Toleran Tanpa Ucapan Selamat Natal

Dialog kelakar dan singkat di atas menandakan bahwa
masih banyak dari penganut Nasrani yang tidak memahami konsekwensi dari ucapan ‘Selamat
Natal’ dari kaum muslimin, dan di sisi lain, tidak banyak umat Islam yang bijak
dan secerdas sang Guru Besar di atas. Tulisan berikut ini, akan kembali
mengurai perbedaan pendapat di antara para ulama baik klasik maupun
kontemporer, tiada lain, kecuali untuk menambah khazanah pengetahuan dan
informasi kita terkait ucapan ‘Selamat Natal’.
Begitu datang Hari Natal, setiap itu pula muncul
perdebatan tentang boleh tidaknya seorang muslim untuk turut ikut bersama-sama
umat Kirstiani menghadiri uparacara Natal bersama, atau ikut serta dalam
rangkaian acara-acara Natal lainnya, atau bahkan hanya sekadar mengucapkan
‘Selamat Natal’, sebagaimana yang terjadi saat-saat ini, terutama di sosial
media (sosmed). Ada yang bernada keras menentang, ada pula yang dianggap
moderat dengan argumennya masing-masing.
Rasanya tidak afdal jika hanya memaparkan salah satu
dari kedua kubu di atas, baik yang membolehkan maupun yang menentang. Penting
untuk mengetahui alasan mereka masing-maing agar referensi pengetahuan kita
kian bertambah, hingga menjadikan kita lebih arif lagi bijaksana dalam memutuskan
sebuah perkara. Kadang, satu masalah dalam satu tempat sangat terpuji, tapi
pada tempat yang lain sangat tercela, dan untuk menyikapi hal sedemikian,
pastinya membutuhkan referensi pengetahun dan kearifan yang tinggi.
Seoang muslim, jika berada pada negara yang
berpenduduk mayoritas muslim seperti
Indonesia, akan berbeda keadaan dan kondisinya jika mereka berada pada golongan
minoritas, seperti di negara-negara Barat yang mayoritas berama Kristen. Untuk
tetap rukun dengan mereka jelas harus memiliki sikap yang bijaksana tanpa harus
mengorbankan akidah. Begitulah Islam mengajari penganutnya. Kita dibiarkan
mengakui eksistensi agama lain, tanpa harus mengakui kebenaran ajaran mereka.
Sungguh sebuah kearfian yang sangat agung.
Selamat Natal?
Meskipun pengucapan ‘Selamat Natal’ sebagiannya masuk
dalam wilayah akidah, namun ia memiliki hukum fikih yang bersandar kepada
pemahaman yang mendalam, telaah yang rinci terhadap berbagai nash-nash syar’i. Ada
dua pendapat di dalam permasalahan ini, pertama. Ibnu Taimiyah beserta
murdinya, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, serta para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz,
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahumallah, serta yang lainnya seperti Syeikh
Ibrahim bin Muhammad al-Huqoil, berpendapat, mengucapkan Selamat Natal hukumnya
haram karena perayaan ini adalah bagian
dari syiar-syiar agama mereka. Allah tidak meridhai adanya kekufuran terhadap
hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya di dalam pengucapan selamat kepada mereka adalah
tasyabbuh—menyerupai dengan mereka—ini diharamkan. Di antara bentuk-bentuk
tasyabbuh: Ikut serta didalam hari raya tersebut, dan mentransfer perayaan-perayaan
mereka ke negeri-negeri Islam. Golongan ini juga berpendapat bahwa wajib menjauhi berbagai perayaan orang-orang
kafir, menjauhi dari sikap menyerupai perbuatan-perbuatan mereka, menjauhi
berbagai sarana yang digunakan untuk menghadiri perayaan tersebut, tidak
menolong seorang muslim di dalam menyerupai perayaan hari raya mereka, tidak
mengucapkan selamat atas hari raya mereka serta menjauhi penggunaan berbagai
nama dan istilah khusus didalam ibadah mereka. Pendapat ini mewakili ulama
klasik atau as-salafish-sholeh hadzihil ummah.
Ada pun pendapt kedua yang terdiri dari mazhab jumhur (mayoritas)
ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Hari Natal. Disertai argumen,
antaranya Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi
global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam
mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang
lainnya. Aku—lanjut Al-Qaradhawi—membolehkan
pengucapan itu apabila mereka, orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya,
adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi
apabila ada hubungan khsusus antara dirinya non muslim dengan seorang muslim,
seperti, kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal
ini termasuk di dalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah swt namun
dicintai-Nya sebagaimana Allah mencintai berbuat adil. Innallah
yuhibbul-muqshithin. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
Berlaku adil, (QS. Al-Mumtahanah: 8).
Pendapat al-Qadhawi diamini oleh Lembaga Riset dan Fatwa Eropa yang juga membolehkan
pengucapan Selamat Natal jika mereka bukan termasuk orang-orang yang memerangi
kaum muslimin khususnya dalam keadaan di mana kaum muslimin minoritas seperti
di Barat. Setelah memaparkan berbagai dalil, Lembaga ini memberikan kesimpulan
sebagai berikut, Tidak dilarang bagi
seorang muslim atau Markaz Islam memberikan selamat atas perayaan ini, baik
dengan lisan maupun pengiriman kartu ucapan yang tidak menampilkan simbol
mereka atau berbagai ungkapan keagamaan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam seperti salib. Sambil merujuk pada Al-Qur’an, Padahal
mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh
ialah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka, (QS. An Nisaa : 157). Kalimat-kalimat
yang digunakan dalam pemberian selamat ini pun harus yang tidak mengandung
pengukuhan atas agama mereka atau rela dengannya. Adapun kalimat yang digunakan
adalah kalimat pertemanan yang sudah dikenal dimasyarakat. Tidak dilarang untuk
menerima berbagai hadiah dari mereka karena sesungguhnya Nabi saw telah
menerima berbagai hadiah dari non muslim seperti Al-Muqouqis Pemimpin Al-Qibthi
di Mesir dan juga yang lainnya dengan persyaratan bahwa hadiah itu bukanlah
yang diharamkan oleh kaum muslimin seperti arak, daging babi, dan lainnya. Diantara
para ulama yang senada dan membolehkan adalah DR. Abdus Sattar Fathullah Sa’id,
ustadz bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al-Qur’an di Universitas Al-Azhar, DR.
Muhammad Sayyid Dasuki Guru Besar Syari’ah di Univrsitas Qatar, Ustadz Musthafa
az Zarqo serta Syeikh Muhammad Rasyd Ridho, (Harian Republika, 4 Januari
2013).
Majelis Ulama Indonesia (MUI), tahun 1981 sebelum
mengeluarkan fatwanya, terlebih dahulu mengemukakan dasar-dasar ajaran Islam
dengan disertai berbagai dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi, sebagai
berikut: Bahwa ummat Islam diperbolehkan
untuk bekerja sama dan bergaul dengan umat agama-agama lain dalam
masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan; Bahwa ummat Islam
tidak boleh mencampur-adukkan agamanya dengan akidah dan peribadatan agama
lain; Bahwa ummat Islam harus mengakui ke-Nabian dan ke-Rasulan Isa Almasih bin
Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain; Bahwa
barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai
anak dan Isa Almasih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik; Bahwa Allah
pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di dunia
menyuruh kaumnya agar mereka mengakui Isa dan Ibunya (Maryam) sebagai Tuhan.
Isa menjawab: Tidak; Islam mengajarkan bahwa Allah swt itu hanya satu; Islam
mengajarkan ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari
larangan Allah swt serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik
kemaslahatan. Dan berdasarkan Kaidah Ushul Fikih, Menolak kerusakan-kerusakan
itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahan. Dar’ul mafasid
muqaddam ‘ala jalbil mashalih.
MUI pun mengeluarkan fatwanya: Perayaan Natal di
Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as, akan tetapi
Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas; Mengikuti
upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram; Agar ummat Islam tidak
terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah swt dianjurkan untuk tidak
mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal; dan Mengucapkan Selamat Hari Natal
Haram kecuali Darurat.
Selaku bangsa Indonesia, maka patutlah kita taat dan
patuh terhadap fatwa Majelisul Ulama seabagai satu-satunya lembaga fatwa resmi
dan kredibel yang diakui oleh pemerintah dan segenap masyarakat muslim
Indonesia. Wallah A’lam!
Ilham Kadir. Anggota Majelis Intelektual-Ulama Mudan
Indonesia (MIUMI) dan Peneliti LPPI Indonesia Timur.
Comments