Ulama Pewaris Para Nabi
Sejak masuknya Islam di Indonesia hingga saat ini, ulama sebagai
pemimpin umat telah menjadi sorotan dalam kajian-kajian para peneliti terhadap
kepemimpinan Islam. Umumnya, dalam pelbagai kajian dan penelitian tentang ulama
di Indonesia melahirkan konklusi bahwa ulama adalah tokoh yang memiliki posisi
strategis dan sentral dalam masyarakat. Greetz sebagaimana dikutif As’ad
berpendapat bahwa ulama sebagai makelar budaya (cultural brokers) yang
berfungsi sebagai mata rantai utama yang menghubungkan sistem lokal dengan
keseluruhan sistem yang lebih besar. Para ulama telah memainkan peran perantara
bagi umat Islam dengan memberi mereka pemahaman tentang apa yang sedang terjadi
pada dunia luar, (As’ad, 2001:1).
Ada pun
Horikoshi, ia berpendapat bahwa ketokohan ulama bukan hanya sebagai makelar
budaya, atau sekadar perantara, tetapi lebih sebagai pemimpin tradisional yang
memiliki kemampuan untuk menggerakkan orang-orang desa sesuai pengakuan mereka
terhadap status dan peran ulama sebagai pemimpin masyarakat, (Horikosi, 1987).
Ada pun Abdul Kadir Ahmad mengamati peran ulama dari sesi dinamika dan
perubahan masyarakat. Menurutnya, peran terpenting ulama adalah menjadi
mediator yang menghubungkan masyarakat dengan ajaran agamanya. Ulama mempertemukan
antara energi budaya dari dalam masyarakat dengan input dinamika dari luar.
Ulama melakukan transmisi ajaran agama Islam (syariat, akidah, akhlak) ke dalam sistem sosial atau masyarakat luas
yang membuat masyarakat bergerak dinamis sesuai dengan model yang diharapkan.
Pada sisi lain, ulama juga menyerap dinamika yang berkembang di dalam
masyarakat dan mentransformasikan budaya tersebut –jika memang tidak
bertentangan dengan ajaran agama—dengan ajaran yang diyakini kebenarannya,
(Ahmad, 2008: 459).
Pewaris Para Nabi
Ulama
adalah para pewaris nabi (al-‘ulama waratsatul anbiya’) yang melanjutkan
peran Nabi sebagai penjaga dan pembahwa risalah Allah untuk disampaikan kepada
umat manusia. Ulama adalah pemimpin agama dan umat, yang memiliki ciri khas
berupa kedalaman ilmu dan ketinggian moralnya. Tampil sebagai pemimpin panutan,
terutama dalam segi keikhlasan, kesederhanaan, dan dedikasinya dalam menuntun
umat ke jalan yang benar. Oleh karena itu, secara moral dan syariat, ulama
mengemban beberapa fungsi sebagaimana dinyatakan dalam Alquran, yaitu: tabligh (menyampaikan
pesan-pesan agama) yang menyentuh hati dan merangsang pengamalan; tibyan
(menjelsakan masalah-masalah agama berdasarkan kitab suci) secara
transparan; tahkim (menjadikan Alquran sebagai
sumber utama dalam memutuskan perkara) dengan bijaksana dan adil; dan Uswah
hasanah (menjadi teladan yang baik) dalam pengamalan agama.
Seorang ulama adalah mufti,
yang menjadi wakil Allah di muka bumi yang seharusnya memiliki kemampuan yang
luas tentang ilmu-ilmu Islam, menguasai dalil-dalil hukum, memahami ilmu-ilmu
bahasa Arab, jeli dan peka terhadap kehidupan masyarakat, di samping harus
memiliki kemampuan dalam memahami masalah fiqhiyah dan istimbath. Bagi Al-Qadhawi, seorang ulama yang juga berposisi
sebagai mufti, atau yang berhak memberikan fatwa kepada umat Islam tentang
berbagai problem yang terjadi di tengah masyarakat harus memiliki mentalitas
Islam yang kuat disertai pengetahuan yang mendalam tentang dua sumber agama
yang asasi: Al-Qur’an dan as-Sunnah, (Al-Qardhawi, 1994: 25).
Tidak diperkenankan memberikan fatwa agama bagi seorang yang tidak
memiliki kemampuan dalam memahami bahasa Arab dan selera bahasa (dzauq)
yang dalam, tidak mengetahui tentang macam-macam ilmu Bahasa Arab (seperti Nahwu,
Sharaf, dan Balaghah) disertai sastranya (‘Arud dan Al-Qafiyah), karena tanpa
itu, ia dipastikan tidak akan memahami Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan baik.
Pendalaman terhadap pendapat-pendapat para ahli Fikih juga mutlak dikuasai agar
mengetahui cara-cara menemukan hukum dan beristimbath, juga supaya
mengetahui masalah-masalah yang telah disepakati keharaman dan kehalalannya,
serta masalah-masalah yang tetap menjadi perdebatan status hukumnya.
Al-Qardhawi mengutif sebuah kaidah berhubungan dengan pentingnya penguasaan
pada perbedaan pendapat di antara para fuqaha dalam berfatwa, “Barang
siapa yang belum mengenal perbedaan pendapat para ahli fikih, ia belum bisa
mencium bau fikih”. Jadi, pengetahuan tentang ikhtilaf (perbedaan) di
antara ahli fikih, bagi seorang ulama mufti adalah mutlak adanya. Oleh karena
itu, menjadi ulama bukanlah perkara mudah, tapi tidak pula merupakan hal yang
sulit sehingga orang kian tidak tertarik menjadi ulama. Sebab itu, dalam Islam,
kedudukan ulama sangat mulia dikarenakan cara menggapainya yang memerlukan
waktu panjang dan perjuangan yang juga tidak mudah, (Al-Bankani, 2004).
Penjaga Agama
Salah satu fungsi turunnya
syariat (maqashid al-syariah) bagi umat Islam adalah untuk menjaga agama
(hifdzu al-din) dan manusia yang paling tau tentang syariat adalah para
ulama. Jadi, ulama berfungsi sebagai para penjaga agama, dan Allah tidak
melenyapkan agama dengan mencabut ajaran Islam, melainkan dengan mematikan para
ulama. Salah satu cara para ulama dalam menjaga agama adalah menangkis serangan
dari para penceroboh agama yang melakukan penyimpangan dengan mengadakan
pembinaan, penyuluhan, hingga perdebatan (mujadalah) kepada mereka-mereka yang
telah divonis sesat seperti Syiah—oleh MUI Jawa Timur—dan Ahmadiyah—oleh MUI
Pusat.
Adalah naif jika dikatakan bahwa ‘perdebatan tentang
perbedaan mazhab adalah pikiran usang yang telah membuat umat Islam (ulamanya)
lalai dari menangani persoalan-persoalan besar di sekitarnya’ sebagaimana yang
ditulis Prof Qasim Mathar “Pikiran Usang di Sekitar Sunni-Syiah-Ahmadiyah” (Tribun
Timur, 21/11/2013). Persoalan umat tentang keberadaan aliran sesat harus
terus didiskusikan agar menemukan solusi terbaik serta menghindari adanya
konflik antar sesama yang akan merugikan umat, bangsa dan negara. Perdebatan—yang
dalam bahasa Alquran disebut—mujadalah adalah bagian daripada dakwah. Wajadilhum
bi allati hiya ahsan, debatilah mereka dengan cara yang baik (QS. 16: 125),
demikian Allah berfirman.
Namun perlu dicatat, dalam berdebat ada adab-adabnya, di antaranya
adalah tidak boleh memaksakan pendapat kita untuk diterima orang lain, selama
yang lain juga memiliki hujah yang kuat dan berlandaskan pada dua sumber utama
agama: Alquran dan as-Sunnah. Tindakan anarkis jelas bukan bagian dari
perdebatan dan pasti tidak baik (ghaeru ahsan). Dan begitu pula, jika
sebuah aliran sudah divonis kesesatannya oleh MUI baik Pusat maupun Daerah,
maka terhadap aliran tersebut harus dilakukan pembinaan, bukan pembiaran dan
pembinasaan, dan itu juga bagian dari tugas ulama yang berfungsi sebagai
penjaga agama. Walahu A’lam!
Ilham Kadir,
Alumni Pascasarjana UMI Makassar, Peneliti LPPI
Comments