Syiah Bermata Dajjal
Tidak
bisa dipungkiri bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, aroma perseteruan
antara aliran Ahlussunnah wal Jamaah (Sunni) dan sekte Syiah kian memanas dan
tidak terkendali. Banyak faktor yang menjadi pemicunya, namun yang pasti peran
Irak versus Amerika yang menggulingkan Shaddam Husein dipastikan bagian
dari konfrontasi fisik dan psikis antara Sunni-Syiah, Iran menjadi sutradara
dalam peran tersebut dan kini bisa dilihat hasilnya, Syiah menjadi pemimpin di
Irak yang notabenenya negara Sunni. Puncaknya, pembantaian muslim-Sunni di
Suriah oleh Syiah Nushairiyah anutan Bashar Asad. Tak pelak lagi, negara Islam
berpaham Sunni bahu membahu untuk melepaskan mereka-mereka yang tertindas dan
terzalimi oleh Bashar dan antek-anteknya, pembantaian dengan ragam cara dan
metode yang semestinya hanya ada di zaman perunggu, kini tetap tersaji terus-menerus
di Suriah, dan dengan muda diketahui melalui informasi dan berbagai media
Internasional, baik cetak maupun elektronik.
Tanpa
kecuali di Indonesia, sejak terjadinya revolusi Iran tahun 1979, ideologi Syiah
menyusup masuk ke kantong-kantong mahasiswa, dan kini hasilnya terlihat dengan
jelas, yang dulu mahasiswa, kini telah menjadi intelektual dan pemikir serta
penggagas sekte Syiah, Jalaluddin Rakhmat dan Haidar Bagir hanyalasah dua di
antara sekian banyak golongan intelektual yang menjadi pelopor ajaran Syiah.
Jika dulu para penganut sekte-Syiah masih sembunyi dan malu-malu kucing, kini
mereka dengan berani tampil ke hadapan dengan bangganya, aneka ritual sesat
mereka lakukan secara berjamaah dan terbuka di berbagai tempat, seperti Hari
Raya Syiah yang disebut Idul Ghadir, atau ritual Asyura.
Oleh
karena itu, penting untuk terus-menerus membeberkan perbedaan mendasar antara
ajaran Sunni dibandingkan dengan Syiah. Slogan-slogan yang menyatakan bahwa
Syiah dan Sunni sama-sama berada pada jalan yang benar dan memiliki tujuan yang
sama serta hanya berlainan kendaraan jelas salah dan menyesatkan. Ahlussunnah
alias Sunni memiliki jalan keselamatan yang disebut Ash-Shirath al-Mustaqim,
jalan yang lurus sedangkan Syiah
menyempal dari jalan itu. Karena menyempal, sudah pasti memiliki jalur,
kendaraan, dan tujuan yang berbeda.
Untuk
menelanjangi akidah Syiah, kali ini saya berpatokan kepada salah satu buku yang
sangat layak dijadikan rujukan, ditulis oleh seorang ulama muktabar Indonesia
zaman ini, Drs Muhammad Thalib, judul bukunya “Syiah Menguak Tabir Kesesatan
dan Penghinaan terhadap Islam, Cetakan: Yogyakarta, 2007”. Penulisnya
sangat layak dikatakan ulama muktabar karena keilmuan dan kepakarannya sudah
terbukti. Yusuf Al-Qardhawi menyebut bahwa syarat utama menjadi ulama adalah
memiliki ilmu alat yang baik, bahkan tidak hanya sekadar tau tentang bahasa
Arab dan segala perangkapnya, melainkan memiliki ‘dzauq’ yang dalam
terkait bahasa Al-Qur’an itu, ditambah ilmu-ilmu penunjang lainnya, seperti
ilmu tentang Al-Qur’an, Hadis, Fikih, hingga Sejarah, dan itu semua telah
dimiliki oleh Muhammad Thalib.
Mari
kita buktikan. Setau saya, sampai detik ini, satu-satunya kamus tentang
Al-Qur’an berbahasa Indonesia yang paling lengkap dan mudah dipahami adalah “Kamus
Kosa-Kata Al-Qur’an, Cara Praktis untuk Mengetahui dan Memahami Kata-Kata dalam
Al-Qur’an, Cetakan: Yogyakarta, 2008” karya Drs Muhammad Thalib. Jujur,
kamus ini telah banyak membantu saya, bukan hanya sebatas memahami ragama kosa
kata dalam Al-Qur’an tetapi juga berfungsi semacam ensiklopedi mini. Walaupun
saya pernah menghafal Al-Qur’an sampai khatam 30 juz sebanyak dua kali, tapi
tetap saja saya kadang lupa mengetahui tempat ayat-ayat tertentu. Misalnya,
ayat yang berbunyi “Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna”. Maka
dengan muda didapat ketika menggunakan Kamus Al-Qur’an di atas, cukup mencari
kata berawalan huruf “Lam”—tapi tetap
saja pengetahuan tentang akar kata harus dimiliki, disebut Ilmu Sharf—lalu cari
kosa-kata “Labisa-libasan” maka ayat di atas pun langsung dijumpai pada
Surah Al-Baqarah [2]: 187. Lalu didapati bahwa makna kata yang berakar dari “Labisa”
bermacam-macam seperti, campur (QS. 2: 42; 6: 82), penenteram (QS. 2: 187),
penenang (QS. 25:47; 78:10), pakaian (QS. 7:26; 44: 53), dan amal shalih (QS.
7:26). Tidak hanya itu, banyak ayat-ayat terjemahan resmi Departemen Agama dianggap
keliru oleh Muhammad Thalib, dan kabar terakhir, mantan bimbingan Prof HAMKA
dalam bidang penulisan dan jurnaslistik itu sedang menyusun terjemahan Al-Qur’an
bekerjasama dengan Depag. Dipandang dari sudut mana pun, Muhammad Thalib adalah
seorang ulama mujtahid dan muktabar.
Tabir
Kesesatan Syiah
Sebenarnya,
tidak susah membongkar kesesatan Syiah, bagaimana pun sekte ini lahir setelah
wafatnya Rasulullah sebagai nabi penutup dari rangkaian nabi dan rasul-rasul
sebelumnya. Itu artinya ajaran ini jika ditilik dari segi logika pun bagi mereka
yang punya akal dan dapat berfungsi dengan baik akan mengambil kesimpulan bahwa
ajaran dan aliran apa pun yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah lalu
dinisbahkan kepadanya merupakan bagian dari bid’ah alias mengada-ada
dalam agama, dan para pelakunya hanya layak mendapatkan dua julukan: kafir atau
sesat. Kafir, secara sederhana bermakna keluar dari Islam sedang sesat, masih
dalam Islam tapi beda jenis laksana minyak dan air. Keduanya memiliki zat yang
tak akan bersatu padu, selamanya akan berpisah sebagaimana Sunni dan Syiah.
Untuk
itulah tulisan-tulisan yang saya suguhkan terkait kesesatan Syiah sangat
sederhana dan dapat dipahami oleh segenap golongan karena memang tujuan
utamanya agar menjadi daya tangkal dari serangan virus yang terus-menerus
menyerang para muslim-Sunni dari berbagai lini. Sederhananya, tulisan ini dapat
menjadi penguat akan metabolisme tubuh dari penyakit Syiah: resistensi. Sasarannya, jelas para Ahlussunnah, kendati
sangat bermanfaat bagi mereka yang telah terkena kangker ganas akibat terlanjut
kerasukan virus ganas Syiah agar kembali ke jalan benar Ash-Shirat al-Mustaqim.
Nah,
inilah yang membedakan dengan buku “Syiah Menguak Tabir Kesesatan dan
Penghinaan terhadap Islam” hasil goresan tinta sang ulama muktabar. Betapa tidak,
buku setebal 248 halaman ini benar-benar menelanjangi Syiah dengan bersandar pada
kitab-kitab para ulama muktabar—menurut mereka. Metodologi penulisannya sangat
bagus, penulisnya memulai dengan menukil tulisan-tulisan para ulama Syiah lalu
diulas kesesatannya secara gamblang. Sekali lagi, keunggulan mantan murid Prof.
H.M. Rasjidi ini adalah kemampuannya dalam memahami bahasa Arab yang sangat
bagus dibarengi dengan segudang rujukan, bahkan majalah dan koran berbahasa
Arab sekalipun tak luput dari pantauannya.
Secara
keseluruhan buku ini terbagi menjadi enam bagian. Bagian pertama hanya terdiri
dari satu bab, yaitu Syiah dan Zionisme yang akan saya uraikan dalam satu
artikel. Bagian kedua adalah ‘akidah Imamah Syiah dalam tinjauan Islam’ yang
berisi empat bab, meliputi perbedaan Imamah dalam Islam sebagaimana yang
dimaksud dalam Al-Qur’an, Hadis, dan pendapat-pendapat para ulama dan ilmuan
muslim seperti Ibnu Khaldun. Lalu dipaparkan apa arti Imamah bagi sekte Syiah
dengan mengutif dari perkataan-perkataan para imam dan ulama mereka sendiri,
lalu diakhiri dengan uraian posisi Syiah menurut para ulama muktabar
Ahlussunnah. Bagian ketiga, berisi tentang penghinaan-penghinaan Syiah terhadap
Islam. Bagian ini merupakan yang terpanjang dalam buku ini, bermula dari
halaman 67-130, dan berisi dua belas bab. Dimulai dengan penghinaan Syiah terhadap
Rasulullah, peran para nabi, Ahlul Bait, putra-putri Nabi, Ali bin Abi Thalib,
Fatimah, Hasan, Husein, dst. Paparan ini menyadarkan para pembaca bahwa sekte
Syiah benar-benar biadab karena mejadikan caci dan makian sebagai amalan wajib
bagi mereka, hingga manusia-manusia mulia sekalipun termasuk Nabi dan Ahlul
Baitnya—yang konon—dibela oleh mereka ternyata tak luput dari hinanaan, sebuah
ajaran yang kejahatannya melebihi iblis laknatullah sekalipun. Bagian keempat
mengurai provokasi Khomeini terhadap Islam yang berisi enam bab, sedangkan
bagian selanjunya mengungkap protes Dr. Ali Syariati terhaap Rasulullah yang
selama ini kita nilai sebagai intelektual yang mencerahkan, nyatanya menyesatkan,
bagian terkahir terdiri dari dua bab, yaitu menguak tabir strategi propaganda Syiah,
dan kiat mematahkan retorika Syiah. Buku ini ditutup dengan beberapa lampiran
penting, sang penulis yang pernah ikut khalaqah di Masjidil Haram ini
melampirkan beberapa tulisan-tulisan dari kitab Syiah yang diyakini mereka
sebagai bagian dari Al-Qur’an.
Di antara
cara Syiah menghina Nabi Muhammad adalah dengan cara mengecilkan peran beliau
dibandingkan dengan Imam Ali ra, sebagai contoh. Konon Ali pernah berkata—sebagaimana
dikutif dari kitab Al-Usul Minal Kafi, Kitabul Hujjah, halaman
196-197. “Aku diserahi Allah untuk menentukan surga dan neraka bagi setiap
orang. Aku adalah al-Farouq al-Akbar, pemilik tongkat dan Maisam. Seluruh malaikat
dan rasul telah berikrar kepadaku seperti yang mereka ikrarkan kepada
Rasulullah. Aku telah mengangkat beban seperti yang dilakukan Tuhan, kalau
Rasulullah berdakwah dan memberi pakaian, maka aku pun demikian.” (hlm. 68). Berikut
perkataan Imam Khomeini sebagaimana yang dikutif dari Harian Ar-Ra’yul’am
terbitan Kuwait edisi 30 Juni 1980 dan Majalah Al-Mujtama’ juga terbitan
Kuwait edisi 8 Juli 1980. Pernyataan Khomeini disampaikan pada Peringatan Hari Kelahiran Al-Mahdi, 15 Sya’ban
1400 H. Katanya, “Semua Nabi diutus untuk menanamkan dasar-dasar keadilan di
dunia ini, tetapi mereka tidak berhasil. Nabi Muhammad sendiri sebagai penutup
para nabi yang datang untuk memperbaiki tatanan hidup umat manusia dan menegakkan
keadilan, juga tidak berhasil.” Pernyataan sang diktator di atas merupakan
penjabaran dari pernyataan sebelumnya, dalam kitab Al-Hukuma Al-Islamiyah,
Khomeini berfatwa, katanya, Adalah merupakan hal yang pasti dalam mazhab kami,
bahwa imam-imam kami mempunyai kedudukan yang tidak bisa dicapai baik oleh
malaikat yang terdekat kepada Allah [muqarrabin] maupun oleh seorang
nabi yang diutus Tuhan. (hlm. 133).
Menelaah
pernyataan di atas, maka dengan muda
kita dapat mengambil kesimpulan, Imam Syiah berjumlah dua belas itu yang
diakhiri oleh Imam Mahdi Al-Muntadzar memiliki kedudukan lebih tinggi yang
tidak dapat dicapai oleh malaikat dan para nabi; semua nabi yang pernah diutus
hanya mengalami kegagalan, tak terkecuali Rasulullah dan, orang yang akan
berhasil meratakan keadilan di seluruh dunia ini dan membereskan tugas para nabi
adalah Imam Mahdi Al-Muntadzar alias imam sekte Syiah yang dinanti-nantikan
itu, konon ia telah mati-ghaib (in absential) dan akan kembali hidup.
Demikianlah di antara sekelumit kekonyolan sekte Syiah yang terdapat dalam “Syiah Menguak Tabir Kesesatan dan Penghinaan terhadap Islam”. Untuk lebih komplitnya, silahkan rujuk pada bukunya. Sekali lagi, sekte Syiah sangat mudah dimentalkan argumen dan alibinya, bukan saja karena aliran ini tidak masuk akal, tetapi segala bentuk kesesatan telah menyatu dalam ajarannya.
Maka tidak salah jika Menteri Agama, Dr. Suryadarma Ali menegaskan bahwa Syiah adalah sesat dan menyesatkan karena bertentangan dengan ajaran Islam yang hakiki. Ketua Umum PPP itu berpedoman pada hasil Rakernas MUI pada 7 Maret 1984 di Jakarta yang merekomendasikan umat Islam Indonesia agar waspada terhadap menyusupnya paham syiah dengan perbedaan pokok dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah serta Kementerian Agama RI yang pernah mengeluarkan surat edaran no D/BA.01/4865/1983 pada 5 Desember 1983 tentang golongan Syiah dan menyatakan bahwa Syiah tidak sesuai dan bahkan bertentang dengan ajaran Islam. Bagi saya, sekte Syiah dipandang dari sudut mana pun yang terpancar hanyalah mata Dajjal yang memberi cahaya sesaat namun menyesatkan untuk selamanya. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, B.A., S.Sos.I., M.A., Alumni Majelisul Qurra’ Wal huffadz Tuju-Tuju Bone,
Anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia
Comments