Sakralitas Pernikahan

Di Inggris, seorang Polwan asal Devon,
Gail Crocker (46) bunuh diri setelah tidak sengaja mengirim SMS bernada mesra ke suaminya. Belakangan
diketahui SMS tersebut ditujukan kepada kekasihnya, Polwan paruh baya tersebut
baru saja melakukan kencan rahasia (selingkuh) dengan rekan seprofesinya, saat
sang suaminya, Peter (49) tengah melakukan perjalanan bisnis. SMS yang ia kirim,
"terima kasih untuk malam yang menyenangkan ini. Berharap kita bisa
melakukannya lain waktu". Namun sayang, sms mesra tersebut secara tak sengaja
terkirim ke nomor suaminya, (Telegraph, Kamis 19/12/2013).
Di Bone, Sulawesi Selatan, rentetan
prilaku biadab dan memalukan terus-menerus dipertontonkan para abdi negara.
Harian Tirbun Timur (19/12/2013) menurunkan data bahwa aparat Bone selingkuh di
umur 30-an, tercatat misalnya, pada tanggal 25 Oktober 2013, pasangan non suami
istri—prianya adalah pegawai honorer—kumpul kebo di BTN Seribu, Wellalange
digrebek Satpol PP, dilanjutkan dengan berita tentang cinta terlarang--bukan terlorang—Nopember
lalu yang diketahui via adegang video mesum, pelakunya seorang PNS Dinas PU
berkolaborasi dengan Guru Agama pada Sekolah Dasar di Pattiro, Sompe, Sibulue.
Desember ini disebut-sebut
sebagai bulan kawin, karena bertepatan dengan bulan Shafar dalam hitungan
Hijriyah dan dipandang orang Bugis mendatangkan banyak berkah kepada para
pengantin baru, plus bulan yang mulia bari umat Kristiani, di dalamnya terdapat
banyak acara-acara keagamaan, termasuk ritual Natal dan tahun baru Masehi.
Sayangnya, Desember ini juga dipenuhi dengan berita-berita tak senonoh. Pada 17
Desember ini, seorang Bidan Desa di Puskesmas Watampone melakukan hubungan
haram dengan pegawai honorer, dipermantap dengan kepergoknya Kepala UPTD
Puskesmas Timurung bersama seorang bidan dari Puskesmas Awaru di sebuah
kos-kosan Mahasiswa Macanang Bone. Last but not least, tepat pada 18
Desember kemarin, seorang personil Satpol PP Pemkab Bone yang semestinya
menjadi pagar kemaksiatan di dapati bermesum dengan seorang mahasiswi yang
semestinya bergelut dengan buku, bukan bergulat dengan lelaki non mahram.
Selaku orang Bugis-Bone
(Watangcani), saya tentu saja sangat malu dan kecewa melihat kenyataan yang
demikian parah. Setau saya, orang Bugis sangat memuliakan pernikahan, dan
perbuatan selingkuh dipandang sangat biadab dan akan mendatangkan kutukan
(kacalla), dan musibah, seperti gagal panen, banjir, dst. Jika ini terus
berlanjut, maka orang bugis sudah dianggap kehilangan siri’ (harga diri).
Tulisan ini bermaksud memahami makna dan sakralitas pernikahan, agar yang telah
menikah dapat hidup harmonis, atau sakinah, mawaddah, warahmah, sedang yang
belum agar berusaha segera menikah. Dan untuk yang terlanjur bermaksiat dengan
melakukan hubungan tanpa ikatan nikah agar segera bertaubat.
Tulisan ini juga saya
persembahkan khusus untuk istri saya, dan lebih khusus lagi—khassul khawas—nasihat
untuk diri saya pribadi. Sering kali istri saya berujar, terlalu banyak yang
kakak tulis, tapi tidak ada tulisan untuk saya. Dari segi material saya mungkin
tidak banyak berbagi karena memang belum establish, tapi dari segi ilmu,
insya Allah bisa berbagi, bukan saja untuk istri tapi segenap manusia yang
ingin kebenaran, dan kebahagiaan dunia akhirat. Kebahagiaan, tidak mutlak
diukur dari segi materi, ia bahkan kerap datang pada orang yang kita pandang
serba kekurangan. Selamat membaca!
Sakralitas Pernikahan
Dari sekian banyak ibadah
sunnah—amalan yang dianjurkan karena berpahala—dalam Islam, tidak ada yang
paling menarik dibahas melebihi pernikahan. Menikah adalah impian bagi setiap
manusia normal, dan kenangan manis bagi para pasutri—pasangan suami istri—lanjut
usia, surga dunia bagi para pengantin muda yang sedang berbulan madu, dan kesengsaraan
bagi yang terlanjur salah pilih pasangan.
Hampir semua agama yang ada
di muka bumi ini memandang bahwa pernikahan adalah hal yang sakral. Karena itu,
prosesi pernikahan sering disebut ‘ritual’. Menikah juga merupakan fase
terpenting dalam perjalanan hidup seseorang yang telah menjadi bagian dari
siklus kehidupan setiap insan normal, ia disejajarkan dengan kelahiran dan
kematian.
Jika ada pertanyaan, ibadah
apa yang paling enak? Pasti jawabannya—bagi yang punya pasangan—adalah menikah.
Jawaban tersebut sangat tidak bertentangan dengan pandangan agama Islam bahwa
menikah sama dengan menyempurnakan agama. Dalam sebuah hadis ditekankan bahwa, salat
tujuh puluh rakaat bagi seorang bujangan sama nilainya dengan dua rakaat bagi
yang telah berkeluarga. Jadi, pernikahan dapat menambah kualitas umur dan
ibadah seseorang. Begitu pula, berbagai kenikmatan di surga sepertinya belum
cukup bagi Nabi Adam ‘alaihissalam, manusia pertama itu merasa bahwa tanpa
pendamping hidup tidak berarti apa-apa. Itulah sebabnya Allah menciptakan Hawa
sebagai pasangannya yang kelak menjadi ibu kita semua.
Orang-orang besar yang
memiliki andil dalam merubah arah jarum jam sejarah adalah mereka yang mampu mengoptimalkan
energi diri dan orang-orang yang ada disekitarnya, atau yang paling dekat
dengannya. Bagi seorang suami, istri adalah orang yang paling dekat itu. Istri,
selain sebagai sandaran emosional, juga berfungsi sebagai penyangga spritual.
Dialah yang siap berbagi tanpa pura-pura dan pamrih. Karunia istri dalam
pandangan Alquran sama nilainya dengan kejadian dunia dan seisinya, (QS. Ar-Rum
[30]: 16-30).
Seorang suami dapat
memperoleh ketenangan dan gairah hidup dari seorang istri, juga kenyamanan,
keberanian, keamanan, dan kekuatan. Laki-laki menumpahkan seluruh energi di
luar rumah dan mengumpulkannya kembali ketika berada di rumah. Rumah (home)
tidak sekadar tempat berteduh secara fisik (house), tetapi tempat
berlabuh lahir dan batin, sumber menu ruhani dan jasmani. Inilah yang dimaksud
dengan orang Barat, Many people can buy the house, but they can’t buy the
home. Jadi, home tidak mesti sebuah rumah yang utuh, bisa jadi hanya
sepetak kontrakan yang sangat sederhana atau gubuk reot nan usang, namun mampu
menjadi tempat tinggal yang lebih nyaman dari rumah mewah.
Karunia terbesar bagi
perempuan adalah kelembutan, kesetiaan, kecintaan, kasih sayang dan ketenangan
jiwa, dan jika sifat-sifat itu telah lenyap pada dirinya, maka ia tidak dapat
lagi dikatakan perempuan secara psikologis. Kekuatan yang ada pada diri istri
diumpamakan sebagai ring dermaga tempat suami menambat kapal, atau pohon
rindang tempat sang musafir merebahkan diri dan berteduh.
Istri adalah padang jiwa yang
luas dan nyaman. Tempat menumpahkan sisi kepolosan dan kekanakan suami untuk
bermain dengan lugu, saat suami melepaskan kelemahan-kelemahannya dengan aman,
saat suami merasa bukan siapa-siapa, saat suami menjadi bocah besar berjenggot
dan berkumis. Di kedalaman telaga itulah suami menyedot energi spritual dan
ketajaman emosional. Umar bin Khattab, pernah berkata, “Jadilah engkau bocah di
depan istrimu, tetapi berubalah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan
memanggilmu.” Sayyid Qutub, penulis tafsir, Fi Zhilalil Qur’an berujar, “Saya
selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos ketika berbaring dalam pangkuan
ibuku dan istriku.” Sebaik-baik wanita—sabda
Nabi—adalah apabila engkau melihatnya menyenangkanmu. Istri semacam inilah yang
dapat menjadi sumber kebahagiaan, keamanan, dan penjaga kehormatan diri. Bila
sumber itu telah hilang dan kering, maka tragedi cintalah yang akan terjadi.
Rasional dan Proporsional
Kecintaan kepada istri harus
rasional dan proporsional. Tak sekadar menonjolkan rasa, tetapi juga rasio.
Cinta terhadap istri hendaknya diletakkan demi kepentingan agama. Jangan sampai
kecintaan kepada keluarga menjadi ketergantungan yang membelenggu dan
melumpuhkan. Saling mengasihi yang tidak dilandasi agama, hal demikian kerap
memicu konflik. Banyak pemimpin justru lebih mendengar bisikan istrinya
ketimbang mendengar dewan penasihat dan pertimbangan. Bahkan, ada pula yang
terpaksa rapat dua kali ketika hendak mengambil keputusan besar, sekali bersama
para bawahannya di kantor, dan kali kedua menuruti kemauan istrinya di rumah.
Inilah tipe suami yang tidak rasional dan non proporsional.
Umar bin Khattab pernah
meyuruh putranya, Abdullah bin Umar—satu dari tujuh ulama besar sahabat
Nabi—untuk menceraikan istrinya karena ia terlalu berlebihan dalam mencintainya.
Terkadang ia terlambat salat berjamaah di masjid karena asyik-masyuk menyisir
rambut istrinya, sekali pun Abdullah tetap mempertahankan istrinya yang
dicintainya itu, tetapi Umar memandangnya sebagai satu kelemahan jiwa. Ketika
seorang sahabat mengusulkan kepada Umar untuk mencalonkan putranya sebagai
khalifah saat menjelang tutup usia, beliau menolak. Katanya, aku tidak akan
pernah menyerahkan amanah ini kepada seorang laki-laki yang lemah, tak berdaya
menceraikan istrinya.
Karena pernikahan adalah
ibadah, maka cinta pada pasangan harus dengan dasar agama. Bahkan dalam memilih
calon pasangan pun harus dengan pertimbangan agama sebagaimana anjuran Nabi,
“Pilihlah calon istrimu karena kualitas keagamaannya—mengalahkan pertimbangan
kecantikan, keturunan, dan kekayaan—supaya kedua tanganmu tidak berdebu. Jika
pertimbangan pilihanmu tidak berdasarkan agama, kamu kelak akan melakukan
perbuatan yang hina [berlumpur] yang tidak pantas dilakukan orang yang
berakal.” Dan karenanya, nikah dengan pasangan beda agama jelas sebuah
kesalahan besar yang—kemungkinan besar—berujung
pada kesengsaraan. Di tengah zaman yang serba pragmatis ini, peran agama dalam
memberikan keterampilan kepada pemeluknya untuk mengelola fluktuasi—naik-turun—kehidupan
dengan semangat yang stabil. Sedih dan gembira, suka dan duka, gagal dan sukses
hanyalah peta realitas kehidupan dunia. Dalam istilah Alquran, pasutri ibarat
pakaian, saling menutupi satu sama lain, (QS. Albaqarah [2]: 187), jika salah
satunya justru bangga dengan menelanjangi aib pasangannya, sejatinya bukan lagi
pasutri yang seutuhnya.
Dinamika kehidupan
dipersiapkan dan disikapi sebagai romantika, sehingga istri dapat menjadi teman
abadi sepanjang hayat, dunia akhirat. Tidak sekadar pandai dalam menjalin kasih
secara biologis tetapi handal dalam memetakan masalah dan memutuskan resiko
yang terjadi. Sebagai manusia, tentu tidak ada yang sempurna, untuk itu,
pernikahan tidaklah terjadi karena hendak menyatukan dua insan beda kelamin
yang sama-sama sempurna, melainkan penyatuan dan pertautan dua insan yang
saling memiliki kekurangan agar menjadi sebuah kesatuan dalam membentuk energi
yang positif. Karena itulah dinamika dalam rumah tangga mutlak adanya, tinggal
bagaimana sebuah pasangan dapat menyikapi dinamika tersebut. Dalam hal ini,
petuah Nabi sangat ampuh, sabdanya, “Janganlah laki-laki mukmin membenci
istrinya yang mukminah. Bila ada perangai istri yang tidak disukai, dia pasti
senang dengan sifatnya yang lain.” Nabi juga menekankan bahwa kriteria suami
yang baik adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan Rasul sendiri
adalah suami yang terbaik pada keluarganya.
Andai saja ukuran bahagianya
sebuah keluarga karena pernyaratan tampan dan kaya, atau cantik dan tenar, maka
prahara rumah tangga para artis yang saban hari tersaji di media massa, baik
cetak maupun elektronik, semestinya tidak berlaku. Oleh karena itu, pilihlah
pasangan karena agama. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir, Anggota MIUMI
dan Peneliti LPPI Indonesia Timur.
Comments