Al-Marbawi dan Kamus Arab-Melayu Pertama
Syeikh
Mohd Idris bin Abdul Rauf Al-Marbawi—selanjutnya disebut Al-Marbawi—lahir pada
10 Mei 1896 bertepatan dengan 20 Zulqa’dah 1313 H di Misfallah, Mekah, Arab
Saudi. Kedua orang tuanya berasal dari Kampung Lubok Merbau, Kuala Kangsar,
Perak Darul Ridzuan, Malaysia.
Ketika
berusia 10 tahun, Al-Marbawi sudah mampu menghafal 16 juz Al-Qur’an. Pada tahun
1323 H, saat berusia sepulun tahun keluarganya kembali ke Malaysia. Maka
Al-Marbawi meneruskan pendidikannya di Sekolah Melayu Lubok Merbau—yang kini
dikenal dengan Sekolah Kebangsaan Syaikh Mohd Idris Al-Marbawi—Lalu ia
melanjutkan studinya di berbagai pondok pesantren, antara lain Pondok Wan
Mohammad, Bukit Chandan, Kuala Kangsar—kini dikenal sebagai Madrasah
Idrisiah—Pondok Syeikh Ahmad Al-Fatani, Bukit Mertajam, dan Pondok Tok Kenali
di Klantan. Setelah lulus ia kemudian diangkat sebagai guru agama di Perak.
Tahun
1924 Al-Marbawi terpilih untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar
Mesir dengan bea siswa. Ia adalah angkatan pertama, dan Mesir baginya teramat
asing. Dari sinilah kemudia timbul ide dalam benaknya untuk menyusun sebuah
kamus lengkap Arab-Melayu. Usahanya lantas didukung oleh lima orang rekannya
yang lain, dua di antaranya, Syeikh Juned Toha dan Syeikh Tahir Jalaluddin.
Namun keinginannya tersebut justru tuntas dengan menulis sendiri karena
rekan-rekannya justru kembali ke Malaysia lebih dulu.
Bukan
Sekadar Kamus
Teringat
ketika saya masih mondok di Majelisul Qurra’ wal Huffadz Tuju-tuju. Saat itu,
tidak semua santri memiliki kamus, di samping susah untuk mendapatkannya, juga
terbentur oleh biaya, maklumlah hidup di pondok memeng serba sederhana. Oleh
karena itu harus pintar-pintar mengoptimalkan kitab-kitab yang ada di sekitar
pondok tak terkecuali milik guru besar kami, KH. Lanre Said. Saat itu, kami
satu kelas yang hanya berjumlah tiga orang sedang butuh kamus, dan beliu
langsung meminjamkan. Rupanya, kamus yang dipinjamkan ke kami ada dua,
Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam, Arab ke Arab, karya dua orang pendeta (rahib) Katolik bernama
Fr. Louis Ma’luf al-Yassu’i, dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu’i, serta Kamus Al-Marbawi, Arab-Melayu. Kami pun
memanfaatkan kedua jenis kamus itu.
Belakangan,
ketika saya mengajar di Malaysia, Madrasah Arabiah Islamiyah An-Nur, Benut
Johor Malaysia, saya dapati bahwa ternyata Kamus Al-Marbawi yang dulu pernah
kami pakai di pondok, menjadi salah satu kamus wajib bagi para pelajar. Usut
punya usut, ternyata Kamus Al-Marbawi adalah kamus Arab-Melayu yang pertama
kali yang kini mulai tersisihkan dengan hadirnya kamus-kamus Arab-Indonesia
yang kian hari kian bertambah kuantitas dan kualitasnya. Saat ini, para santri,
mahasiswa, hingga dosen, dan interpreter labih nyaman menggunakan Kamus
Al-Munawwir karya KH. Warson Munawir, atau Kamus Al-Ashri karya, KH. Atabik Ali
yang dianggap—dan memang—lebih lengkap lagi praktis karena menggunakan aksara
Latin, bahkan kamus online dari Syekh Google juga tak kalah mudah
diakses. Penulis sendiri lebih suka menggunakan karya Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, lebih praktis, namun karena penulisannya sudah terlalu lama
sehingga banyak istilah yang belum masuk dalam kamus tersebut, terutama
istilah-istilah kontemporer, dan ini tersedia di google.
Kembali
ke Al-Marbawi. Kamus ini, pada awalnya dicetak dua jilid, dan saat itu
benar-benar sangat membantu para santri dalam mencari kata-kata Arab. Kamus ini
ditulis dengan menggunakan aksara Arab Pegon. Kamus Al-Marbawi bukan sekadar
kamus, bahkan tak tanggun-tanggun, kamus ini memiliki rujukan yang tidak
sedikit, terutama kamus-kamus Arab yang masyhur dan muktabar. Di antara
rujukannya adalah, Ash-Shihhah karya Imam Zainuddin bin Muhammad bin Abu
Bakar Ar-Razi yang wafat tahun 666 H dan Misbahul Munir karya Syaikh
Ahmad bin Muhammad Al-Muqri Al-Fayumi yang wafat tahun 770 H. Al-Marbawi
merujuk pula ke Asasul Balaghah karya Imam Azzamakhsyari, Al-Bujairimi
Syarah Fathul Wahhab, Tajul ‘Arus, Al-Munjid, Hayatul
Hayawan, Dairatul Ma’afir lil Qarnil ‘Isyrin karya Syaikh Farid
Wajdi, Qamus Al-Mukhith, Minhajut Thullab, rujukannya terus
berlanjut.
Dalam
sistem penulisan, Al-Marbawi telah menyusun kamus dengan gaya modern, yang
sangat mungkin atas saran dan usulan penerbitnya, Musthafa Al-Babi Al-Halabi wa
Awladihi di Kairo, Mesir. Dalam kamus ini, terdapat sekitar 700 gambar—kendati
Al-Marbawi menyebut 1.200 gambar—flora dan fauna mengiringi pengertian bahasa
bersama dengan 18.000 entri lainnya.
Karena
menyertakan gambar, maka Al-Marbawi memulai kamusnya dengan bab “Al-Hukmu
asy-syar’i fi at-tashwir ar-raqm” atau “hukum lukisan”. Dengan sebab kedua
juz Kamus Idris Al-Marbawi mempunyai lebih 1.200 kalimat yang diterangkan
dengan gambar, padahal membuat gambar itu haram, maka munasabahlah kami
dahulukan membuat hukumnya di bawah ini, tulis Al-Marbawi. Ia lalu menulis
dalil berupa hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa menggambar di dunia maka kelak di akhirat ia disuruh menghidupkan
gambarnya itu, dan dia tidak mampu.” Dalam hadis lain disebutkan pula, “Sesungguhnya
orang paling pedih siksaannya pada hari kiamat adalah penggambar.” Dalam
analisis Al-Marbawi, larangan itu hanya untuk patung, sementara lukisan tak
masalah. Ia lalu memperkuat argumennya dengan mengutif pandapat Al-Kithabi,
Sesungguhnya penggambar yang menggambar binatang, aku berharap tidak masuk
dalam ancaman ini, karena hal itu hanya goresan tangan (raqm).
Al-Marbawi
tidak hanya memasukkan bahasa saja ke dalam kamusnya, bahkan ia juga
menyelipkan nama-nama tokoh penting sehingga menyerupai ensiklopedia mini. Misalnya,
dalam entri Ibnu Majah (bab min) ia menulis, “Ialah Abdullah bin Muhammad bin
Yazid ibn Majah ar-Ra’i, yang masyhur hafal beberapa ribu hadis, dan ialah
pengarang kitab sunan bicara hadis.”
Dalam
pengantarnya, Al-Marbawi menulis, “Kemudian daripada itu, maka sebelum masuk
mengarang kamus ini, lebih dulu menerangkan maksudku mengadakannya, ialah
memajukan bangsaku, Melayu.” Kamus ini kemudian ia tawarkan kepada penerbit
terbesar di Mesir, Syirkah Musthafa Al-Babi Al-Halabi dan langsung diterima.
Pada tahun itu pula kamus ini menenggak sukses yang tak hanya di Mesir bagi
mahasiswa Nusantara, tapi juga di Timur Tengah yang menjadi pusara belajar
agama warga Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, kamus ini menjadi bahan
penting dalam pembelajaran bahasa Arab, terutama di pondok-pondok pesantren,
tak terkecuali Madrasah Arabiah Islamiyah (MAI) Sengkang, di bawah asuhan Anregurutta
Haji Muhammad As’ad yang menjadi pioner dan pelopor pencetak kader ulama nomor
wahid di Indonesia bangian Tengah. Kamus ini berhasil dicetak ulang bahkan
ratusan kali, pada tahun 1937 saja, setelah 10 tahun terbit, kamus ini sudah
dicetak 24 kali. Fantastis!
Penerbit
Al-Babi Al-Halabi kemudian juga tertarik menerbitkan karya-karya Al-Marbawi
lainnya. Tercatat sekitar 20 buah karya Al-Marbawi yang diterbitkan penerbit
paling masyhur di Mesir saat itu, yang pasarannya meliputi Mesir, Mekah,
Madinah, dan Asia Tanggara. Bahasa Melayu adalah bahasa yang juga dipergunakan
oleh penduduk Pathani, Thailand Selatan dan Moro Filipina. Semua karya
Al-Marbawi ditulis dalam aksara Arab-Melayu. Hingga kini, karya-karya
Al-Marbawi masih tetap dicetak, baik di Malaysia maupun di Indonesia. Untuk
Indonesia, penerbit Al-Hidayah Surabaya Jawa Timur adalah tempat cetaknya.
Al-Marbawi
adalah ulama produktif, selain kamus, ia juga telah menulis karya-karya yang
amat penting dari berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang hadis misalnya, Bahr
al-Madzi yang merupakan ringkasan dan ulasan atas kumpulan hadis Sunan
At-Tirmidzi yang dibuat dalam lima jilid. Dalam iklan Al-Babi, buku ini dijual
dengan harga 150 Mulim (sen). Al-Marbawi juga telah menerjemahkan kitab ‘Bulughul
Maram’ hadis fikih yang disusun oleh tokoh hadis kesohor, Ibnu Hajar
Al-Atsqalani. Qamus Al-Marbawi yang pada asalnya dua jilid dihargai dengan 50
Mulim.
Dalam
bidang tafsir, Al-Marbawi menulis Tafsir Surah Yasin yang diiklankan dengan harga 40 Mulim, ia juga
telah menulis Tafsir Al-Qur’an Nurul Yaqin, terjemahan Tafsir Fath
Al-Qadir. Tafsir Juz Amma, Tafsir Al-Fatihah, dan Ilmua Al-Qur’an dengan
judul kitab Al-Qur’an Bergantung Makna.
Atas
sumbangan dan jasanya yang begitu besar dalam bidang keilmuan dan keagamaan,
maka pada tanggal 4 Juli 1980, atas usaha Datuk Prof. Dr. Haron Din, muridnya,
Al-Marbawi mendapat gelar doktor
kehormatan dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), dan pada 1 Muharram 1408 atau 28 Agustus 1987 Al-Marbawi dinobatkan
sebagai tokoh Ma’al Hijrah Malaysia yang pertama.
Dunia
Islam berduka, karena pada tanggal 13 Oktober 1989 bersamaan 13 Rabiul Awal
1409 H, Syaikh Mohd. Idris bin Abdurrauf Al-Marbawi berpulang ke rahmatullah dalam usia
ke-96 tahun. Ia wafat di Rumah Sakit Pusat Ipoh dan dimakamkan di Kampung Lubok
Merbau, Perak, Malaysia, bersebelahan dengan pusara istrinya, Khadijah binti
Mohamad Idham yang wafat 14 bulan sebelumnya, ia juga meninggalkanseorang istri
lainnya yang menetap di Mesir. Untuk mengenang nama ‘Al-Marbawi’ diabadikan
untuk lembaga pendidikan Kolej Idris Al-Marbawi dan Sekolah Kebangsaan Syeikh
Mohammad Idris Al-Marbawi.
Satu
lagi bukti nyata jika seorang penulis, sebagaimana Al-Marbawi namanya tidak
pernah pudar, selalu dikenang, berkat karya-karyanya, salah satunya adalah
Kamus Bahasa Arab-Melayu dengan menggunakan namanya “Kamus Al-Marbawi”.
Benarlah apa yang dikatakan orang bijak bahwa ‘Al-Khath yabqa ba’da
katibihi, wakatibuhu tahta al-ardh madfun
.
Goresan tinta seseorang itu akan kekal, kendati penulisnya telah terkubur di
liang lahad’. Maka dari itu, marilah menulis, melahirkan karya yang kan menjadi
saham kebaikan (amal jariah), selain berpahala, kita juga akan dikenal oleh
para generasi pelanjut. Dewasa ini, menulis jauh lebih mudah berbanding di zaman
Al-Marbawi, dengan referensi yang beraneka ragam, dan media—cetak meupun
elektronik—yang selalu siap menampung karya-karya kita, semestinya tidak ada
alasan lagi untuk malas menulis. Al-Marbawi Adalah contoh nyata untuk kita
semua, agar berpacu melahirkan karya yang berkualitas. Sumigo, 30 Januari
2014.

Ilham
Kadir, Peneliti MIUMI, Organizing Committee, Kongres KPPSI V Asrama Haji
Sudiang Makassar, 2014
Comments