantan
mahasiswa UNM yang tidak pernah selesai-selesai kuliahnya itu, memiliki dua
keluguan. Pertama, terkait nukil-menukil. Mengamati alur bahasanya,
menunjukkan bahwa saya ini hanya mampu menukil dan tak bisa menelaah isi nukilan.
Nampaknya, Ismail Amin benar-benar jahil terkait pengetahuan tentang metode dan
prosedur penulisan sebuah karya ilmiah. Menukil pendapat orang lain bukanlah
sebuah kesalahan, apalagi jika pendapat yang dinukil itu untuk menguatkan
argumen sang penulis.
Saya misalnya, menukil
pendapat Prof. Rasjidi sebagai salah satu ilmuan yang berhak dinukil
pendapatnya akan kesesatan Syiah, beliau kompeten di bidang itu, karena ia
seorang ulama alumni perdana Al-Azhar asal Indonesia sekaligus sebagai peletak
dasar Kementrian Agama RI bagitu pula pendapat Prof. Mohammad Baharun yang
ditunjuk oleh MUI Pusat sebagai pakar Syiah dan juru bicara yang memiliki
otoritas terkait masalah Syiah bukan lainnya, apalagi trio shihab yang sering
mengeluarkan pernyataan menyesatkan bahwa Sunni-Syiah tidak berbeda. Bukankah, para
pengikut sekte Syiah juga kerap menyebut-nyebut nama-nama ulama tertentu baik
nasional maupun lokal untuk memperkuat argumen mereka, bahkan rada-rada latah,
yang disebut pun itu-itu saja. Jika saya dianggap kurang rasional karena
menukil pendapat orang lain untuk memperkuat argumen saya, maka para pemujia imam,
lagi latah itu tidak saja irrasional, tapi tidak punya otak alias la ya'qil
untuk digunakan dalam berfikir.
Semestinya yang
dipertanyakan masalah metodologi atau prosedur penulisan dan penelitian, apakah
memenuhi standar atau tidak, sebab sebuah penelitian yang terpenting adalah
jujur dalam mengutif, Asy-Syarastani misalnya, mengatakan Syiah sesat, lalu
saya katakan bahwa ia berkata Syiah tidak sesat, itu yang melanggar kerja-kerja
ilmiah dan dipandang sebagai aib, sebagaimana kerjaan orang-orang Syiah,
termasuk Jalaluddin Rakhmat dan para makmumnya di lppimakassar.net.
Keluguan selanjutnya,
pernyataannya bahwa saya tidak mampu menentukan sikap sendiri. Sikap bagaimana?
Apakah perbedaan pendapat antara Prof. Rasjidi dan Prof. Baharun? Toh, kalau
memang demikian, sama sekali tidak mengurangi akan kedudukan Syiah sebagai
aliran sesat. Pendapat saya jelas, dari dulu hingga kini, dari ayunan hingga
liang lahad, Syiah tetaplah sekte sesat dan menyesatkan, dhal wa adhallu.
Bahkan sampai langit runtuh, air laut kering, gunung-gunung bertaburan laksana
kapas, hingga mayat-mayat di kuburan bangkit menyerang, saya tetap berkeyakinan jika para penganut
Syiah Imamiah termasuk yang dianut dan didakwahkan Ismail Amin non Al-Amin itu
sesat dan menyesatkan.
Abdullah bin Saba’
Keberadaan Abdullah bin
Saba' dalam panggung sejarah masih debateble sampai saat ini, baik dari
Sunni maupun Syiah, tulis Ismail Amin. Diperdebatkan berarti ada yang pro dan
ada yang kontra, pihak kontra akan keberadaan Abdullah bin Saba' salah satunya
dari ulama Sunni, sebagaimana dikutif Ismail adalah Ibnu Hajar Al-Atsqalani yang
menilai riwayatnya tidak bernilai. Dan andai saja—lanjut mantan jamaah Wahdah
Islamiyah yang murtad ini—riwayat tentang Ibnu Saba' itu terang benderang
laksana sinar matahari di siang hari, meminjam istilah Ihsan Ilahi Dhahir, maka
kenapa tidak satu pun riwayat mengenainya dari kedua kitab shahih,
Bukhari-Muslim? Mengapa harus mengai-ngais keberadaan Abdullah bin Saba' dari
riwayat-riwayat dhaif dari kitab-kitab sirah yang derajat kepercayaannya
rendah di bawah Shahihain? Tanya Ismail Amin.
Membaca tulisan di atas
jika dicerna dengan baik, saling kontra dan menegasi, karena ia sendiri
mengawali tulisannya dengan menegaskan bahwa keberadaan Abdullah bin Saba'
adalah debateble alias diperdebatkan, konyolnya, di sisi lain, ia
menegaskan bahwa keberadaan Abdullah bin Saba' tidak bisa diterima karena ulama
hadis sekaliber Ibnu Hajar menyangsikan, plus tidak pernah disinggung
keberadaannya oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab hadis shahihnya masing-masing.
Namun, benarkah jika
demikian adanya Abdullah bin Saba' benar-benar tidak pernah ada? Saya tidak
usah mengutif pendapat sana sini, dari Sunni dan Syiah tentang keberadaan Abdullah
bin Saba' karena toh sudah saya tulis keberadaannya dalam "Syiah dalam
Kitab Al-Milal wa An-Nihal" dan "Syiah itu Yahudi".
Saya hanya mengembalikan pernyataan Ismail Amin bahwa, sekali lagi, Abdullah
bin Saba' diperdebatkan. Dan dengan tegas saya berada pada pihak yang
mengatakan bahwa Abdullah bin Saba' bukan tokoh fiktif dan benar-benar ada,
saya percaya pada As-Syarastani yang juga menegaskan akan keberadaannya. Dan,
kalau ukuran nyata keberadaan Abdullah bin Saba' dikukur dengan ada tidaknya dalam
kitab hadis Bukhari-Muslim, maka dengan mudah dijawab: tidak semua perkara,
termasuk sejarah yang tidak tertulis dalam hadis Bukhari-Muslim benar-benar
kehadirannya tidak pernah ada di alam nyata. Bolehlah saya berkelakar,
Bukhari-Muslim itu tidak hanya mengurusi Abdullah bin Saba', banyak perkara
yang lebih mulia dan urgen untuk ditulis.
Ismail Amin, calon
Ayatollah itu, mestinya berkata, “Saya sangat menyangsikan kewujudan Abdullah
bin Saba’, setelah saya kaji bertahun-tahun saya berkesimpulan, ia benar-benar
tokoh fiktif yang tidak pernah ada, ulama yang menulisnya adalah tidak kompeten
di bidangnya, dan keilmuannya jauh di bawah saya. Imam Ath-Thabari, Ibnu
Katsir, Ibnu Atsir, Ibnu Khaldum, Al-Isfiraini, Al-Bagdhadi, Asy-Syarastani,
hingga Ihsan Ilahi Dhahir adalah para ulama tidak dapat dipercaya dibandingkan
dengan saya yang sebentar lagi menjadi Ayatollah, dan akan kembali ke Indonesia
menyesatkan umat, saya pintar karena saya minum tolak angin. Orang pintar
seperti saya selalu minum jamu tolak angin. Mari menolak Abdullah bin Saba’!”
Melecehkan
Ilham Qadir misalnya,
bukan saja meliburkan rasionalitasnya namun juga mengabaikan sisi
kemanusiaannya dengan melakukan pelecehan berulang-ulang terhadap siapa pun
yang berbeda pandangan dengannya. Ilham Qadir senantiasa menyebut mereka yang
masih menyebut Syiah sebagai mazhab dalam Islam dan pengikunya adalah muslim
juga sebagai orang-orang tolol, jahil mirakkab, sufaha, dan ulama su' (jahat),
tulis Ismail Amin.

Kecuali itu, saya
dituduh 'mengabaikan sisi kemanusiaan' dan melakukan pelecehan terhadap siapa
pun yang berbeda pandangan dengan saya'. Setau saya, selama ini, hanya
mengatakan bahwa siapa pun yang tidak menyatakan Syiah (Rafidhah) sesat dan
menyesatkan, saya anggap sebagai jahil murakkab, supaha, hingga ulama su'.
Namun saya tidak pernah menyebut, nama ini dan itu, ulama sini atau sufaha
sana, grand-ayatollah atau grand-master guru besar atau guru kecil, anre-guru
atau anre-nanre, mufassir atawa muhaddits, mudarris atau mu'allim. Jika
ternyata ada nama-nama tokoh tertentu yang dihubung-hubungkan dengan tulisan
saya, maka itulah kerja-kerja kreatif Ismail Amin dan lppi gadungan, dan saya
tidak tau-menau dan memang tidak mau tau masalah nama itu, serta berlepas diri
dari makar mereka.
Adalah tindakan
hina-dina jika harus menjual nama tokoh-tokoh tertentu demi melegitimasi dan
menjustifikasi kesesatannya. Lalu mengemis-ngemis di depan mereka sambil
membenturkan antara saya dengan lainnya. Ini adalah namimah atawa
adu-domba yang mencukur dan memotong sendi-sendi agama. Amalan ini kesukaan
iblis dan ikhwanus-syayathin, konco-konco setan. Hingga saat ini, saya
masih akrab dan sering bergaul dengan tokoh-tokoh yang kerap dicatut namanya
berulang-ulang oleh lppi gadungan, dan, masih dijadikan oleh Komisi Informasi
dan Komunikasi MUI Sulsel sebagai wartawan dan kontributor tetap di Majalah
Panji Umat serta media on line-nya MUI, juga masih sering dipakai oleh
ICMI Orwil Sulsel, dan telah masuk dalam jajaran kepengurusan Forum Ukhuwah
Islamiyah (FUI), BKPRMI dan KPPSI. Saya pribadi tidak pernah ada masalah dengan
tokoh siapa pun, bahkan suatu ketika saya bincang-bincang dengan Prof. Hamdan
Juhannis, dan dengan tegas saya menyatakan akan kesesatan Syiah berdasarkan
fatwa MUI Jatim, beliau menghargai saya, dan jika ada yang menyelisihi maka
lawanlah dengan tulisan.
Jika
saya dianggap meliburkan rasionalitas dan melakukan pelecehan terhadap ualam
su’ pro Syiah, maka eloklah jika dibandingkan dengan tulisan Ismail Amin di
harian Tribun Timur, Jumat 24 Oktober 2008, dengan tajuk “Kembali
Kepada Al-Qur’an dan Ahlul Bait”, ia menulis, “Saya sulit menerima jika dikatakan tanggung
jawab penjelasan syariat pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat, sementara
untuk contoh sederhana, sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara
Rasulullah melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan
wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka… Ataupun tanggung jawab
penafsiran Al Quran jatuh kepada keempat imam mazhab yang untuk sekedar
menafsirkan apa yang dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit
menemukan kesepakatan... Karenanya hikmah Ilahi meniscayakan adanya orang-orang
yang memiliki kriteria seperti yang dimiliki Nabi Muhammad saw… juga berpotensi
mendapat ilmu langsung dari Allah swt, ataupun melalui perantara sebagaimana
ilham yang diterima Siti Maryam dan ibu nabi Musa as [Lihat Qs. Ali Imran :42,
Thaha: 38]. Mereka menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad
SAW sehingga ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik
ajaran Islam… Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan
hadis Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan
Ahlul Baitku. [HR Muslim]. Bahwa keduanya Al-Quran dan Ahlul Bait adalah dua
hal yang tak terpisahkan hingga hari kimat, memisahkan satu sama lain akibatnya
adalah kesesatan dan diluar dari koridor ajaran Islam itu sendiri.”
Mencermati
petikan tulisan Ismail di atas, saya yang pernah belajar epistemologi fikih,
atau ilmu ushulul-fiqh, yang disebut dengan metode mafhumul-muafaqah—sebuah
metodologi untuk memahami makna utama sebuah teks—dengan mudah menarik sebuah
kesimpulan, karena para sahabat dan imam mazhab tidak dipercaya menjelaskan ajaran
Al-Qur’an pasca Rasul wafat, maka satu-satunya yang dipercaya adalah para Ahlul
Bait yang ajarannya tidak mengandung perselisihan dan percekcokan, dan jika
tidak merujuk ke Ahlul Bait yang jumlahnya hanya segelintir orang itu, maka
sesat dan menyesatkan. Lebih jelasnya Ahlussunnah yang lebih banyak merujuk ke
non Ahlul Bait adalah sesat, lebih khusus lagi umat Islam di Indonesia yang
Ahlussunnah adalah tidak hanya sesat-menyesatkan tetapi Islam yang dianut dan
dipraktikkan adalah agama palsu, Syiah-lah yang layak disebut Islam hakiki
karena merujuk ke para Ahlul Bait, terutama para imam yang 12 itu.
Saya akan
jungkirkan kesesatan penulis dan tulisannya dengan mengutif pendapat Gurutta
Sanusi Baco’ yang saya wawancarai beberapa waktu lalu sebagai bahan
autobiografinya, kebetulan saya ditugaskan oleh MUI Sulsel untuk ‘menggali
pemikiran keagamannya’. Nah, salah satu poin pembahasan adalah menyikapi
perbedaan, apa saja yang bisa berbeda dan apa yang tidak. Karena Ismail Amin menyinggung
hanya pada perbedaan pandangan para sahabat dan ulama mazhab pada tataran
syariat, maka fokus tanggapan juga pada ranah tersebut. Terkait tentang tauhid ‘uluhiyyah,
rububiyah, dan asma’ was-shifat atau al-ushul ats-tsalatsah,
yang meliputi: ma’rifatullah, ma’rifaturrasul, dan ma’rifah
dinil islam memiliki ruang dan pembahasan khusus.
Pandangan
Ismail Amin, bahwa ‘sahabat Nabi sendiri berbeda pendapat bagaimana cara
Rasulullah melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan
wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka’ menunjukkan kejahilannya
dalam memahami perbedaan yang diperbolehkan. Firman Allah, “Idza
kuntum ila as-shalati fa-agsilu wujuhakum wa aediyakum ila al-marafiq wa-amsakhu
biru’usikum wa arjulakum ila al-ka’bain. Apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki,” (QS. Al-Ma’idah [5]: 6).
Kata “Wa amskhu
biru’usikum..., [basuhlah atau sapulah kepalamu...], dalam pandangan Gurutta Sanusi Baco, para
ulama tidak boleh berbeda pendapat tentang kewajiban membasuh kepala ketika
berwudhu, dan semuanya telah sepakat akan itu dan tidak satupun ulama
mengatakan kalau membasuh kepala hukumnya sunnah. Namun boleh berbeda pendapat tentang kadar
yang disapu pada bagian kepala ketika berwudhu, bisa semunya, dan bisa pula
hanya sebahagiannya. “Jidat, ubun-ubun, telinga, adalah bagian dari kepala”,
tagas Gurutta.
Masih mengutif pandangan Ketua MUI Sulsel itu, menurutnya, dalam
ilmu syariah, perbedaan pendapat terjadi karena beberapa sebab, dalam ayat
Al-Qura’an memang terbagi dua, ada yang qath’i ad-dilalah, dan ada yang zhanni
ad-dilalah. Yang pertama adalah semua ayat yang ada dalam Al-Qur’an hanya
mengandung satu makna, dalam hal ini ulama tidak boleh beda pendapat, tapi
harus semuanya sama. Semua ayat yang berbicara tentang warisan misalnya, tidak
boleh ada perbedaan pendapat karena ayat-ayat tersebut menggunakan angka-angka.
Contoh firman Allah, Walakum nishfu ma taraka wazwajukum. Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, (QS.
An-Nisa’ [4]: 12). Sesepuh NU itu, menegaskan, ulama tidak boleh beda pendapat
dalam mengartikan kata ‘nishf’ yang beararti ‘setengah’ atau ‘seperdua’
[1/2], dan jika ada orang dikatakan ulama yang mengatakan bahwa ‘nishf’
adalah ‘seper tiga’ atau ‘seper empat’ maka pasti dia bukan ulama tapi orang
jahil [bodoh], termasuk pula yang menyamakan pembagian waris antara laki-laki
dan perempuan, yang telah ditetapkan oleh Allah perbedaanya, bahwa laki-laki
dan perempuan adalah satu banding dua, bukan satu banding satu. Ada pun zhanni
ad-dilalah sebagaimana contoh di atas tentang kadar kepala yang harus
disapu ketika berwudhu.
Terlalu banyak jika saya harus utarakan di sini satu per satu apa
yang dipaparkan ulama yang pernah berguru di Al-Azhar Mesir sama dengan Gus Dur
itu. Maksud utama petikan pendapat Gurutta terkait perbedaan pandangan di
kalangan ulama Ahlussunnah adalah ada rambu-rambunya, bukan sebagaimana tuduhan
Ismail Amin yang melakukan rampatan—kalau tidak paham artinya, cari di kamus. Tentu
saja ini adalah sebuah ketololan yang tidak bisa diterima. Apalagi jika hanya karena
perbedaan sepele masalah sapau-menyapu bagian kepala, lalu mencela sahabat Nabi
yang perjuangannya tidak bisa dibandingkan dengan apa pun, termasuk, jika
Ismail mampu menyulap seluruh gunung dan air laut di Bulukumba menjadi Emas
lalu menginfakkan seluruhnya demi menyaingi perjuangan Abu Bakar, Umar, dan
Utsman—radhiallau ‘anhum—tidak akan pernah sama.
Kesontoloyoan Ismail tidak berhenti di situ, selain menyangsikan
keilmuan dan keshahihan bahkan kemutawatiran pendapat para
sahabat Nabi yang sebagian telah dijamin masuk surga, minal mubasy-syirîn
bil-jannah, ia juga menghina dan melecehkan para ulama mazhab yang katanya,
‘dalam menafsirkan debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan
kesepakatan’. Pernyataan ini jelas hanya layak terungkap dari orang-orang
sufaha dan jahil kuadrat. Dia belum pernah membaca kitab-kita ulama yang penuh
dengan ragam pendapat, semisal Subulussalam, Jami’ Ayatul Ahkam,
daftarnya terlalu panjang. Padahal sha’id selain debu, dapat juga
diartikan ‘kullu ma sha’ada minal ardhi’, apa saja yang terletak atau
tumbuh di atas tanah, dengan catatan suci lagi mensucikan, tanah, debu, kayu,
batu, dst., tapi harus diakui memang, jika persepsi suci dalam terminologi
Ahlussunnah dan Syiah berbeda. Syiah menganggap bahwa kotoran ‘maaf’ berak para
Imam adalah suci-mulia, sementara Ahlussunnah berpendangan bahwa itu adalah
najis.
Pria yang
sampai sekarang belum mampu menghafal Surah Al-Baqarah secara utuh ini, memang
ajaib. Dengan keilmuannya yang tidak jelas begitu, tetapi sudah jumawa menyangsikan
dan tidak percaya kepada para ulama sekaliber Imam Syafi’i yang di bulan puasa
dua kali khatam menghafal Al-Qur’an
dalam 24 jam, belum disebutkan ragam keilmuannya yang lain, termasuk
kemampuannya menciptakan epistemoilogi fikih yang kita sebut sebagai ilmu
ushulul fiqh. Kecuali itu, harus diakui bahwa Ismail Amin sudah mampu juga
bikin ilmu baru. Ilmu mencela sahabat dan para ulama mazhab.
Jika saya
dikatakan meliburkan rasionalitas dan dan mengabaikan sisi kemanusiaan karena
kerap mencela ulama-ulama pendukung sekte Syiah. Lalu bagaimana pula dengan
Ismail Amin yang menyangsikan keilmuan para ulama mazhab dan mendiskreditkan
para sahabat Nabi. Tentu bukan lagi meliburkan rasionalitas, tapi tidak punya
rasio alias otaknya di dengkul, plus bukan lagi mengabaikan sisi kemanusiaan
tapi sudah menjelma menjadi setang makkaju atawa manusia berwujud menjadi
setan. (Bersambung). Enrekang, 03 Januari 2014.
Ilham Kadir, B.A., M.A., Wartawan, Editor, Peneliti,
Novelis, dan Aktivis
Comments