20 Bahaya Maksiat

Umat Islam memiliki satu konsep yang
dipahami secara konsensus bahwa perintah
dan larangan dalam agama dapat dijalankan dengan dasar ta’abbudi—kepatuhan sebagai
hamba Allah (abdullah) tanpa banyak cincong—dan ta’aqquli—dapat dinalar oleh
akal. Oleh karena itu,bahaya maksiat ditinjau dari dua segi di atas, ta’abbudi
maupun ta’aqquli sangat jelas dan terang.
Sebagai contoh, adanya larangan untuk mengkonsumsi daging babi, bagi segenap umat Muhammad, mematuhi larangan tersebut adalah sebuah keniscayaan tanpa ada protes, mengapa dan bagaimana hal itu terlarang, inilah bentuk ta’abbudi. Belakangan didapati bahwa ternyata memakan daging babi akan mendatangkan penyakit tertentu karena pada daging tersebut mengandung cacing pita. Itu berarti menghindari daging babi akan mendatangkan kemaslahatan, inilah bentuk ta’aqquli. Kecuali itu, ada pula ta’abbudi dan ta’aqquli sekaligus, seperti larangan berzina dengan menghukum pelakunya seberat mungkin, karena memang telah terdapat larangan untuk mendekatinya—apalagi melakukannya—dalam bentuk wahyu Al-Qur’an dan hadis Nabi juga telah dipaparkan cara-cara pelaksanaan hukumannya dengan gamblang, tidak ada ruang untuk mengingkarinya, ini dipandang dari ta’abbudi sedang dari ta’aqquli jelas-jelas bahwa zina adalah perbuatan yang dapat merugikan kedua belah pihak, terutama wanita yang menjadi korban, dan dalam tahap tertentu—jika terlalu bebas—dapat mendatangkan penyakit (kutukan) seperti HIV/AIDS.
Sebagai contoh, adanya larangan untuk mengkonsumsi daging babi, bagi segenap umat Muhammad, mematuhi larangan tersebut adalah sebuah keniscayaan tanpa ada protes, mengapa dan bagaimana hal itu terlarang, inilah bentuk ta’abbudi. Belakangan didapati bahwa ternyata memakan daging babi akan mendatangkan penyakit tertentu karena pada daging tersebut mengandung cacing pita. Itu berarti menghindari daging babi akan mendatangkan kemaslahatan, inilah bentuk ta’aqquli. Kecuali itu, ada pula ta’abbudi dan ta’aqquli sekaligus, seperti larangan berzina dengan menghukum pelakunya seberat mungkin, karena memang telah terdapat larangan untuk mendekatinya—apalagi melakukannya—dalam bentuk wahyu Al-Qur’an dan hadis Nabi juga telah dipaparkan cara-cara pelaksanaan hukumannya dengan gamblang, tidak ada ruang untuk mengingkarinya, ini dipandang dari ta’abbudi sedang dari ta’aqquli jelas-jelas bahwa zina adalah perbuatan yang dapat merugikan kedua belah pihak, terutama wanita yang menjadi korban, dan dalam tahap tertentu—jika terlalu bebas—dapat mendatangkan penyakit (kutukan) seperti HIV/AIDS.
Perbuatan maksiat, jika ditinjau dari segi sosial akan merugikan masyarakat karena jika musibah datang tidak hanya menimpa pada pelakunya seorang, akan tetapi pada segenap masyarakat yang ada di sekitar pelaku maksiat, sebagaimana disitir Al-Qur'an, Wattaqu fitnatan la tushibanna al-ladzina dzalamu minkum khassah. Takutlah akan musibah--akibat maksiat--yang jika turun tidak hanya menimpa para pelaku maksiat, (QS. Al-Anfal: 25). Sedang jika ditinjau dari segi personal, pelaku maksiat akan mendatangkan banyak kehinaan. Berikut, beberapa
implikasi yang ditimbulkan oleh maksiat.
Pertama. Maksiat Menghalangi Ilmu Pengetahuan: Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Namun, kemaksiatan dalam diri kita dapat menghalangi dan memadamkan cahaya tersebut. Karena itu, tatkala Imam Syafi’i rahimahullah duduk di hadapan Imam Malik untuk belajar, Imam Malik sangat kagum akan kecerdasan dan daya hafalnya hingga beliau bertutur, “Aku melihat Allah telah menyiratkan cahaya di hatimu, wahai anakku. Janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat. “Imam Syafi’i bertutur, Aku mengadu tentang kelemahan hafalanku yang buruk. Dia memberiku bimbingan untuk meninggalkan kemaksiatan seraya berkata, ‘Ketahuilah, ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada si pelaku dosa dan kemaksiatan’[Syakautu ila waqi’i ‘an su’a hifdzi. Fa’arsyadani ila tarkil-ma’ashi. Fa akhbarani biannal-‘ilma nurun wa nurullah la yuhda lil ‘ashy!].
Pertama. Maksiat Menghalangi Ilmu Pengetahuan: Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Namun, kemaksiatan dalam diri kita dapat menghalangi dan memadamkan cahaya tersebut. Karena itu, tatkala Imam Syafi’i rahimahullah duduk di hadapan Imam Malik untuk belajar, Imam Malik sangat kagum akan kecerdasan dan daya hafalnya hingga beliau bertutur, “Aku melihat Allah telah menyiratkan cahaya di hatimu, wahai anakku. Janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat. “Imam Syafi’i bertutur, Aku mengadu tentang kelemahan hafalanku yang buruk. Dia memberiku bimbingan untuk meninggalkan kemaksiatan seraya berkata, ‘Ketahuilah, ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada si pelaku dosa dan kemaksiatan’[Syakautu ila waqi’i ‘an su’a hifdzi. Fa’arsyadani ila tarkil-ma’ashi. Fa akhbarani biannal-‘ilma nurun wa nurullah la yuhda lil ‘ashy!].
Kedua. Maksiat Menghalangi Rezeki: Di dalam kitab “Musnad Ahmad” disebutkan,
“Seorang hamba dicegah dari rezki akibat dosa yang diperbuatnya”. Jika
ketakwaan merupakan penyebab datangnya rezeki, maka meninggalkannya dapat
menimbulkan kekafiran. Tidak ada satupun yang dapat memudahkan rezeki Allah
kecuali dengan meninggalkan maksiat.
Ketiga. Maksiat Menimbulkan Jarak dengan Allah: Jauh atau sunyinya hati seorang
manusia dari cahaya Allah disebabkan oleh perbuatan maksiatnya. Tidak ada
perbuatan meninggalkan dosa yang dapat menghilangkan kesunyian tersebut kecuali
berwaspada dari perbuatan maksiat. Seseorang yang berakal tentu akan dengan
mudah meninggalkan kesunyian itu. Diriwayatkan, bahwa ada seorang laki-laki
yang mengeluh kepada seorang yang arif tentang kesunyian jiwanya. Sang Arif berpesan, Jika kegersangan hatimu akibat
dosa-dosa , maka tinggalkanlah. Dalam hati, tak ada perkara yang lebih pahit
daripada kegersangan dosa di atas dosa.
Keempat. Maksiat Menjauhkan Pelakunya dengan Orang Lain: Kemaksiatan dapat menjauhkan seorang manusia
dengan manusia yang lain, lebih-lebih dengan golongan yang baik. Semakin kuat
tekanan perasaan tersebut, semakin jauhlah ia dari mereka dan semakin
terhalangilah berbagai manfaat dari mereka; akhirnya dia semakin mendekati
setan. Kesunyian dan kegersangan itu semakin menguat hingga berpengaruh pada
hubungan dia dengan istri dan anak-anaknya, juga antara dia dengan nuraninya sendiri.
Seorang salaf berkata, Sesungguhnya aku bermaksiat kepada Allah, maka aku lihat
pengaruhnya pada perilaku binatang dan istriku.
Kelima. Maksiat Menyulitkan Urusan: Pelaku maksiat akan menghadapi kesulitan
dalam mengatasi segala masalahnya sebagaimana ketakwaan dapat memudahkan segala
urusan. Karenanya, sungguh mengherankan jika seorang hamba sulit menghampiri
pintu-pintu kebenaran sementara penyebabnya tidak ia ketahui.
Keenam. Maksiat Menggelapkan Hati: Pelaku maksiat akan senantiasa mengalami
kegelapan hati seperti gelapnya malam. Ketaatan itu adalah cahaya sebagaimana
sinar matahari, sedangkan kemaksiatan adalah gelap gulita di malam hari. Ibnu
Abbas r.a berkata, Sesungguhnya perbuatan baik itu mendatangkan pencerahan pada
wajah dan cahaya pada hati, kelapangan rezeki, kekuatan badan, dan kecintaan.
Sebaliknya, perbuatan buruk itu mengandung ketidakceriaan pada raut muka,
kegelapan di kubur dan di hati, kelemahan badan, susutnya rezeki, dan kebencian
makhluk.
Ketujuh. Maksiat Melemahkan Hati dan Badan: Jika kemaksiatan dianggap dapat
melemahkan hati, itu sudah tidak diragukan lagi, bahkan kelemahan itu tidak
akan lenyap sampai mati. Dan jika kemaksiatan dikatakan dapat melemahkan badan,
itu karena kekuatan badan seorang mukmin terpancar dari kekuatan hatinya. Jika
hatinya kuat, kuatlah badannya. Sedangkan, bagi pelaku maksiat, walaupun
badannya kuat, sesungguhnya dia sangat lemah dan rapuh, jika kekuatan itu
sedang ia butuhkan, sehingga kekuatan yang ada pada dirinya sering menipu
dirinya sendiri (fatamorgana).
Kedelapan. Maksiat Menghalangi Ketaatan: Dosa dan maksiat akan menghalangi si pelaku
dari ketaatan sehingga ia akan memutuskan ketaatan yang lain, dan terputuslah
jalan ketaatan selanjutnya. Begitulah seterusnya. Akhirnya, putuslah setiap ketaatan
yang nilainya lebih baik daripada dunia dan seisinya.
Kesembilan. Maksiat Membuat Umur Terasa Pendek dan Menghapus Keberkahan: Jika
kebajikan dikatakan dapat menambah umur, otomatislah, maksiat dapat mengurangi
umur. Pada dasarnya, umur manusia dihitung dari masa hidupnya. Sementara itu,
tak ada yang namanya hidup kecuali jika dihabiskan dengan ketaatan, ibadah,
cinta, dan dzikrullah, serta mementingkan keridhaan-Nya.
Kesepuluh. Maksiat Menumbuhkan Maksiat Lain: Manusia yang sudah terperangkap dalam
kemaksiatan akan merasa sulit untuk keluar dan melepaskan diri darinya. Diantara
dampak negatif keburukan adalah menimbulkan keburukan yang lain. Sedangkan,
pengaruh kebaikan adalah mendatangkan kebaikan berikutnya. Maka jika Anda
melakukan suatu kebaikan, kebaikan yang lainnya akan meminta untuk dilakukan,
begitu seterusnya hingga Anda memperoleh keuntungan yang berlipat ganda dan
kebaikan yang tidak sedikit. Begitu juga halnya dengan keburukan. Dengan
demikian ketaatan dan kemaksiatan merupakan sifat yang kokoh dan kuat serta
menjadi kebiasaan yang teguh pada diri seseorang.
Kesebelas. Maksiat Mematikan Bisikan Hati Nurani: Inilah bahaya maksiat yang paling
menakutkan karena kemaksiatan dapat menyebabkan putusnya secara perlahan-lahan
keinginan untuk bertobat, hingga habislah sama sekali. Jika meninggal,
setengahnya pun tak akan pernah dia bertobat kepada Allah. Justru dia datang
dengan istighfar dan tobat gaya para orang munafik yang hanya di bibir
sedangkan hatinya masih terus-menerus terjerat kemaksiatan yang masih tetap
dijalaninya. Inilah penyakit yang paling berbahaya dan paling dekat dengan
kebinasaan.
Keduabelas. Maksiat Menghilangkan Keburukan Maksiat itu Sendiri: Jika kemaksiatan
sudah menghilangkan anggapan kemaksiatan itu merupakan suatu keburukan,
kemaksiatan akan menjadi adat kebiasaan sehari-hari yang menyebabkan
pelakunya tidak memiliki rasa malu. Orang-orang fasik berpendapat bahwa hal itu
merupakan puncak kebahagiaan dan kebanggan sehingga dengan bangganya dia
berkata, “Hai Fulan, semalam aku telah berbuat anu….”. Orang seperti itu tidak
akan peduli dengan cemoohan orang lain. Dengan begitu, baginya jalan tobat
sudah tertutup dan pintu-pintunya telah terkunci. Sehubungan dengan itu,
Rasulullah saw bersabda, “Setiap umatku
dimaafkan kecuali yang beraksiat terang-terangan. Diantara maksiat
terang-terangan adalah seorang hamba yang dengan bangganya menceritakan
perbuatan maksiatnya, padahal Allah telah menutupinya. Dia berkata, ‘Hai Fulan,
kemarin aku berbuat anu … anu …’ Dengan begitu, sebenarnya dia telah mengoyak
kehormatan dirinya sendiri, padahal Allah telah menutupinya semalam-malaman.
“ (HR. Bukhari-Muslim).
Ketigabelas. Maksiat Warisan Umat yang Pernah Diadzab: Homoseksual adalah warisan kaum
Luth a.s. Berbuat curang dengan mengurangi dan melebihkan takaran adalah
peninggalan kaum Syuaib a.s. Sombong di muka bumi dengan menciptakan berbagai
kerusakan merupakan warisan Fir’aun dan kaumnya. Takabur dan congkak merupakan
warisan kaum Hud a.s. Jika begitu dapatlah dikatakan pelaku maksiat pada zaman
sekarang adalah kaum yang memakai baju umat-umat terdahulu dari golongan musuh
Allah.
Keempatbelas. Maksiat Menimbulkan Kehinaan: Imam Hasan Basri berkata, Mereka hina dan
rendah dalam pandangan Allah SWT sehingga mereka pun sangat mudah bermaksiat.
Sekiranya dalam pandangan Allah seseorang telah hina, tidak ada seorang pun
yang memuliakannya. Kalaupun diantara lingkungannya yang menghormati dia, itu
mereka lakukan karena pamrih atau takut.
Kelimabelas. Maksiat Memudahkan Perbuatan Dosa: Kondisi maksiat yang sudah seperi itu
merupakan cir-ciri kehancuran karena manakala dosa dianggap kecil atau ringan oleh hamba, dalam
pandangan Allah SWT, dosa itu menjadi besar.
Keenambelas. Maksiat Mewariskan Kehina-dinaan: Kemaksiatan dapat melahirkan kehina-dinaan
karena kemuliaan itu hanya akan muncul akibat ketaatan kepada Allah SWT,
sebagaimana firman-Nya, “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi
Allah lah kemuliaan itu” (QS. Faathir: 10). Karena itu, hendaklah kemuliaan itu
diraih melalui ketaatan kepada Allah.
Ketujuhbelas. Maksiat Merusak Akal: Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah sehingga
akalnya hilang. Karena, sekiranya akalnya masih berjalan tentu akan mencegahnya
dari kemaksiatan dan dia berada dalam genggaman dan kekuasaan Allah SWT.
Sementara, malaikat-Nya menyaksikan. Nasihat Al-Qur’an pun mencegahnya, begitu
juga dengan nasihat keimanan. Orang yang luput dari kemaksiatan adalah orang
yang terbaik dan di akhirat kelak dia akan memperoleh kebahagiaan dan
kenikmatan yang berlipat ganda. Maka, adakah orang yang memiliki akal sehat itu
mau melakukan kemaksiatan yang penuh kehinadinaan?
Kedelapanbelas. Maksiat Menutup Hati: Pada dasarnya kotoran hati timbul akibat
kemaksiatan. Bertambahnya kemaksiatan menyebabkan kotoran semakin berkarat
sehingga menjadi karakter yang mengalahkan peran jiwa. Hal seperti itu akan
berakhir hanya kalau si pelaku mendapatkan hidayah. Kalau tidak, pelaku akan
disetir kemaksiatan selamanya.
Kesembilanbelas. Maksiat Dilaknat Rasulullah saw: Nabi telah melaknat perbuatan maksiat
seperti mengubah penunjuk jalan padahal penunjuk jalan itu sangat penting,
melakukan homoseksual, menyerupai laki-laki bagi perempuan atau menyerupai
perempuan bagi laki-laki, mengadakan praktek suap-menyuap dan sebagainya.
Semakin besar maksiat yang dilakukan, semakin besar laknat beliau atas mereka.
Seseorang yang melakukan hal-hal seperti di atas, berarti dia telah meridhai dirinya
dilaknat Allah SWT, Rasulullah saw, dan malaikat.
Keduapuluh. Maksiat Meremehkan Allah: Jika seseorang berlaku maksiat, disadari atau
tidak rasa untuk mengagungkan Allah perlahan-lahan lenyap dari hati. Jika
perasaan tersebut masih ada dalam hatinya, itu dapat mencegah seseorang dari
berlaku maksiat.
Oleh sebab itu,
ditinjau dari segi agama, perbuatan maksiat sangat merugikan para pelakunya,
baik di dunia lebih-lebih di akhirat. Di dunia, akan mendapatkan kehinaan di sisi Allah
dan manusia, serta di akhirat mendapat siksaan yang sesuai dengan kadar
kemaksiatan yang ia lakukan. Maka benarlah sabda Nabi, Al-kaysu man dana
nafsahu wa ‘amila lima ba’dal maut. Manusia jenius adalah yang rela
merendahkan dirinya—di hadapan Allah dan manusia—demi menyiapkan tabungan setelah ia
wafat. Cocok dengan
pesan ahli hikmah (hukama’) yang berkata, Rubba syahwatin sa’ah auratsa
huznan thawilan. Begitu banyak manusia terperdaya untuk melakukan
kemaksiatan karena nafsu sesaat, yang akan mendatangkan kepedihan dan kesedihan
tak berujung. Wallahu A’lam!
Mayampa, Gowa,
20/12/2013. Ilham Kadir, MA. Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments