Kesesatan Syiah Berdasarkan Fatwa MUI Jatim

Memang, mata kuliah Sejarah
dan Peradaban Islam tidak bisa dielakkan untuk membahas masalah Syiah, karena
tidak sedikit dinasti (pemerintahan) yang tercatat dalam sejarah Islam berasal
dari sekte Syiah, Dinasti Fathimiyah dan Shafawi hanyalah dua di antaranya. Sebenarnya, ini bukanlah kali pertama alumni
doktoral UNI Syarif Hidayatullah itu membela Syiah, dalam beberapa diskusi
sebelum dan setelah itu, ia kerap mengutarakan bahwa perbedaan Ahlussunnah dan
Syiah hanyalah pada tataran furu’ (ranting) bukan ushul. Dan keluarnya
fatwa tentang kesesatan Syiah dapat menaikkan tensi perseteruan antara Syiah
dan Ahlussunnah.
Tidak sedikit yang
berpandangan seperti Prof. Rahim Yunus di atas, oleh karena itu, penting untuk
menyampaikan kebenaran yang sesungguhnya, dengan memaparkan hakikat kesesatan
Syiah, yang justru jika berkembang akan memorak-morandakan ukhuwah islamiyah
dan keutuhan bangsa Indonesia yang kita jaga bersama. Tanpa mengurangi rasa
hormat kepada dosen saya di atas sambil merujuk pada komentar Aristoteles saat
berbeda pendapat dengan gurunya, ia berkata, “Amicus Plato sed magis amica
veritas”, cintaku pada kebenaran melebihi cintaku pada guruku, Plato. Namun
realitas dan fakta menunjukkan bahwa jika sekte Syiah berada di tengah muslim
Ahlussunnah akan terjadi konflik yang tidak berkesudahan. Untuk meredam semua
itu, adalah sebuah langkah bijak jika mereduksi penyeberan Syiah sejak dini.
Dan MUI Jawa Timur telah menunaikan tugas mulia mereka sebagai penjaga
kemurnian Ajaran Islam, dan inilah tipe ulama sebagai pewaris para nabi, al-‘ulama
waratsatul anbiya’, dan jika dikemudian hari ada yang mengaku ulama namun
membela Syiah, maka harus dipertanyakan ke-ulamaannya, bisa saja yang
bersangkutan masuk dalam kategori ulama su’, karena al-haq dan al-bathil
tidak akan pernah bersatu, dan orang yang mencampuradukkan yang hak dan batil
lalu menyembunyikan kebenaran dalam keadaan sadar (SQ. 2: 42) merupakan perbuatan
maksiat dan kemungkaran.
Artikel kali ini, merujuk
pada buku “Fata MUI Provinsi Jawa Timur Tentang Kesesatan Ajaran Syiah, Dilengkapi
dengan Surat Edaran Kemenag RI, Fatwa MUI Pusat, dan Peraturan Gubernur,
Cetakan Jawa Timur, 2012”. Berikut petikan Sambutan Dewan Pimpinan MUI Jawa
Timur yang ditulis langsung oleh Ketua Umumnya, KH. Abdusshomad Buchori, Fatwa
tentang Kesesatan Ajaran Syiah ini merupakan salah satu produk keputusan fatwa
MUI Provinsi Jawa Timur. Kehadiran fatwa ini tidak lain dimaksudkan untuk
membentengi umat Islam Indonesia yang menganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah
dari rongrongan faham yang menyimpang. Karena itu isi fatwa ini patut diketahui
dan dipahami oleh umat Islam Indonesia yang mayoritas menganut faham
Ahlussunnah wal Jama’ah yang secara doktrin ajarannya mempunyai perbedaan yang
sangat mendasar dengan faham Syiah, (hlm. 47).
Ainul Yaqin, salah satu penyunting
buku Fatwa MUI Jatim ini menuturkan dengan gamblang bahwa tidak sedikit yang
tidak setuju atas keluarnya Fawa Kesesatan Syiah oleh MUI Jatim, ketika ia
mendampingi KH. Abdusshomad Buchori dalam sebuah acara dialog, seorang peserta
menggebu-gebu mengkritik pedas keluarnya fatwa tentang kesesatan ajaran Syiah.
Menurut Si Penanya, keluarnya fatwa tersebut bukan saja tidak memberikan contoh
yang baik, tapi sangat mencederai Ukhuwah Islamiyah, untuk membenarkan
argumennya, ia menyodorkan buku berjudul “Al-Muraja’at” tulisan Abdul Husein
bin Syarafuddin al-Musawi seorang tokoh Syiah yang telah di-Indonesiakan dengan
judul “Dialog Sunnah-Syiah”, menurutnya lagi, buku ini menyajikan sebuah dialog
yang baik antara Ahlussunnah dan Syiah, sehingga darinya bisa disimpulkan bahwa
Syiah adalah Sunni, dan Sunni adalah Syiah. Menyikapi pernyataan tersebut—tulis
Ainul Yaqin—KH Abdusshomad Buchori dengan ringan menjawab, “Sayangnya saudara
hanya membaca buku itu, kenapa saudara tidak membaca langsung buku-buku yang menjadi
sumber rujukan ajaran Syiah, seperti al-Kafi dan sebagainya!” (hlm. 50).
Kita dapat berprasangka baik
pada Si Penanya, sebagaimana juga pada Prof. Rahim Yunus, bahwa yang mengkiritk
fatwa MUI Jatim ini termasuk mereka yang memiliki harapan bersar terjalinnya
ukhuwah islamiyah yang memang menjadi dambaan banyak orang. Tapi sayangnya,
mereka (mungkin?) belum tau yang sebenarnya tentang ajaran Syiah. Sehingga
salah faham dengan fatwa MUI Jatim tersebut. Begitu pula, orang-orang yang
tidak memahami hakikat faham Syiah pun bisa mempunyai kesimpulan yang sama
kelirunya dengan Si Penanya di atas, termasuk sebagian kelompok sufaha’
yang akhir-akhir ini meminta agar Fatwa MUI Jatim tentang kesesatan Syiah dicabut.
Kita semua tentu mendambakan
terjalinnya ukhuwah islamiyah antara Ahlussunnah dan Syiah, tapi sejarah telah
membuktikan jika kedua aliran tersebut sangat tidak mungkin disatukan, keduanya
memang memiliki persamaan, setidaknya memiliki Tuhan dan Nabi yang sama, tetapi
terlalu banyak perbedaan pokok yang menganga tak terkecuali rukun iman dan
Islam. Ahlussunah dan Syiah laksana minyak dan air, kendati keduanya benda cair
tapi ia tak mungkin dapat bersatu. Andai saja keduanya bisa bersatu, sudah
barang tentu sejak dahulu kala, di zaman para imam mukabar, seperti para imam
mazhab, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hambal serta para imam hadis
seperti Bukhari dan Muslim, telah lebih dulu menyatukan keduanya, nyatanya, Ahlussunnah
dan Syiah tetaplah bermusuhan, pastinya usaha-usaha untuk mempersatukan keduanya
hanyalah sia-sia, dan buang-buang waktu belaka. Siapalah mereka dibandingkan
dengan para imam mazhab dan hadis di atas.
Problem pokoknya terletak
pada doktrin dan ajaran Syiah itu sendiri yang bersumber dari buku-buku rujukan
dasar faham mereka. Dalam buku pegangan sekte Syiah disebutkan bahwa darah
penganut Ahlussunnah halal (Bihar al-Anwar, Juz 27/hlm. 231) dan orang selain
Syiah adalah syirik dan kafir (Bihar al-Anwar, Juz 23/hlm. 390), bahkan
melecehkan Nabi dengan menyatakan, Sesungguhnya Nabi SAW mesti memasukkan
farjinya ke dalam api neraka karena telah menyetubuhi wanita musyrik [Aisyah
dan Hafshah, hal ini sebagaimana diketahui merupakan yang menyakitkan bagi Nabi
SAW dan keluarganya, karena jika farji Rasulullah dan keluarganya masuk neraka,
maka tidak akan ada yang masuk surga seorang pun selamanya]. (Kasyf al-Asrar wa
Tabriat al-Aimmat al-Athhar, hlm. 24-25), begitu pula, para sahabat Nabi yang
mulia—radhiallahu ‘anhum ajma’in—dicaci maki dan disebut murtad oleh mereka,
kecuali hanya segelintir (Raudhal al-Kafi, hlm. 198, dan Bihar Anwar, Juz 22/
hlm. 351), begitu pula Abu Bakar dan Umar—radhiallahu ‘anhuma—terlaknat oleh
Allah (Raudhatul al-Kafi, hlm. 199 riwayat no. 343), daftarnya akan terus
berlanjut. Maka patutlah kita bertanya, persatuan persaudaraan jenis apa yang
mereka inginkan?
Konyolnya, kalau bertemu
dengan Ahlussunnah, lalu disodorkan kitab-kitab sebagai rujukan untuk
menistakan Islam, maka dengan enteng menyangkal adanya doktrin-doktrin
tersebut, dan menyebutnya sebagai aliran Syiah yang sudah punah, dan seabrak
retorika dibarengi taqiyah lalu dipancarkannya cahaya cinta, kelemah-lembutan
di hadapan para pengikut Ahlussunnah, dan akhirnya tidak sedikit dari
Ahlussunnah terjebak dengan tipu daya, serta makar mereka. And the other
side doktrin-doktrin caci dan makian mereka tetap apik tertulis dan
tersimpang dalam kitab-kitab mereka untuk dijadikan rujukan utama. Bahkan,
Syiah yang selama ini dikonotasikan dengan Syiah moderat sekali pun seperti
Abdul Husain bin Syarafuddin Al-Musawi masih tetap menjadikan kitab al-Kafi
sebagai rujukan utamanya, al-Kafi sendiri memuat tiga bagian yaitu, Ushul al-Kafi, Furu’ al-Kafi, dan
Raudhat al-Kafi. Kitab rujukan Syiah ini terlalu banyak memuat riwayat-riwayat
janggal dan aneh, bahkan musy ma’ul—meminjam istilah bahasa ‘ammiyah Mesir yang
berarti tidak masuk akal—salah satunya adalah riwayat yang dinisbahkan pada
Imam Muhammad al-Baqir yang menyatakan bahwa sahabat Nabi, Abu Bakar as-Shiddiq
terlaknat oleh Allah (Raudhah al-Kafi, hlm. 133) padahal kita tahu bahwa
Muhammad al-Baqir telah menikahi cicit Abu Bakar as-Shiddiq, yakni Farwah binti
Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Shiddiq. Namun tetap saja pemuka dan ulama
Syiah seperti Abdul Husain bin Syarafuddin al-Musawi memuji-muji al-Kafi sebagai
kitab paling shahih di dunia. Dalam bukunya (Al-Muraja’at hlm. 419) menyatakan,
Wahiya mutawatirah wa madhaminuha maqthu’un bishihhatia, wa al-Kafi aqdamuha
wa a’dhamuha wa ahsanuha wa atqanuha. Kitab-kitab tersebut [yaitu al-Kafi,
al-Istibshar, dan Man La Yahdhuruhu al-Faqih] adalah mutawatir dan isinya
dipastikan shahih, sedangkan al-Kafi yang paling dahulu, paling agung, paling
baik, dan paling teliti.
Wal hasil, wacana Ahlussunnah
dan Syiah bergandengan tangan dalam bingkai ukhuwah islamiyah yang dikemukakan
para tokoh-tokoh Syiah maupun sebagian sufaha Ahlussunnah hanyalah
isapan jempol belaka. Inilah semua yang harus disadari oleh para pengikut
Ahlussunnah yang selama ini banyak kesengseng dengan Syiah, bahkan sampai
menyalahkan saudaranya dari Ahlussunnah yang konsisten menyuarakan permusuhan
terhadap ajaran Syiah. Untuk mengakhiri perdebatan, sesat tidaknya ajaran
Syiah, dengan brilian, Majelis Ulama Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa atas
kesesatan ajaran Syiah. Dengan ini, selesai sudah perdebatan tentang Syiah,
kesesatannya telah final dan tidak boleh ada yang sangkal, kecuali orang-orang
tolol, jahil murakkab, dan golongan sufaha, serta ulama su’.
Mungkin ada yang bertanya,
atau menyangkal dengan menyatakan, Itu kan bersifat lokal dan hanya
layak untuk Jawa Timur saja! Pernyataan
tersebut juga pernah terlintas dalam benak saya, namun setelah saya teliti
dengan seksama dan sedalam-dalamnya, ternyata prosedur penetapan kesesatan
sebuah aliran baik pusat maupun daerah tidak berbeda, artinya metodologi
kajiannya tetap sama dan hasilnya pun juga demikian, memiliki posisi yang sama,
baik pusat maupun daerah tidak bertentangan, dan tidak pula saling membatalkan
bahkan saling menguatkan.

Ada pun keputusan penetapan
aliran sesat yang dibuat oleh Komisi Fatwa MUI Pusat maupun MUI Daerah yang dibuat
berdasarkan pada pedoman di atas mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak
saling membatalkan. Bila ada perbedaan dalam penetapan aliran sesat antara MUI
Pusat dan MUI Daerah harus segera diadakan pertemuan antara keduanya untuk
mencari penyelesaian yang terbaik lalu menetapkan keputusan yang sama, (hlm.
81).
Oleh karena itu, suara-suara
sumbang yang mengkitik penetapan kesesatan Syiah oleh MUI Jatim dengan
sendirinya terjawab, termasuk pada Guru Besar dan Si Penanya di atas.
Mudah-mudahan keduanya tidak ‘ignorant’ atau kurang paham tentang perbedaan
pokok antara Ahlussunnah dan Syiah, atau malah mengidap penyakit ‘inferiority
conplex’ alias minder karena terkesima atas kemajuan bangsa Iran. Saya sangat
salut pada KH Abdusshomad Buchori yang walaupun telah mengunjungi Iran dengan
biaya dan fasilitas dari sekte Syiah namun tetap tidak kompromi dalam perkara
akidah. Sangat dianjurkan untuk memiliki buku Kesesatan Ajaran Syiah
berdasarkan Fatwa MUI Jatim ini, agar menjadi pedoman dalam menyikapi perbedaan
mendasar antara Ahlussunnah dan Syiah. Bahkan KH. Dr. Ma’ruf Amin selaku Ketua
MUI Pusat mendukung daerah lain untuk menjadikan Fatwa MUI Jatim ini sebagai
acuan dalam menetapkan ajaran sesat seperti Syiah. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir, M.A., Anggota MIUMI dan Peneliti LPPI
Comments