Syiah dalam Kitab ‘Al-Milal wa Al-Nihal’
Muhammad bin Ahmad Abu
Al-Fatah Asy-Syarastani Asy-Syafai’i (474-548 H), selanjutnya disebut
Syarastani sempena mengambil nama tempat kelahirannya. Tokoh yang sedang
penulis bahas adalah pakar ragam ilmu, namun para sejarawan sepakat bahwa
spesifikasi keilmuan Syarastani ada pada Ilmu Perbandingan Agama yang merupakan
bagian dari Ilmu Kalam (theology). Diriwayatkan bahwa semenjak kecil Syarastani
sudah ‘gila ilmu’ dan gemar melakukan penelitian, sebuah kegiatan yang lazimnya
dilakukan oleh para mahasiswa dewasa ini. Modal utama Syarastani adalah
ketekunan dan kecerdasan. Ketika memaparkan hasil penelitiannya, ia sangat
moderat, tidak emosional, dan argumen-ergumennya selalu disertai dengan
hujah-hujah yang kuat, hal itu menunjukkan bahwa dirinya memang menguasai
masalah yang ia teliti.
Salah satu kebiasaan para
ulama dari dulu hingga kini, dari Maroko hingga Merauke adalah gemar mengembara,
karena dengan itu mereka dapat pengalaman dan ilmu sekaligus, kita kenal bahwa
pengalaman adalah guru yang terbaik the experience is the best teacher,
ini pula yang dilakukan oleh Syarastani, ia gemar mengembara untuk bertemu,
berguru, berdiskusi, hingga menjadi guru di tempat-tempat pengembaraannya,
seperti di Harazmi, Khurasan, Bagdad, hingga ke Mekah, ini yang dinamakan rihlah
‘ilmiyah alias pengembaraan intelektual.
Di usianya yang ke-30 (tahun 510
H), Syarastani menunaikan ibadah Haji, lalu bertolak ke Bagdad dan menetap di
sana selama tiga tahun. Bagdad saat itu menggapai era keemasannya sebagai pusat
peradaban dan kota ilmu. Universitas Nizamiyah, yang dikenal sebagai tempat
mengajar Imam Al-Gazali, di sana pula Syarastani memberikan kuliah selama
berada di Bagdad. Banyak murid dan ulama yang belajar darinya.
Para ulama dan mahasiswa pada
masa itu tertarik mempelajari ilmu perbandingan agama hanya sekadar konsumsi
pribadi dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran agama Islam sebagai agama
tauhid, dan membongkar habis agama lain serta sekte-sekte batil yang terus
bermunculan dari masa ke masa. Karena itu, ada beberapa ulama yang menulis
semua jenis ajaran agama dan sekte-sekte
yang ada serta kebatilannya lalu dijungkalkan satu per satu. Di antaranya
adalah Abd Al-Qahir Al-Bagdadi menulis buku berjudul “Al-Furuq bain Al-Furuq”,
Ibnu Hazm menulis, “Al-Fasl fi Al-Milal wa Al-Nihal”, ada pula yang memilih agama tertentu seperti
ilmuan Al-Biruni menulis, “Tahqiq ma li Al-Hind min Maqulat Maqbulat fi
Al-Aql au Mazulat”, daftarnya terlalu banyak untuk disebutkan.
Artikel ini bertujuan
memaparkan salah satu hasil penelitian Syarastani yang dikenal dengan judul “Al-Milal
wa Al-Nihal” yang memiliki perbedaan dengan buku-buku yang telah di tulis
para ilmuan dan ulama di atas. Karya Syarastani ini berbentuk ensiklopedi
ringkas, padat, dan akurat tentang agama, kepercayaan, sekte, dan
pandangan-pandangan para filosof dan merupakan bagian dari metafisika pada
masanya. Azyumardi Azra menyimpulkan bahwa kitab “Al-Milal wa An-Nihal”
adalah karya perbandingan agama yang pertama, utama, dan paling komprehensif
dalam sejarah perbandinga agama. Tidak sampai di situ, karya Asyarastani ini
mendapat apresiasi yang sangat tinggi bagi para ilmuan Barat. Seorang pakar
dari Jerman, Haarbrucker telah menerjemahkan “Al-Milal wa Al-Nihal” dan
memberi ‘Kata Pengantar’ sebagai berikut, “Melalui buku Syarastani yang
berjudul ‘Al-Milal wa An-Nihal’ kami mengetahui sejarah filsafat, baik
di masa kuno maupun di masa sesudahnya.” Hal senada juga dilontarkan Maleisch,
seorang pakar Jerman lainnya yang banyak mendalami filsafat Yunani, katanya,
“Kebenaran yang ditulis oleh Syarastani tentang ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada
Democrates tidak bisa diragukan lagi, sekalipun ucapan-ucapan itu tidak kami
temukan dalam buku-buku filsafat Yunani dari Democrates.”
Kitab “Al-Milal wa
An-Nihal” yang sedang dibahas ini, telah diterjemahkan dalam beberapa
bahasa, di antaranya Prancis, Jerman, India, Turki, Pahlevi hingga Indonesia,
dan telah dicetak berkali-kali di Paris dan India. Khusus edisi Indonesia—yang
menjadi rujukan tulisan ini—karya Syarastani diberi judul, “Al-Milal wa
Al-Nihal, Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, Surabaya: PT.
Bina Ilmu, t.th” yang diterjemahkan oleh Prof. Dr. Asywadue Syukur, Lc. Kitab
ini juga telah menjadi ‘diktat’ atau mata kuliah wajib beberapa perguruan
tinggi Islam, khususnya Fakultas Ushuluddin. Sewaktu penulis menempuh studi di Al-Markaz
Ad-Dirasah Al-Islamiyah (MARSAH) Johor Malaysia, karya Syarastani adalah
buku wajib bagi para mahasiswa, dari sini pula saya pertama kali mengenal buku
ini dengan baik, dalam versi bahasa aslinya.
Selain kitab Al-Milal wa
Al-Nihal, Syarastani juga menulis beberapa kitab yang layak diketahui, di
antaranya: Al-Mushara’ah, kitab ini diketahui adanya karena Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah menjadikan referensi dalam bukunya, Aghasah Al-Lihfan, murid
Ibnu Taimiyah itu menulis, “Muhammad Syarastani mengkritik pendapat Ibnu Sina
yang mengatakan bahwa alam ini kekal [qadim] dan tidak mengakui adanya
hari kebangkitan. Ibnu Sina juga menolak Ilmu dan kekuasaan Allah dalam
menciptakan alam semesta ini. Kemudian pendapat ini didukung oleh ath-Thusi
yang memberikan kritik terhadap karya Syarastani dalam bukunya yang berjudul ‘Mushara’ah
al-Mushara’ah”, Kami [Ibnul Qayyim] telah membaca kedua buku tersebut. Ibnu
Sina memang berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan langit dan bumi dalam
enam hari, Allah tidak mengetahui, Allah menciptakan bukan dengan qudrat dan
pilihan-Nya dan manusia tidak dibangkitkan dari kuburnya’.”(Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah, Aghasah Al-Lihfan, Jilid II, Mesir: Musthafa Al-Babi, 1961).
Ada pula Nihayah Al-Iqdam
fi Ilm Al-Kalam dan Al-Juz’u Allazi la Yatajazzu. Kedua buku tersebut
diterbitkan oleh seorang orientalis Inggris bernama Alfred Guillaume pada tahun
1934 M. Ada juga Syubhah Aristatalis wa Ibn Sina wa Naqdiha, dan Nihayah
Al-Auham, kedua buku terkahir ini, hanya diketahui melalui informasi dari
Asyarastani dalam kitabnya, Nihayah Al-Iqdam. Beberapa lainnya disebut
para ahli sejarah yang belum diketemukan sampai saat ini, seperti, Al-Aqthar
fi Al-Ushul, Tarikh Hukama, Talkhis Al-Aqsam li Madzhahib Al-Anam,
Daqa’iq Al-Auham, Syarah Surah Yusuf, Al-Ulyan wal Anhar, Ghayah
Al-Maram fi ‘Ilmil Kalam, Qishahs Musa wa Khidhr, dan Al-Mabda’
wa Al-Ma’ad.
Syiah golongan sesat
Dalam edisi Indonesia, Al-Milal
wa Al-Nihal dari tiga jilid digabung menjadi satu buku, namun ini hanya
sekadar efisiensi, sebab setiap satu jilid dimulai dari halaman pertama. Jilid
pertama 235 halam, jilid kedua 247 halaman, dan jilid ketiga 129 halaman.
Khusus untuk jilid terakhir, sejatinya tulisan tersebut bukan lagi karya Syarastani tapi suplemen dari
pentahqiq edisi bahasa Arab, yaitu Muhammad Said Kailani. Dalam kata
pengantarnya, Kailani menyatakan bahwa tambahan tersebut ia buat demi
mengabadikan nama Syarastani serta untuk melengkapi karyanya mengenai
agama-agama kuno yang belum ditulis oleh Syarastani, serta agama dan
sekte-sekte yang muncul setelah beliau meninggal, (hal. 1/III).
Terasa special, karena dari
sekian banyak pembahasan tentang aliran sesat, hanya Syiah yang menduduki porsi
yang begitu besar. Berada pada jilid
pertama halaman 124-167, atau sekitar 41 halaman. Ketika mengurai golongan sesat
ini, Syarastani memulai dengan penjabaran bahwa Syiah adalah kelompok
masyarakat yang menjadi pendukung Ali bin Abi Thalib, mereka berpendapat bahwa
Ali radhiallahu ‘anhu adalah Imam dan Khalifah yang ditetapkan melalui nash
(wahyu) dan wasiat dari Rasulullah, baik secara tersurat maupun tersirat.
Golongan sempalan ini berpendapat bahwa Imamah (kepemimpinan) tidak boleh
keluar dari jalur keturunan Ali r.a dan, jika terjadi—sebagaimana
faktanya—maka, hal itu merupakan kezaliman dari orang lain (umat Islam) dan
taqiyah bagi pendukung Ali (Syiah). Sekte Syiah sepakat—dengan bersandar kepada
pendapat mereka—bahwa para Imam yang ditunjuk dari keturunan Ali wajib memiliki
sifat-sifat terpelihara dari kesalahan (‘ismah), sebagaimana yang
terdapat pada diri para Nabi. Bahkan, Imam melebihi para Nabi, karena tidak
boleh melakukan kekhilafan sekecil apa pun. Bagi Syiah, menolak para Imam
adalah haram, kecuali dalam keadaan taqiyah, (hal. 124).
Jujur. Saya belum pernah
menemukan tulisan mana pun tentang Syiah dari ulama terdahulu melebihi goresan
tinta Syarastani ini. Setelah pengenalan tentang sekte Syiah, ia lalu menulis
bahwa golongan ini memiliki lima kelompok besar yaitu, Al-Kisaniyah, Az-Zaidiyah,
Al-Imamiyah, Al-Ghulat, dan Isma’iliyah. Setiap sekte memiliki sel-sel sempalan
lainnya, sebagai contoh Al-Kisaniyah, memiliki empat sempalan yaitu
Al-Mukhtariyah, Al-Hasyimiyah, Al-Bahaniyah, dan Al-Razaniyah dan, konyolnya
setiap sel sempalan seakan berlomba-lomba menyesatkan sel-sel lainnya. Sebuah
kesesatan yang sangat sempurna. Penguasaan Syarastani dalam membahas setiap
sekte sangat piawai, sebagai contoh, ketika membahas Al-Kisaniyah, ia menulis,
pendiri kelompok Kinsaniyyah adalah Kisan, seorang mantan pelayan Ali bin Abi
Thalib. Kisan disebutkan pernah belajar kepada Muhammad bin Hanafiyah, karena
itu, ilmunya mencakup banyak pengetahuan, baik zahir maupun batin, baik fisik
maupun non fisik. Syiah sekte ini berpendapat bahwa agama dalah ketaatan pada
pemimpin (Imam) karena para Imam dapat menakwilkan ajaran pokok-pokok agama
seperti salat, zakat, puasa dan haji. Bahkan sebahagian dari mereka
meninggalkan perintah agama demi menaati titah para Imam, sebahagian lagi tidak
begitu yakin akan adanya hari kiamat, dan yang lainnya menganut aliran hulul
atau roh ketuhanan masuk ke dalam tubuh manusia, tanasukh atau roh
berpindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya, dan ruj’ah atau reinkarnasi
alias hidup kembali ke dunia setelah mati. Golongan ini juga ada yang
berpendapat bahwa Imam tertentu tidak mati (ghaib) dan dia akan kembali ke
dunia ini, barulah setelah hidup yang
kedua kalinya, ia akan mati sesungguhnya, (hal. 125). Golongan ini kian
menambah perbendaharaan kita bahwa Syiah adalah sekte yang kesesatannya paling
komplit.
Ada pun
Syiah Zaidiyyah—lanjut Syarastani—mereka adalah pengikut Zaid bin Ali bin
Husain bin Ali bin Abi Thalib. Golongan ini disebut-sebut sebagai Syiah paling
moderat dan beberapa hal—khususnya dalam Fikih—memiliki kesamaan dengan
Ahlussunnah wal Jamaah. Golongan ini berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar,
Umar dan Utsman adalah sah demi kemaslahatan umat, dan untuk menenangkan hati
masyarakat. Ketika orang-orang Syiah dari Kufah mendengar pernyataan Zaid bin
Ali yang tidak mencela dan melakna Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma,
mereka lantas menolak Zaid, kelak dikemudian hari para penolak melembaga dengan
nama Rafidhah—kelompok yang menolak—karena menolak Zaid bin Ali sebagai Imam,
(hal. 133). Secara umum, sekte Zaidiyyah tetap mengkritik para sahabat namun tidak
sekras kelompok Imamiyyah, aliran ini menjadi tiga kelompok kecil yaitu (1)
Al-Jarudiyah, (2) As-Sulaimaniyah, dan (3) As-Shalihiyah dan Batriyah, (hal.
134).
Syiah
Imamiyah yang kini menjadi anutan resmi Negara Iran sekaligus menjadi komoditi
ekspor nomor wahid di negara penyesat itu. Sekte Imamamiyah juga disebut
sebagai ‘Rafidhah’ karena menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Bagi
sempalan ini, Ali bin Abi Thalib secara nash dinyatakan sebagai Imam,
bukan hanya disebut sifatnya bahkan ditunjuk orangnya. Syarastani lalu menulis,
orang-orang Syiah Imamiyah pada mulanya melaksanakan ajran imamnya dalam
masalah akidah, tetapi setelah berabad-abad lahirlah imam-imam yang membawa
ajaran yang simpangsiur dan setiap imam membawakan ajaran mereka masing-masing
sehingga lahirlah sekte-sekte. Sebagian sekte mengikuti ajaran Mu’tazilah,
Wai’diyyah, Tafshiliyyah, sebagian lainnya mengikuti ajaran Ikhbariyah, baik
Musyabahah maupun Shalafiyyah—bukan Salafiyah—dan sebagian lainnya terus
tersesat dan Allah membiarkan mereka mengembara dalam kesessatan di lembah
kebinasaan, (hal. 144).
Sekte
Imamiyah adalah yang terbanyak sempalannya, dan paling awet kesasatannya,
hingga kini aliran sesat ini terus tumbuh dan berkembang, sementara yang
lainnya telah punah di telan zaman. Bagi Syarastani, Syiah Imamiyyah sedikitnya
memiliki tujuh sempalan, yaitu, (1) Al-Baqiriyah Al-Ja’fariyah Al-Waqifiyah,
(2) An-Nawusiyah, (3) Al-Afthahiyah, (4) Al-Sumaithiyah; (5) Al-Isma’iliyah
Al-Mufadhaiyah, (6) Al-Musawiyah dan Al-Mufadhaiyah, dan (6) Al-Itsna
Asyariyah. Secara umum, Syiah imamiyah mengakui 12 Imam yaitu, Al-Murtadha
(Ali); Al-Mujtaba (Al-Hasan); Asy-Syahid (Al-Husain); As-Sajjad (Zainal ‘Abidin);
Al-Baqir; Ash-Shadiq; Al-Kazhim; Ar-Ridha; At-Taqi; An-Naqi; Az-Zaki, dan
Alhujah Al-Qaim Al-Muntazar. Sekte ini berpendapat bahwa tugas para Imam adalah
untuk menegakkan keadilan dalam akidah, namun ternyata, oh, ternyata, malah
menimbulkan keraguan. Faktanya, dalam sejarah terjadi peperangan antarsekte dan
dalam hal pemahaman akidah justru saling mengkafirkan antara satu dengan
lainnya, seperti sekte Al-Wa’diyyah mengkafirkan At-Tahfidhiyyah dan begitu
pula sebaliknya, (hal. 152).
Ada lagi
Syiah Ekstrem (Al-Ghaliyah). Sempalan ini memiliki empat ciri yaitu, Tasybih,
Al-Bad’u, Ar-Ruj’ah, dan At-Tanasukh (inkarnasi). Secara
umum, golongan ini sangat berlebihan dalam mensifati para Imam mereka, hingga
pada saat tertentu sifat kemanusiaan yang ada pada sang Imam sirna lalu diganti
dengan sifat-sifat yang hanya layak bagi Tuhan. Untuk itulah, golongan ini
kerap menyerupakan para Imam mereka dengan Tuhan, tradisi ini—menurut
Syarastani—adalah pinjaman dari kaum Yahudi yang menyamakan Tuhan dengan
manusia dan umat Kristiani yang menyamakan manusia dengan Tuhan, (hal. 153).
Kelompok
Syiah Ekstrem ini memiliki dua belas sempalan, penulis hanya mengutif satu
saja. Kelompok Sabaiyah adalah yang pertama, sempalan ini adalah pengikut
ajaran Abdullah bin Saba’ yang pernah berkata kepada Ali, “Engkau, Engkau yakni
engkau adalah Tuhan.” Akibatnya, ia diasingkan ke kota Madain. Abdullah bin
Saba’ adalah Yahudi tulen yang pura-pura masuk Islam. Dalam ajaran Yahudi,
Yusya’ bin Nun adalah penerima wasiat Nabi Musa maka demikian juga Ali, adalah
penerima wasiat Nabi Muhammad. Dia yang pertama menyatakan bahwa Ali adalah
Imam yang ditetapkan melalui nash, dan pendapat ini diadopsi ramai oleh
para ‘supaha’ Syiah. Ibnu Saba’ juga berdongeng yang –dongengnya—menjadi
rujukan kaum Syiah, katanya, “Ali tidak meninggal, karena pada dirinya terdapat
unsur ketuhanan yang tidak mungkin musnah. Karena itu, Ali berada di atas awan:
petir sebagai suaranya, kilat sebagai senyumannya, dan dia akan turun kembali
ke dunia ini saat dunia dilanda kejahatan dan ketidak-adilan.” (hal. 153).
Demikianlan
ulasan kitab Al-Milal wa Al-Nihal karya monumental Syarastani yang
terkait masalah Syiah, untuk lebih sempurnanya, disarankan supaya menelaah langsung isi bukunya. Pada bagian
lain, juga akan ditemui beragam pendapat dan pemahaman yang tidak kalah menarik
untuk dikaji isinya, agar referensi pengetahuan tentang aliran-aliran sesat
kian bertambah, dan menjadikan kita makin mantap dalam akidah Ahlussunnah wal
Jama’ah. Wallahu A’lam!
Ilham
Kadir, Alumni Pascasarjana UMI Makassar, Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments