Syiah dalam Pandangan Prof. Rasjidi (2)

Untuk
menopang pendapatnya, Prof. Rasjidi menyertekan kutipan gambar geneologi Ali
(RA), (hlm. 8). Ia juga menjelaskan bahwa kelompok-kelompok Syiah sudah banyak
yang telah punah setelah melalui proses seleksi alam dan waktu yang alami, dan
kini hanya tinggal dua golongan besar, yaitu Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah,
(hlm. 9).
Untuk
itulah pengetahuan mengenai dua golongan di atas mutlak dimiliki jika ingin
mengenal Syiah secara komprehensif. Rasjidi menulis, dinamakan Syiah Imamiyah
karena yang menjadi dasar akidah mereka adalah
soal Imam—dalam arti Khalifah. Mereka mengatakan bahwa Ali berhak menjadi
khalifah, bukan hanya karena kecakapannya atau sifat-sifat yang disebutkan
namanya oleh Rasulullah. Imam pertama adalah Ali, kemudian Hasan, lalu Husain.
Mengenal nama para imam termasuk rukun iman. Dan, oleh sebab Ali telah ditunjuk
dengan menyebutkan namanya oleh Nabi, maka Abu Bakar dan Umar adalah orang yang
merampas hak khalifah dan telah bertindak zalim. Ada pun kelompok Zaidiyah dari
Yaman adalah lebih moderat, bagi mereka Rasulullah tidak menunjuk Ali dengan
menyebut namanya, akan tetapi hanya dengan deskripsi. Oleh sebab itu, mereka
tidak menghukum Abu Bakar dan Umar. Bagi Zaidiyah, khalifah Abu Bakar dan Umar
sah, walaupun Ali lebih utama, (hlm. 10).
Ada
pun Syiah Imamiyah yang terpenting adalah aliran Itsna ‘Asyariah, alias twelvers,
alias dua belas. Karena bagi aliran sempalan ini, Imam itu jumlahnya dua
belas, yang pertama adalah Imam Ali dan diakhiri dengan Al-Mahdi yang hilang
pada tahun 260 H, dan akan muncul kembali pada akhir zaman untuk menyiarkan
keadilan dan memusnahkan kezaliman.
Penting
diketahui bahwa kelompok Syiah Itsna ‘Asyariah mulai bertapak dengan
kokoh di Iran ketika Ismail Shafawi (meninggal 24 Mei 1524 M) jadi penguasa, ia
lantas menjadikan aliran Itsna ‘Asyariah sebagai agama—Rasjidi sendiri
kadang menyebut Syiah sebagai agama atau kelompok—resmi negara, dan mereduksi
aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dinasti Shafawi lalu dihapuskan oleh Nadirsyah
pada tanggal 26 Februari 1737, namun Syiah Itsna ‘Asyariah tetap
menjadi agama resmi negara, (hlm. 11).
Rasjidi
lalu memaparkan dengan gamblang akidah Imamiyah, dengan berpedoman pada kitab
rujukan utama agama Syiah yaitu kitab Al-Kafi karangan Al-Kulaini. Ia
adalah Al-Bukhari dalam kalangan Ahlussunnah, kitab tersebut terdiri dari 3
jilid, yang pertama adalah akidah (ushul) dan yang lainnya adalah furu’
(cabang), (hlm. 13).
Berikut
sebagian dalil-dalil terkait pokok-pokok akidah Syiah menyangkut imamah, (1) Abu
Ja’far berkata, “Kami ini sumber pengetahuan Allah, penerjemah wahyu, bukti
yang nyata bagi manusia, antara langit dan bumi,” (Al-Kafi, Cetakan Pertama:
Persia, tahun 1281 H, hlm. 88); (2) Para Imam adalah paku-paku bumi agar jangan
menggoyangkan penduduknya. Mereka adalah bukti nyata bagi makhluk yang berada
di atas bumi atau di bawahnya, (Ibid., hlm. 93); (3) Para Imam itu memiliki
semua kitab yang diturunkan Allah. Mereka memahami semuanya, walaupun dengan
bahasa asing, (Ibid., h. 107); (4) Para Imam itu jika ingin mengetahui sesuatu,
Allah menunjukkan kepada mereka. Mereka tahu kapan mereka akan mati, dan mereka
menetapkan saat kematian mereka sendiri, (Ibid., hlm. 125); (5) Allah Ta’ala
tidak mengajarkan sesuatu hal kepada Nabi Muhammad, kecuali itu Ia
memerintahnya agar pengetahuan itu diajarkan kepada Ali, karena Ali adalah partnernya
dalam ilmu, (Ibid., hlm. 27); (6) Setiap Imam meninggalkan kepada Imam
berikutnya kitab, ilmu dan senjata, (Ibid., hlm. 133), dan banyak lagi hadis-hadis
sedemikian rupa yang dikutif oleh Prof. Rasjidi.
Di
antara sekian dalil, ada yang pasti membuat pendirian kita semakin mantap bahwa
Syiah, sebagaimana pandangan Rasjidi yang dikutif dari Al-Kafi adalah
agama lain karena memiliki Kitab Suci yang beda dengan Al-Qur’an, padahal salah
satu dari—sedikitnya—tiga pilar utama yang menjadikan seorang layak disebut
muslim menurut Al-Gazali adalah memiliki kitab yang sama, selain Tuhan dan
Nabi. Ini kata Al-Kulaini tentang Kitab orang Syiah, “Wa ‘indahu mushaf fathimah, wa fihi mitslu qur’anina tsalatsa
marrah, wa laysa fihi min qur’anina harfun wahidun,” yang artinya, “Para
Imam itu memiliki Mushaf Fatimah. Besarnya tiga kali lipat Al-Qur’an biasa dan
tidak mengandung satu huruf pun dari Qur’an yang ada,” (Ibid., hlm. 115).
Sekali lagi, dalil ini menegaskan bahwa selama ini, Al-Qur’an yang diturunkan
Allah kepada Rasulullah dengan perantaraan Jibril ‘alaihissalam yang
hingga kini masih menjadi pedoman untuk umat Islam aliran Ahlussunnah, yang
masyhur dengan sebutan ‘Al-Qur’anul Karim’ atau sebutan lain sebagai ‘Mushaf
Utsmani’—mengambil seting sejarah kompilasi yang diprakarsai oleh Khalifah
Utsman—tidak ada hubungannya sama sekali, walau satu huruf sekalipun dengan
mushaf atau kitab Al-Qur’an milik agama Syiah.
Terkait
Imamah dan dalil-dalilnya, Prof. Rasjidi menulis satu pembahasan khusus dengan
menyebutnya sebagai “Evaluasi”, sebagai ulama lulusan Timur Tengah (Al-Azhar,
Mesir) sekaligus ilmuan produk Barat (Sorbone, Prancis dan McGill Canada) tentu
saja Rasjidi memadukan pembahasannya antara ilmu naqli (wahyu) dan
aqli (nalar). Rasjidi berkesimpulan bahwa Imam bagi Syiah berasal-usul
lebih tinggi daripada asal manusia. Ia tidak bertanggungjawab tentang apa yang
ia lakukan, karena segala yang ia lakukan itu baik, dan apa yang ia larang itu
jahat. Shalat, shaum, zakat, dan haji tak akan berfaedah kecuali jika didasari
dengan iman kepada Imam, sebagaimana amal orang kafir tidak akan berfaedah
karena ia tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, (hlm. 31).
Oleh
karena itu, Rasjidi menegaskan bahwa pandangan mengenai Imam itu ma’shum
berarti kita manusia, tidak dibolehkan berfikir tentang masyarakat dan negara.
Pandangan bahwa manusia harus cinta kepada keluarga Nabi, menghormati mereka
setinggi-tingginya, tidak sesuai dengan hukum alam. Di dunia itu, Allah tidak
menciptakan suatu keluarga yang semua anggotanya merupakan orang-orang yang
dari segala segi dan dari segala generasi sempurna seluruhnya. Setiap keluarga,
tentu ada yang pandai ada pula yang kurang pandai, ada yang berbudi sangat
luhur ada pula yang tengah-tengah, malahan ada keluarga yang baik tetapi
memiliki keturunan yang moralnya rendah. Ia lantas mengutif beberapa dalil, seperti
cerita tentang dua anak Nabi Adam (Habil dan Qabil) yang berkurban, satu
diterima dan satunya lagi tidak, ada yang saleh ada pula yang salah,
(Al-Maidah: 27); kisah Nabi Ibrahim dengan bapaknya sekaligus menjadi musuhnya,
(At-Taubah: 14); tentang istri Nabi Nuh dan Nabi Luth yang berkhianat pada
suaminya, (At-Tahrim: 10); Nabi Nuh dan anaknya yang membangkang, tidak mau
menuruti ajakan ayahnya untuk ikut bersama orang-orang beriman, (Huud: 46),
(hlm. 31-32).
Bagi
Rasjidi, dalil-dalil di atas menunjukkan dengan gamblang bahwa kerabat atau
keturunan tak ada hubungannya dalam mengevaluasi manusia. Kebaikan budi
pekerti, takwa, dan pengetahuan tak dapat diwariskan seperti harta benda. Ada
hukum alam, yang khusus tentang cara mewarisi budi pekerti, kecakapan, dan
pengetahuan. Ketinggian ajaran Islam mengatakan bahwa manusia dihargai menurut
pekerjaannya (akhlak), bukan menurut keturunan atau kekayaannya, “Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat
balasannya, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah, niscaya
dia akan melihat balasan nya pula”, (Al-Zalzalah: 7-8).
Singkat
kata, menurut Rasjidi, ‘bahwa Imam itu ma’shum, dan percaya kepada Imam akan
menghapus segala dosa, adalah akidah yang sangat bertentangan dengan Islam’.
Jika sekiranya Ali itu ma’shum, mengetahui yang gaib, tentu saja sejarah akan
lain keadaannya. Padahal, Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa Nabi Muhammad saja
pernah berkata, “Walau kuntu a’lamul ghaiba lastaktsartu minal khaer,
[Seandainya aku mengetahui barang ghaib, niscaya aku akan memperbanyak hal-hal
yang baik]”, (Al-A’Raf: 188), (hlm. 35).
Oleh
karena itu, konsep imamah yang selama ini dipertentangkan oleh para ulama
maupun sufaha, semestinya sudah selesai dengan adanya keterangan di
atas. Imamah bagi Syiah bukanlah masalah furu’ (ranting) akan tetapi
bagian dari akidah (ushul). Syiah Imamiyah yang kini menjadi anutan
resmi Negara Iran dan sedang berkembang secara masif dan massal di Indonesia,
tak terkecuali Makassar, menegaskan bahwa tidak ada agama tanpa Imamah, dan
siapa saja yang tak mengenal imam maka pasti dia tidak beriman dan matinya mati
jahiliah alias mati dalam keadaan kafir. (Bersambung).
Ilham
Kadir, Alumni Mascasarjana UMI Makassar, Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments