Polemik Selamat Natal
Salah
satu polemik klasik yang selalu muncul menjelang perayaan Natal, sebagaimana
yang terjadi saat ini, adalah boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan
‘Selamat Natal’ pada umat Kristiani. Masalah ini seolah tidak ada habisnya
untuk diperdebatkan, baik di Indonesia
maupun di belahan dunia lainnya. Agar proporsional, penting menelisik polemik
seputar ucapan selamat Natal bagi umat
Islam kepada umat Kristiani yang selalu aktual agar dapat menjadi referensi.
Sekadar
mengingatkan. M. Qashim Mathar, Guru Besar dalam Pemikiran Islam di Universitas
Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar pada tanggal 24 Desember 2012 menurunkan
tulisan di Harian FAJAR dengan tema “Selamat Natal, Wahai Nabi Allah”,
salah satu paragraf dalam tulisan tersebut berbunyi, “Kalau Alquran menyatakan
‘Selamat Natal’ kepada Nabi Yahya dan Nabi Isa, etiskah kalau ada pengikut
Alquran yang melarang umat Islam mengucapkan ‘Selamat Natal [Maulid] Nabi Isa
Al-Masih yang saat ini dirayakan oleh
Nasrani [Kristen]?’”. Pernyataan Prof. Qashim di atas langsung ditanggapi oleh KH. M. Said
Abd Shamad, tanggal 27 Desember di Harian FAJAR dengan tema “Fatwa MUI
tentang Toleransi dan Natal”, ia menjawab, “Justru sangat etis kalau pengikut
Alquran melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal [Maulid] Nabi Isa karena
Natal adalah istilah ibadah orang Kristen”.
Selain
itu, Lukas Handojo, Penulis Buku “Breakfast Time & Suara Kasih
Ministry” menurunkan tulisan “Hakikat Kelahiran Yesus”, salah satu kutipannya
adalah, “Yesus Bukanlah seorang bayi biasa. Bayi mungil. Tetapi, Ia Allah yang
menjadi manusia”. Pada hari dan ‘Harian’ yang sama saya juga turut menulis
artikel dengan tema “Natal dalam Alquran” yang berisi tentang pandangan Alquran
tentang kemuliaan Maryam sebagai salah seorang nabiah (nabi dari
perempuan) yang kelak melahirkan seorang rasul yang bernama Isa al-Masih ‘alaihissalam.
Inti tulisan saya, Isa hanyalah manusia biasa yang diangkat oleh Allah sebagai
nabi sekaligus rasul dan, jika kelahirannya dinamakan Natal maka demikianlah Natal
dalam Alquran, (Harian FAJAR. 25/12/2012). Perkara meminjam ‘kata kuci’
atau istilah dari agama lain dalam budaya Islam di Indonesia adalah hal lumrah
sebagaimana kita mengenal ‘sembahyang’ yang berasal dari istilah agama Hindu
ketika menyembah salah satu tuhannya bernama ‘Yang’, di sini telah terjadi
islamisasi kata kunci.
Polemik
Ucapan Natal
Menjelang
Natal tahun lalu (2012), di Mesir, Partai Keaslian Salafi (al-Ashalah
as-Salafi) menolak ucapan Natal. Ketua partai berideologi salafi itu, Adil
Abdul Maqshud, menegaskan bahwa dia tak akan pernah menghaturkan ucapan Natal
pada umat Kristiani yang menundukkan diri kepada Barat.
Tak
pelak lagi, pernyataan ketua ‘Partai Salafi’ di atas memicu reaksi dari
berbagai kalangan. Tidak terkecuali Dar al-Ifta’ yang merupakan lembaga fatwa
tertinggi di Negeri Piramida itu. Syekh Ali Jum’ah, Mufti Mesir sekaligus pimpinan
Dar al-Ifta’ merespon dengan mengatakan bahwa ucapan Natal boleh saja ditujukan
kepada kaum Nasrani dengan niat dan tujuan sebagai salah satu bentuk interaksi
sosial dan hadiah. Perlakuan baik terhadap sesama sangat ditekankan dalam
Alquran (Al-baqarah: 83; An-Nahl: 90; dan Al-Mumtahanah: 8). Namun ia sangat
berhati-hati dan memberi catatan: agar berhati-hati dalam pemberian selamat
tersebut dan tetap dalam koridor syariat dan tidak keluar dari akidah Islam.
Dalam
konteks interaksi tersebut, Rasulullah SAW juga kerap menerima dan memberi
hadiah kepada non muslim, seperti disebutkan dalam riwayat Ahmad dan Tirmidzi.
Karena itu, Syekh as-Sarkhasi dalam Syarh as-Siyar al-Kabir, memberi
hadiah untuk non-Muslim, termasuk pekerti yang mulia.
Tidak
ketinggalan pula, ulama kontemporer masa
kini, Syekh Yusuf al-Qadhawi menegaskan bolehnya ucapan Natal dengan
syarat-syarat tertentu, di antaranya, mereka tidak memerangi umat Islam.
Al-Qardhawi berdalih pada fikih kemudahan ‘fiqhul muyassar’, terutama jika umat
Kristiani itu memiliki hubungan emosional, seperti kerabat, tetangga, rekan
kerja, atau teman belajar.

Ada pun pakar fikih terkemuka, Prof Musthafa az-Zurqa, menyatakan,
ucapan selamat Natal tersebut adalah bagian dari basa-basi (al-mujamalah) dan interaksi
sosial yang elok dan, Islam tidak melarang perbuatan semacam ini. Terlebih
lagi, Nabi Isa, dalam pandangan Islam sangat dimuliakan. Baginya, siapa yang
menyangka bahwa ini akan merusak akidah, maka ia akan salah, sebab basa-basi tidak
berkaitan dengan akidah. Rasulullah—tambah az-Zurqa—pernah berdiri mengormati
jenazah Yahudi. Ini bukan soal akidah si Yahudi, tapi soal sakralitas kematian.
Polemik Natal juga mencuat di Arab Saudi. Komite Tetap Kajian dan
Fatwa negara setempat berpendapat, hukum ucapan Natal haram. Apalagi, hukum
mengikuti prosesi ibadahnya, sangat diharamkan. Mereka mengutif pendapat Ibnul
Qayyim, dan gurunya Ibnu Taimiyah. Ibnul Qayyim dalam “Ahkam Ahludz Dzimmah”
menegaskan bahwa ucapan terhadap ritual kekufuran haram hukumnya, seperti
ucapan selamat atas hari raya dan puasa mereka. Sekali pun pelakunya terhindar dari penyimpangan akidah,
tetap saja ucapannya dihukumi haram, dalilnya dalam Alquran Surah Ali Imran: 85, dan
Az-Zumar: 07. Bagi Ibnu Taimiyah dalam “Iqtidha as-Shirath al-Mustaqim”,
menekankan bahwa tindakan apa pun yang menyerupai dan membuat senang hati umat
Kristiani termasuk perbuatan batil. Pendapat ini juga yang menjadi rujukan
resmi Asosiasi Ulama Senior Arab Saudi.
Di
Indonesia, jauh-jauh hari, demi menghindari polemik semacam di atas, Majelis
Ulama Indonesia telah mengambil sikap jelas dan tidak remang-remang, menetapkan
bahwa mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam adalah haram dan agar
tidak terjerumus kepada syubhat dianjurkan untuk tidak mengikuti
kegiatan-kegiatan tersebut [termasuk ucapan Natal?], (Himpunan Fatwa MUI,
2010: 284).
Hingga saat ini, pemerintah dan, umat Islam
Indonesia masih tetap melimpahkan wewenan penetapan sebuah hukum, baik itu
halal, mubah, makruh hingga haram kepada MUI sebagai representasi umat Islam
Indonesia yang resmi dan diakui negara. Fatwa-fatwa MUI bahkan menjadi rujukan,
tidak hanya di Indonesia, tapi juga bagi masyarakat muslim yang ada di Asia Tenggara.
Jika ada oknum-oknum tertentu yang berseberangan dengan pendapat MUI maka,
idealnya harus ditolak. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, Anggota Majelis Intelektual-Ulama Muda Indonesia dan Peneliti LPPI
Comments