Syiah dan Diabolisme Akidah
Pasti
pembaca banyak yang tidak mengerti makna ‘diabolisme’. Tidak ada dalam kamus
bahasa Indonesia, tak terkecuali “Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III.
2001” yang menjadi rujukan saya dalam menulis. Istilah ‘diabolisme’ mulai
dikenal orang ketika sebuah buku terbit dengan judul “Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran. Cetakan Jakarta, 2008” karya Dr. Syamsuddin Arif. Penulis buku
tersebut adalah seorang intelektual muda kelahiran Jakarta, menempuh studi
doktortoral sebanyak dua kali, magister dan doktor pertamanya ia selesaikan di International
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) sebuah perguruan tunggi
yang didirikan dan dibina oleh Prof. Naquib Al-Attas yang khusus mengajar
mahasiswa program magister dan doktoral, ada pun doktor keduanya, ia jalani di
Orientalisches Seminar, Johann Wolfgang Goethe Universitat Frankfrut, Jerman.
Dr. Syamsuddin adalah salah satu pakar Ibnu Sina yang diakui oleh dunia saat
ini, hingga menjadi satu-satunya orang Indonesia yang pernah mewakili Jerman
untuk menjadi pemateri pada seminar Internasional tentang Ibnu Sina di Israel.
Kini, beliau sebagai dosen di Universiti Teknologi Malaysia.
Indikasi
kepakarannya tentang Ibnu Sina dapat diketahui dengan beberapa karya ilmiah
yang telah terpublikasi, baik dalam bentuk jurnal maupun bentuk tesis dan
disertasi. Judul tesisnya adalah “Ibn Sina’s Theory of Intuition”
selesai pada tahun 1999 di bawah bimbingan Prof. Alparslan Acikgent, dan
disertasinya juga masih seputar Ibnu Sina, yaitu “Ibn Sina’s Cosmology; A
Study of the Appropriation of Greek Philosophical Ideas in 11th Century Islam”
di bawah suvervisi Prof. Paul Lettink yang selesai tahun 2004. Kecuali itu, alumni
Pondok Modern Gontor dan Majelisul Qurra’ wal Huffadz sekaligus guru khat dan
bahasa Arab saya adalah intelektual langka zaman ini, betapa tidak, saat ini ia
telah menguasai banyak bahasa, baik itu bahasa yang masih dipakai bertutur oleh
umat manusia maupun bahasa yang hanya diketahui melalui tulisan. Di antara
bahasa yang telah dan masih terus dipelajarinya—selain Arab dan Inggris—adalah,
Greek, Latin, Jerman, Prancis, Hebrew, Syiriak, Turki, Belanda, hingga Rusia.
Saya
biasa ditanya, di mana Anda belajar menulis dengan karakter khas? Kerap saya
jawab bahwa tulisan saya banyak terinspirasi dari karya Dr. Syamsuddin—yang sampai
detik ini tetap menjadi mentor saya—dan
pastinya selalu merujuk pada karya beliau, “Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran”, banyak bahasa dan istilah yang unik dibarengi dengan metode
penulisan yang ilmiah lagi menarik, salah satunya kata “diabolisme” yang
berasal dari bahasa Yunani kuno dengan kata dasar “diabolos” yang berarti
“Iblis” sedang “isme” adalah ideologi. Jadi diabolisme secara sederhana
bermakna berwatak, berprilaku, dan berideologi seperti Iblis, bahkan pengabdian
dan penyembahan kepadanya. Jika ‘akidah’ diartikan sebagai pegangan dan
keyakinan, maka ‘diabolisme akidah’ merupakan watak, berpilaku, ideologi,
hingga penyembahan pada Iblis laknatullah.
Dalam
Al-Qur’an dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa jin (QS. 18: 50), yang
diciptakan dari api (QS. 15: 27). Iblis dikutuk dan dihalau karena menolak
perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam sebagai penghormatan dan
ketaatan pada Allah. Iblis bukanlah atheis karena tidak mengingkari adanya
Tuhan, dan tidak pula agnostik karena tidak meragukan wujud dan keesaan Allah.
Iblis sangat kenal dengan Tuhan, dan percaya akan wujud-Nya seratus persen.
Kesalahan Iblis—lanjut Syamsuddin—bukan karena ia tak tau atau tidak berilmu,
akan tetapi ia membangkan, aba (QS. 2: 34; 15: 31; dan 20: 116),
menganggap dirinya hebat, istakbara (QS 2: 34; 38: 73; dan 38: 75), dan
melawan perintah Tuhan, fafasaqa ‘an amri rabbihi (QS. 18: 50). Dalam
hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut
sebagai staf dan kroninya, berfikiran dan berprilaku seperti yang
dicontohkannya. Iblis adalah contoh nyata ‘prototype’ penganut aliran sesat.
Sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur’an, sejurus setelah ia divonis, Iblis
mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara
waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain sebanyak-banyaknya agar
bersama dirinya dengan segala cara, daya dan upaya, (QS. 17: 64). Iblis
bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang ragu,
dan lupa pada akhirat, alergi terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan
tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal
agama.
Dengan
itu, mudah saja mengindetifikasi bagi mereka yang telah menjadi kawan dan
bagian dari Iblis. Setidaknya—menurut Syamsuddin—ada tiga ciri khas prilaku
Iblis. Pertama, selalu membangkang dan membantah, (QS. 6: 121). Meskipun ia
kenal, tau dan paham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti
ingkarnya Fir’aun berikut hulu-balangnya, zhulman wa ‘uluwwan, meskipun
dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini. Selalu saja dicarinya alibi
untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opini dan akidah
sesatnya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran.
Jadi, bukan karena ia tidak tau mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak
mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Maka, jangan heran bila selalu
saja ada cendekiawan bahkan kiai hingga ulama (su’?) wataknya seperti
iblis. Mereka ngotot memaksakan pendapatnya bahwa Syiah dan Sunni sama saja,
keduanya berada pada jalan yang sama, naik kendaraan yang sama, dan memiliki
tujuan yang sama. Seakan menjadi sabda sehingga tak seorang pun sanggup
menyanggahnya. Padahal ia sangat paham dan mengerti jika Syiah dan Sunni memiliki
perbedaan pokok sebagaimana yang tertuang dalam hasil
Rakernas MUI pada 7 Maret 1984 di Jakarta yang merekomendasikan kepada umat
Islam Indonesia agar waspada terhadap menyusupnya paham syiah dengan perbedaan
pokok dari ajaran Ahlussunnah Waljamaah. Demikian pula Kementerian Agama RI
mengeluarkan surat edaran no. D/BA.01/4865/1983 pada 5 Desember 1983 tentang
golongan Syiah dan menyatakan bahwa Syiah tidak sesuai dan bahkan bertentang
dengan ajaran Islam. Belum cukup, Keputusan Fatwa MUI Jawa Timur no.
Kep-01/SKF-MUI/JTM/1/2012 tentang
Kesesatan Ajaran Syiah, dan Peraturan Gubernur Jawa Timur no. 55 tahun 2012
tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur sebagai
bukti nyata bila Syiah bukan saja tidak sejalan dengan Ahlussunnah tapi tak
akan pernah bersatu, ibarat minyak dan air. Ajakan pendekatan yang mereka sebut
‘taqrib’ hanyalah kamuflase untuk mengelabui umat Islam agar mereka leluasa menyesatkan
orang sebanyak-banyaknya dengan gaya dan metode ala Iblis.
Kedua. Intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh,
congkak, dan arogan). Rasulullah menegaskan lewat sabdanya yang diriwayatkan
Imam Muslim (no. 147) bahwa sombong adalah menolak yang benar dan meremehkan
orang lain. Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan
dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi dianggap dogmatis, literalis, logosentris,
fundamentalis, konservatif, merongrong NKRI, dan sebagainya. Sebaliknya
golongan yang sesat seperti Syiah, Ahamdiyah, Inkarussunnah, liberalisme, atheis,
pluralisme, sekularisme, hingga penyembah berhala dan sahabat Iblis sekalipun
dibela mati-matian. Mereka menganggap bahwa Ahlussunnah
yang memuliakan Rasulullah, Ahlul Bait-nya serta para sahabat adalah aliran
keliru, padahal sejatinya mereka tidak hanya keliru tapi bego dan dungu, serta jahil
murakkab liannahu la yadri annahu la yadri—bodoh kuadrat karena tak sadar
jika dirinya tidak mengetahui.
Ketiga.
Menabur kesesatan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haq).
Saya sangat yakin bahwa para penganut Syiah yang sedang mendapat angin segar
karena dibela beberapa tokoh dan ulama nasional, bukan tidak tahu mana yang
benar dan mana yang salah. Namun mereka sengaja memutar-balikkan fakta. Yang
batil dipoles sedemikian rupa sehingga seolah-olah adalah benar (haq).
Sebaliknya, yang benar digunting dan dipreteli sehingga kelihatan seperti
batil. Atau pun dicampur aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara
yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk
membuat orang awam bingung dan terkecoh. Sama persis dengan kerjaan Jalaludin
Rakhmat yang menyatakan bahwa Nabi mati syahid karena dibunuh oleh para sahabat
terdekatnya.
Syiah
Berwatak Iblis
Ketiga
watak dasar Iblis di atas dengan mudah kita jumpai pada sekte Syiah dan para
pengusung serta pengasongnya. Sebagai contoh: beberapa waktu yang lalu Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Pusat menerbitkan buku panduan bagi umat Islam Indonesia
dengan judul “ Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia.
Cetakan Gema Insani, Depok, September 2013” disusun oleh Tim Khusus Komisi
Fatwa dan Komisi Pengkajian MUI Pusat, beranggotakan, Utang Ranuwijaya, Cholil
Nafis, Fahmi Salim, Muhammad Ziyad, Ridha Basalamah, Hasanuddin AF, Asrorun
Ni’am, Hasanuddin Maulana, dan M. Faiz, SM dan dipimpin langsung oleh Dr. KH.
Ma’ruf Amin, Prof. Yuhanahar Ilyas, Drs. Ichwan Sam dan Dr. Amirsyah. Dalam
kata pengantarnya, Tim Penulis menyatakan bahwa buku ini dimaksud untuk menjadi
pedoman bagi umat Islam Indonesia dalam mengenal dan mewaspadai penyimpangan
Syiah, sebagaimana yang terjadi di Indonesia, sebagai keterangan (bayan) resmi
dari MUI Pusat dengan tujuan agar umat Islam tidak terpengaruh oleh faham Syiah
dan dapat terhindar dari bahaya yang mengganggu stabilitas keutuhan NKRI, (hlm.
8). Begitu
pula, Dewan Pimpinan MUI Pusat Prof. Yunahar Ilyas menulis, buku ini disusun
untuk menjadi panduan bagi umat dalam memilah dan memilih faham keagamaan yang
benar dan yang menyimpang. Mengingat fungsi MUI salah satunya adalah bertekad
menangani secara serius dan terus menerus setiap usaha dan penyalahgunaan
dalil-dalil yang dapat merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama di
Indonesia. Atas nama MUI kami mengucapkan terimah kasih yang sebesar-besarnya
kepada Tim Penyusun dan semua pihak yang telah membantu terbitnya buku ini,
(hlm. 11). Dalam buku panduan “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di
Indonesia” secara garis besar memuat tentang sejarah Syiah, peyimpangan Syiah,
pergerakan dan metode penyebaran Syiah di Indonesia, dan sikap MUI terhadap
Syiah, (hlm. 14).
Walaupun
status buku panduan tersebut sangat jelas dan terang—laksana sinar mentari di
siang yang cerah—sebagai sikap resmi MUI bahkan dengan terang logo MUI pun
terpampang pada covernya dibarengi tulisan “Panduan Majelis Ulama Indonesia”,
namun tetap saja para penganut Syiah membantah dan membangkang (aba
wastakbara), tidak mau mengakui keberadaan buku tersebut bahkan malah
bertingkah sombong, angkuh, congkak, dan arogan
dengan mengatakan, itu cuma pernyataan segelintir personal MUI saja, bukan atas
nama lembaga. Dengan itu, sangat jelas jika sekte Syiah telah menabur kesesatan
dan menyembunyikan kebenaran dan tetap ngotot mempertahankan kesalahannya,
persis ciri, prilaku, dan watak Iblis.
Karena itu, jangan salahakan jika ada yang berkata, segala bentuk keiblisan
telah menyatu dalam Syiah. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, B.A., S.Sos.I., M.A., Alumni Pesantren Majelisul Qurra’ Wal Huffadz
Tuju-Tuju Bone, Peneliti LPPI Indonesia Timur.
Comments