Assikalaibineng
Tidak ada yang paling sensasi dan kontroversial
dari gebrakan Menteri Kesehatan Nafsiah
Mboi selain adanya Pekan Kondom Nasional (PKN) yang digelar sejak 1 hingga 7
Desember ini dengan kantong-kantong seks berisiko sebagai sasarannya, agar
mampu mencegah penularan HIV/AIDS. Sang menteri menegaskan bahwa bagi orang
yang kurang kuat imannya dan tetap mau melakukan perilaku seks berisiko, paling
tidak, usahakan untuk tidak tertular dan menularkan penyakit, artinya selalu
pakai kondom.
Tak pelak lagi, pernyataan menteri asal Sulsel
itu menui banyak kritikan, salah satunya adalah Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari,
Guru Besar tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sang guru besar
menegaskan, di Indonesia, masih saja ada kelompok masyarakat yang menyatakan
kondom seratus persen aman. Padahal, kenyataannya tidaklah demikian. Survei di
lapangan dan penelitian di laboratorium membuktikan bahwa penggunaan kondom
hanya dapat mengurangi resiko penularan, tetapi tidak dapat menghilangkan sama
sekali resiko penularan virus HIV/AIDS.
Tidak hanya itu, Bagi Prof Dadang, kalau
masalahnya adalah ‘kurang iman’ maka
solusi yang tepat adalah diadakannya kampanye keimanan dan sanksi yang tegas
bagi pelaku zina. “Aneh, kalau pakai narkoba dilarang, kalau seks bebas tidak
dilarang. Di mana logikanya? Tidak masuk akal! Ini kondom hanya untuk orang
yang kurang iman, yang berisiko. Mengapa kita memberi peluang pada risiko itu?
Jangan diberi peluang!” Tegasnya.
Kampanye kondom tidak hanya bagi yang
berprilaku seks beresiko, nyatanya, mengawali PKN di Jogjakarta, tepatnya di
pintu masuk kampus Universitas Gajah Mada, berjejer gadis-gadis yang menwarkan
kondom gratis dengan nada menggalakkan dengan merayu pada mahasiswa. “Mas ini kondom
gratis, bisa dicoba sama pacaranya.” Kondom-kondom yang dibagikan itu berbentuk
kemasan dengan isi tiga. Terang saja banyak yang mencibir program Menteri
Kesehatan di atas, karena dianggap sebagai program tidak sehat dan cenderung melegitimasi
prilaku ‘senggama’ luar nikah. Konon, dana yang terpakai dalam PKN untuk ‘membungkus
kepala’ mencapai 50 miliar, padalah para Polwan yang hendak mengenakan tutup
kepala (jilbab) harus tertunda karena kepolisan belum memiliki dana.
Tidak aman
Beberapa temuan ilmiah
seputar rendahnya efektivitas kondom bagi upaya penyebaran virus HIV/AIDS,
dipaparkan oleh “Majalah Eramuslim Digest, Edisi Koleksi 5” sebagaimana
berikut: Dalam konferensi AIDS Asia Pasific di Chiang Mai, Thailand (1995),
dilaporkan bahwa penggunaan kondom aman tidaklah benar; Disebutkan bahwa pada
kondom—yang terbuat dari bahan latex—terdapat pori-pori dengan diameter 1/60
mikron dalam keadaan tidak meregang, sedangkan bila dalam keadaan meregang,
lebar pori-pori tersebut mencapai sepuluh kali. Sementara ukuran virus HIV
berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian, virus HIV dapat dengan leluasa
menembus kondom; Laporang dari Customer Report Magazine (1995) menyatakan bahwa
pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat pori-pori
kondom yang sepuluh kali lebih besar dari virus HIV; V. Cline (1995), professor
Psikologi Universitas Uttah, Amerika Serikat, menegaskan bahwa memberi
kepercayaan kepada remaja atas keselamatan berhubungan seksual dengan
menggunakan kondom adalah sangat keliru. Jika para remaja percaya bahwa dengan
kondom mereka aman dari HIV/AIDS atau penyakit kelamin lainnya, berarti mereka
telah tersesatkan; Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Biran Effendi
(2000) menyatakan bahwa tingkat kegagalan kondom dalam Keluarga Berencana (KB)
mencapai dua puluh persen. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Prof. Dr.
Haryono Suyono (1994) bahwa kondom dirancang untuk Keluarga Berencana dan bukan
untuk mencegah HIV/AIDS. Dapat diumpamakan bahwa besarsnya sperma seperti
ukuran jeruk garut, sedangkan kecilnya virus HIV/AIDS seperti ukuran titik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kegagalan kondom untuk program
Keluarga Berencana saja mencapai dua puluh persen, apalagi untuk program
HIV/AIDS, maka akan lebih besar lagi tingkat kegagalannya.
Assikalaibineng
Di
dunia ini, banyak bangsa yang telah memiliki peradaban tinggi, termasuk
kebudayaan. Di antara bangsa-bangsa tersebut ada yang merekam kebudayaan seks
mereka dalam bentuk oral maupun manuskrip. India dengan kamasutra-nya
sebuah kitab fantastik karya Vatsyayana, kitab yang menyajikan wawasan
seksualitas bagi manusia sebagai jalan hidup untuk mencapai moksa.
Bangsa Romawi juga memiliki literatur bernama Ars Amatoria -the arts of
love-, karya Publius Naso. Di Indonesia, setidaknya ada dua suku yang memiliki
kitab serupa di atas, suku Jawa dengan Serat Nitimani, merupakan jenis
dari sastra Wulang yang membahas tentang pendidikan seks Jawa sebagai tuntunan
hidup pria yang akan berumah tangga. Kalangan masyarakat Bugis, termasuk suku
yang berbudaya karena banyak menulis dan membukan ragam ilmu pada masa silam,
salah satunya yang dikenal dalam lontara adalah kitab Assikalaibineng. Keberadaan
kitab Assikalaibineng yang mengajarkan masalah hubungan seksual
menunjukkan bahwa pengetauan tersebut menjadi salahsatu bagian penting dalam
masyarakat Bugis.
Assikalaibineng
adalah bentukan dua kata dasar yaitu kata lai ‘laki-laki’ dan kata bine
atau baine ‘perempuan’. Dua kata dasar ini adalah kata sifat kemudian
membentuk kata majemuk yaitu “laibine”. Kata majemuk ini kemudian mendapat
imbuhan berupa awalan rangkap “a+si+ka” serta akhiran ng yang berfungsi
membentuk status kata dasar sifat jenis kelamin berubah menjadi kata Assikalaibineng
yang berarti “hal ihwal hubungan suami istri –hubungn seksual-”. Assikalaibineng
secara semantik diartikan sebagai pengetauan yang membicarakan tentang hubungan
ke-suami-istri-an, (Mukhlis Hadrawi “Assikalaibineng”, 2008).
Assikalaibineng
menyajikan ilmu berupa pelajaran dan tuntunan yang berhubungan dengan seks
secara benar bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas hubungan intim. Atau
juga merupakan wawasan mengenai hakikat relasi suami istri yang bukan sekadar
bermakna biologis namun juga berdimensi psikologis, sosial, serta spiritual.
Tatacara berhubungan seks sebagaimana dalam Assikalaibineng adalah
merupakan sejenis practical knowledge,
karena menyajikan pengetauan yang dapat diperaktikkan langsung oleh
masyarakat dalam kehidupan rumah tangga. Pengetauan terkait ‘senggama’ dapat
menjadi tuntunan bagi keluarga dalam berhubungan intim yang dikendalikan oleh
nilai-nilai culture velue budaya Bugis yang selaras dengan semangat
nilai-nilai Islam Islamic value. Konsep Assikalaibineng tidak
memandang seks sebagai perilaku yang kacau chaos dan bebas nilai free
of value. Melainkan sebuah perbuatan manusia yang memiliki nilai sakral
berdasarkan pada nilai-nilai budaya Bugis yang sejalan dengan agama Islam. Oleh
sebab itu, sistem kebudayaan Bugis menempatkan Assikalaibineng sebagai
pengetauan positif dan bermanfaat bagi masyarakat luas dalam pembinaan
seksualitas keluarga, sebagai salah satu syarat terciptanya keharmonisan rumah
tangga, yang merupakan salah satu tujuan dasar pernikahan.
Suku
Bugis yang telah terislamisasi memandang bahwa hubungan seks atau senggama
hanya dapat dilakukan dengan melalui satu pintu yang disebut nikah. Dengan cara
apa pun selain nikah dipandang sebagai perbuatan yang mendatangkan kutukan dan
dosa besar. Demikian halnya dengan Islam, senggama adalah bagian dari proses
regenerasi umat manusia, karena manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia,
maka sewajarnya jika melakukan senggama dengan cara-cara yang beradab melalui
jalinan suami istri.
Pekan
Kondom Nasional alias kondomisasi bukanlah sebuah solusi yang tepat, bahkan
cenderung menyesaktkan. Jika pemerintah hendak meredam angka pengidap HIV/AIDS,
maka jalan utama dan pertama adalah berusaha meningkatkan kualitas iman dan
takwa warganya serta menggalakkan para pemuda-pemudi untuk menikah dan
bertanggungjawab terhadap keluarganya. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, Alumni Pascasarjana UMI Makassar, Anggota Majelis Intelektual dan Ulama
Muda Indonesia (MIUMI)
Comments