Syiah dalam Pandangan Prof. Rasjidi (3)
Sebuah website, dengan nama, www.lppimakassar.net,
LPPI yang dimaksud di sini adalah Laskar Penjaga Persatuan Islam, atau lebih
tepatnya, ‘LPPI gadungan’ karena pada dasarnya ia hadir dengan dendam kesumat
terhadap Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) yang memiliki website
resmi: www.lppimakassar.com. Terlihat
pula dengan jelas jika para pengelolah website tersebut dari manusia-manusia
sufaha dan jahil murakkab, atau—meminjam istilah hadis—sebagai la
yadri annahu la yadri, tidak tau jika dirinya itu jahil, lebih tepatnya, jahil
kuadrat. Mereka adalah para golongan sempalan Syiah di Makassar.
Sebuah tanggapan yang dialamatkan
pada tulisan yang memuat resensi buku karya Prof. Dr. H.M. Rasjidi, “Apa Itu
Syiah” ulasan tersebut saya beri nama “Syiah dalam Pandangan Prof. Rasjidi”
seri kedua. Pihak LPPI gadungan menanggapi tulisan itu dengan judul provokatif,
“LPPI Said Samad Menolak Hadis di Sahih Muslim”. Terlihat jelas
jika penulisnya secara subyektif menyerang Ustad Said Abd Shamad dan LPPI,
padahal sejatinya resensi tersebut tidak ada hubungannya dengan Ustad Said,
karena jangankan ditulis, tulisan tersebut dibaca pun tidak, dan beliau juga
tidak pernah tau kalau ada resensi buku yang saya tulis semacam itu. Jadi, LPPI
gadungan itu salah alamat.
Dalam
tanggapannya, lppimakassar.net menulis bahwa hadis Sahih Muslim, kitab “al-Imarah”
no. 1851 berbunyi—saya hanya menukil makna matannya saja. "Barangsiapa
yang menarik ketaatannya [dari seorang Imam], dia tak akan memiliki hujjah
untuk mempertahankan dirinya di hadapan Allah di hari kiamat. Dan barangsiapa
yang mati dan dilehernya tidak ada bai’at—kepada seorang Imam—maka dia mati
dalam keadaan jahiliyah.”
***
Seakan
sudah diatur bahwa resensi “Apa itu Syiah” seri ketiga akan membahas poin-poin penting
terkait dengan perbedaan makna ‘Imam’ dalam kalangan Syiah dibandingkan dengan
Ahlussunnah. Dalil di atas adalah sangat tidak bertentangan dengan apa yang
dipahami oleh Ahlussunnah bahwa arti Imam itu sebagai pemimpin, termasuk di
antaranya para khalifah dan kepala negara. Untuk konteks Indonesia, Imam yang
dimaksud dalam hadis di atas adalah pemimpin negara, artinya ketika seorang
yang telah terpilih menjadi presiden secara demokratis, sedang dia adalah
muslim, tidak menghalangi para umat Islam menjalankan ibadah atau
kewajiban-kewajibannya dalam beragama, lalu ia dilantik oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) maka saat itu pula para warga negara Islam
Indonesia dianggap telah membaiat dan patuh kepada presiden.
Sebagai
seorang Imam, presiden hanyalah manusia biasa yang kadang melakukan kekhilapan
dan kealpaan, dan itu manusiawi. Oleh karena itu presiden didampingi oleh para
penasihat dan dibantu oleh para menteri dan gubernur. Salah satu kewajiban
seorang makmum atau rakyat jelata dan jelita kepada pemimpin adalah menegurnya
jika melakukan kesalahan, dan inilah ciri negara yang demokratis. Tentu saja
Ahlussunnah berharap agar suatu saat nanti ada pemimpin (Imam-khalifah) yang benar-benar
mampu menyatukan umat Islam di seluruh dunia agar umat berada dalam satu
pemerintahan (khilafah) yang diridhai oleh Allah. Syarat turunnya rahmat dan
ridha Allah adalah pemimpinnya adil dan beradab, bukan zalim dan biadab
sebagaimana para Imam yang bercokol di Iran, Imam Khomeini hanyalah salah
satunya.
Imam
Syiah
Jika
Imam dalam konteks Ahlussunnah hanyalah terdiri dari manusia biasa, maka beda
dengan Syiah. Prof Rasjidi memaparkan bahwa setidaknya ada empat poin yang
membedakan makna Imam dalam kalangan Syiah dibandingkan dengan Ahlussunnah,
seperti (1) Imam dalam agama Syiah harus memiliki ‘ishmah. Secara bahasa
‘ishmah adalah kata nama (ism), dan kata sifatnya adalah ma’shum
yang berarti terpelihara, terjaga dari perbuatan dosa besar dan kecil, terjaga
dari maksiat, atau dari salah dan lupa; (2) Imam dalam pandangan Syiah adalah
perantara dan pemberi rekomendasi antara manusia dan Tuhan. Percaya akan adanya
Imam sudah cukup untuk menghapus dosa dan mengangkat martabat; (3) Anggapan
tentang Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman adalah Imam yang ke-12 dalam
agama Syiah. Imam yang telah mati terkubur itu akan hidup kembali pada akhir
zaman, ia akan memenuhi dunia dengan keadilan. Pendapat orang mati hidup
kembali ini disebut sebagai raj’ah. Jadi ide Imam Mahdi dan raj’ah
dalam agama Syiah adalah satu kesatuan; dan (4) Para Imam Syiah adalah harus
selalu bertaqiyah alias berbohong demi mencari selamat. Al-Kulaini bahkan
memaparkan hadis taqiyah, “Sembilan persepuluh agama terdapat dalam taqiyah. Orang
yang tidak bertaqiyah adalah tidak beragama. Taqiyah perlu dilakukan segala
hal, kecuali minuman-minuman keras dan mengusap sepatu dalam wudlu.” (hlm. 39).
Prof
Rasjidi lantas memberi catatan penting terkait Imam yang dimaksud oleh para juhala
dari agama Syiah, ia menekankan bahwa ide tentang ‘ishmah jelas
bertentangan dengan Islam. Dalam Alquran dengan mudah kita dapatkan ayat-ayat
yang memuat tentang kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan para nabi. Katakanlah,
Nabi Musa pernah memukul seorang Kopti sampai mati. “Musa masuk ke kota [Memphis]
ketika penduduknya sedang lengah. Maka didapatinya di dalam kota itu dua orang
laki-laki yang berkelahi, seorang dari golongannya [Bani Israil] dan seorang lagi
dari musuhnya [kaum Fir'aun]. Maka orang yang dari golongannya meminta
pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya, lalu Musa
meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata, ‘Ini adalah perbuatan
syaitan’. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata’.
Musa mendoa, ‘Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri
karena itu ampunilah aku’.” (Al-Qashash [28]: 15-16). Nabi Sulaiman juga pernah
lupa shalat ketika asyik melihat kuda-kudanya yang indah. “Ingatlah ketika
dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat
waktu berlari pada waktu sore. Maka ia berkata, ‘Sesungguhnya aku menyukai
kesenangan terhadap barang yang baik [kuda] sehingga aku lalai mengingat
Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan’." (Shad [38]: 31-32). Bahkan
Nabi Muhammad sendiri, sebagai penghulu para nabi dan rasul pernah ditegur oleh
Allah. “Dia [Muhammad] bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang
buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya [dari
dosa], atau ia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi
manfaat kepadanya”. (‘Abasa [80]: 1-5). Orang
buta itu bernama Abdullah bin Ummi Maktum ia datang kepada Rasulullah meminta
ajaran-ajaran tentang Islam, lalu Nabi bermuka masam dan berpaling daripadanya,
karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar
pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah ayat teguran di atas,
(hlm 36-37). Oleh karena itu, pengertian Imam dalam agama Syiah melebihi para
nabi dan rasul yang telah diutus ke bumi sebagai manusia paling baik dan
sempurna. Tentu saja ini adalah sebuah penyimpangan yang terangnya melebihi
sinar matahari.
Selain
itu, Syiah juga berpandangan bahwa Imam mereka adalah perantara antara manusia
dengan tuhan, ini sebelas dua belas—meminjam istilah gaul zaman sekarang yang
berarti mirip—dengan agama Nasrani yang menjadikan pendeta sebagai connector
antara manusia (jamaah) dengan Tuhan Yesus. Ada seorang bertanya kepada Abu
Abdillah (salah seorang Imam Syiah), “Mengapa Ali itu yang membagi surga dan
neraka?” Sang Imam menjawab, “Karena cinta kepada Ali itu Iman, dan benci
kepada Ali itu kufur. Surga diciptakan bagi yang beriman dan neraka bagi orang
kafir. Maka tak dapat masuk ke surga kecuali pencinta Ali, dan tak ada masuk ke
neraka kecuali pembenci Ali.”
Prof.
Rasjidi menambahkan bahwa hal itu sangat ajaib karena untuk masuk surga agama
Islam menuntut seseorang agar berbuat baik. Cinta pada Ali dan kerabat
Rasulullah tanpa dibarengi iman dan ibadah yang benar tidak akan masuk surga, (hlm.
37).
Paparan
Prof. Rasjidi di atas terkait Imam dalam perspektif Syiah sangat memiliki
perbedaan yang asasi dengan Ahlussunnah. Adalah sebuah kekeliruan dan
kekonyolan yang tidak dapat ditoleransi jika menyamakan makna Imam antara Syiah
dan Ahlussunnah. (Bersambung).
Ilham
Kadir, Alumni Pascasarjana UMI Makassar, Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments