Syiah Agama Mitos

Disebut-sebut
inilah era paling menantang. Betapa tidak, seseorang dapat berselancar
mengelilingi dunia cukup dengan duduk di depan komputer sambil
menggerak-gerakkan mouse dan sesekali menekan tombol huruf-huruf yang
tertera pada keyboard. Belakangan, komputer makin dikemas sedemikian
rupa agar dapat digunakan secara mobile. Tipis, ringan, dan elegan. Kecuali itu, alat komunikasi berupa
telepon genggam (HP) juga tidak henti-hentinya melakukan inovasi. Perang
teknologi antara satu merek dengan merek lainnya tak terelakkan. Ada yang
berujung ke meja hijau seperti Samsung (Korea Selatan) dengan Apple
(Amerika Serikat). Para konsumen dimanjakan sedemikian rupa untuk memiliki
ragam fasilitas komunikasi dengan aneka aplikasi yang semua terpulang pada
tebal tipisnya dompet.
Sejauh
ini, Indonesia adalah negara yang menduduki sebagai sasaran pasar yang terbesar
di dunia. Penyebabnya hanya dua, (1) kita belum (pernah?) mampu untuk
menghasilkan produk komunikasi yang bermutu karena faktor kebodohan, juga
(mungkin) kemalasan (pemimpin?) dan (2) kita adalah bangsa yang konsumtif,
tidak inovatif, dan rada-rada primitif. Lucunya, justru bangsa ini keranjingan
dengan food, fun, & fashion ala Barat. Caba kalau yang ditiru adalah
hal-hal yang islamis, seperti budaya ilmu (at-tham’u fi thalabil ‘ilmi),
etos kerja (nasyith fil ‘amal), kebersihan (an-nadhafah),
kejujuran (as-shidq), dan sejenisnya, niscaya bangsa ini akan mulia, dan
memiliki harga diri (‘izzah).
Salah
satu dampak akses informasi tanpa batas (unlimited information access) adalah
mudahnya mengkomsumsi informasi-informasi yang berisi ideologi menyesatkan,
khususnya bagi mereka yang hobi membaca ragam pemikiran tanpa dibarengi dengan
resistensi. Sebutlah salah satu di antaranya adalah virus ideologi Syiah atau
Syiahisasi yang sedang gencar malakukan dakwah dari berbagai lini. Termasuk penyebaran
tulisan-tulisan (propaganda) tentang Syiah melalui ragam media, baik
fisik—buku, jurnal, koran, buletin, dst.— maupun media elektonik—website, facebook,
twitter, radio, televisi, dst.—di samping pelatihan-pelatihan dai serta
kaderisasi yang telah berlangsung satu dekade terakhir ini, di antaranya
melalui lembaga dakwah kampus (LDK) dan pengiriman mahasiswa ke Iran sebagai calon-calon
penabur benih kesesatan dan perpecahan umat, kelak mereka pasti akan menjadi
penabuh genderang perang. Karena mereka, banyak yang terpengaruh, dan terus
berkubang dalam kesesatan. Sebuah ironi, negara yang berpenduduk muslim terbanyak
di dunia, kini sedang digerogoti oleh ulat (hama) yang bernama Syiah. Harus ada
orang-orang yang serius membasmi hama tersebut, dengan menangkis serangan,
melakukan perlawanan, perawatan, hingga amputasi, dan pembasmian.
Allah
pasti selalu, dan terus menerus menjaga agama-Nya dengan mengutus
manusia-manusia yang memiliki kemampuan dalam membuat dan memasang ‘tameng’
dari serangan ideologi Syiah yang bertubi-tubi. Di antara manusia pilihan itu
adalah Prof. Dr. Mohammad Baharun. Ia adalah mantan wartawan Majalah Tempo yang
alih profesi menjadi dosen dan dai. Dari sisi akademis, yang bersangkutan tidak
perlu dipertanyakan lagi, jenjang S-1 dan S-2 dalam bidang hukum telah ia
selesaikan di Universitas Islam Malang, sebelum akhirnya menyelesaikan tingkat
doktoralnya di IAIN Sunan Ampel, Surabaya dengan judul disertasi “Epistemologi
Antagonisme Syiah, dari Imamah hingga Mut’ah”. Disertasi tersebut telah
dibukukan lalu diterbitkan oleh Pustaka Bayan tahun 2004, dan telah mengalami
cetak ulang berkali-kali.
Sebagai
wartawan, menulis bagi Prof. Baharun, demikian sapaan akrabnya, adalah hal
biasa. Hingga kini, setidaknya telah menulis lebih dari 30 buku, dan artikel
yang bertebaran di ragam media sudah tak terhitung. Ia juga dipercaya sebagai
‘pakar Syiah’ di MUI Pusat, itu artinya, tulisan-tulisannya tentang Syiah
menggambarkan sikap institusi MUI, secara langsung atau sebaliknya.
201
Tanya Jawab Syiah
Buku
yang teranyar dihasilkan oleh Rektor Unas Bandung ini adalah “201 Tanya
Jawab Syiah” yang diterbitkan oleh Sinergi Publishing pada Juli 2013,
sebuah penerbit yang berada di bawah kelompok penerbit Gema Insani yang
beralamat di Jln. Juanda, Depok. Gema Insani adalah penerbit yang berkualitas
tinggi, dan hanya menerbitkan buku-buku bermutu.
Buku
berukuran mini dan setebal 178 halaman ini adalah bacaan yang tepat bagi yang
ingin menemukan berbagai macam kekonyolan yang dilontarkan oleh Syiah ketika
menebarkan ajaran sesatnya. Buku ini terdiri dari lima bab. Bab satu berisi
pembahasan tentang Sejarah Kemunculan Syiah dan Perkembangannya; bab dua
mengulas seputar Perbedaan Akidah antara Ahlussunnah dan Syiah yang—dalam
istilah saya—laksana minyak dan air; ada pun bab ketiga, berisi pembahasan
secara gamblang tentang Praktik Ritual Penganut Syiah; dan bab keempat berisi
Kitab dan Pedoman Hukum Syiah; dan terkahir (bab lima) mengupas tentang Syiah,
Isu Nasional, dan Internasional.
Buku
ini unik, karena berbentuk tanya jawab. Dan pastinya, bagi Anda yang ingin tahu
lebih jauh tentang Syiah, terdapat pertanyaan yang mungkin selama ini telah
lama terpendam dalam benak, namun belum jua menemukan jawaban yang tepat dan
memuaskan, atau pernah menemukan
jawaban, tapi tidak sejelas dengan jawaban yang ada dalam buku ini.
Sebagai
contoh kasus—sebagaimana yang saya alami—sering mendapatkan pertanyaan seperti
ini: Pengaruh Syiah di Indonesia secara kultural sangat kental dalam
Ahlussunnah. Sampai ada ungkapan Syiah kultural segala. Konon, mula pertama
Islam masuk lewat Aceh dibawa para dai Syiah. Bagaimana Anda menanggapinya?
Jawabnya: Praktik-praktik keagamaan dalam kalangan Ahlussunnah—khususnya
madzhab Syafi’i—berbeda dengan tradisi keagamaan Syiah. Akan hal maulud atau
maulid—bershalawat seraya membaca/riwayat Nabi—di kalangan Ahlussunnah, membaca
maulud Nabi sambil bershalawat merupakan tradisi yang diwariskan ulama selama
berabad-abad. Dalilnya tidak dibawah teks, tetapi dalam ‘urf, karena ‘Al-‘Adatu
Muhakkamah’—meminjam istilah Ushul Fiqh—yang berkembang dalam konteks
sosial. Sementara, dalam tradisi Syiah yang dibaca adalah mauludnya imam 12 dan
Sayyidah Fathimah az-Zahra disertai kultus ghuluw, bukan sekadar memuji
Nabi atau shalawat. Dalam peringatan maulud, atau istilah dalam Syiah sebagai
‘milad’, tak lupa pula dijadikan sebagai ajang caci maki kepada para sahabat
dan istri Nabi. Misalnya, uangkapan yang bersumber dari mitos khas dan populer
di kalangan Syiah bahwa Sayyidah Fatimah az-Zahra dianiaya oleh Khalifah Umar
bin Khattab. Tujuan penyelenggaraan milad bagi Syiah adalah melakukan
diskualifikasi terhadap para pemuka sahabat Rasulullah dan istri-istrinya. Jika
diamati, tradisi-tradisi keagamaan Syiah tidak lepas dari fokus di antara
tuntutan para imam dan makian terhadap para sahabat dan istri Nabi, sementara
para imam—keturunan Nabi—dijadikan bidak-bidak politik untuk memenuhi ambisi
mereka. Syiah memang masyhur akan kaya dengan mitos-mitos, yang belakangan
agaknya sengaja dikaburkan sejarah—sejatinya, syiah adalah agama mitos. (hlm. 6-7).
Terkait
penyebaran Islam di Nusantara melalui pintu Aceh, yang konon dibawa oleh para
dai Syiah, sejatinya juga bersumber dari mitos belaka, dan sekali-kali tidak
berdasarkan pada historiografi. Harap dibedakan antara Syiah dengan Persia.
Jauh sebelum Dinasti Shafawi berkuasa di Iran—bagian dari Persia—dan berhasil
mensyiahkan—secara paksa—penduduk negeri itu, Iran dihuni mayoritas Sunni.
Telah muncul ulama-ulama Sunni dari sana, termasuk Hujjatul Islam Imam
Al-Ghazali. Bersama dengan masuknya Islam, Syiah berada dalam perlindungan
dinasti Abbasiyah. Kalau toh asumsi bahwa Islam dibawa melalui pintu “Serambi
Mekah” oleh saudagar-saudagar Gujarat dan Persia itu benar, tak dapat langsung
diklaim bahwa mereka itu menganut Syiah. Persia jelas-jelas tidak identik
dengan Syiah, karena aliran sesat itu mutlak dipeluk penduduk Iran sejak
Dinasti Shafawi berkuasa. (hlm. 7-8).
Demikianlah
contoh penjelasan yang diuraikan oleh Prof. Baharun dalam buku mungilnya itu,
sangat tuntas dalam melerai dan menyelesaikan pertikaian maupun permasalahan.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika buku ini mendapat sejumlah apresiasi
dari para tokoh, cendekiawan, dan ulama muktabar di Indonesia. Misalnya,
testimoni dari Dr. H. Shofiyullah Muzammil, MA., Dosen Pascasarjana, dan
Direktur Pusat Budaya dan Agama UIN Sunan Kalijaga, menulis, “Keberadaan
gerakan Syiah di Indonesia sebagai fenomena memang harus disikapi secara cerdas
dengan strategi-strategi khusus sehingga solusinya tak menimbulkan polemik di
internal Sunni sendiri. Selain itu, pengetahuan/pengalaman mengenai Syiah harus
dimiliki agar bisa ditangani lebih efektif dan tak menimbulkan ketegangan.
Penulis yang akademisi, dai, dan jurnalis ini dapat mendeskripsikan masalah
tersebut dengan baik”. (hlm. sampul).
Dan
yang pasti, buku ini diberi kata pengantar oleh dua ulama besar Indonesia, yang
menjadi garansai akan keilmuannya sekaligus mewakili dua organisasi massa Islam
yang terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Yang
pertama, DR. KH. Ma’ruf Amin, sebagai Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdatul
Ulama (PBNU), Penasihat Lembaga Bahtsul Masa’il Pengurus Besar Nahdaul Ulama,
Ketua Harian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, dan Anggota Dewan
Pertimbangan Presiden. Yang kedua, Prof. Dr. Yunahar Ilyas, menjabat sebagai
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah priode 2009-2012 dan Wakil Ketua MUI Pusat,
serta Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Berikut
petikan ‘Kata Pengantar’ Dr. KH. Ma’ruf Amin, “Bagi masyarakat yang masih
bingung dan penasaran mengenai paham Syiah, menurut saya, buku ini layak untuk
dijadikan salah satu referensi untuk mengetahui lebih jauh tentang
dasar-dasar ajaran Syiah sehingga mengapa MUI memfatwakan sesat padanya.
Sebab, buku ini secara gamblang dan bahasanya yang mudah dipahami berusaha
menerangkan dan mengungkap perbedaan-perbedaan prinsip antara Syiah dengan
Sunni”. (hlm. xi).
Sedangkan
Prof. Yunahar Ilyas menulis, “Buku yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Mohammad
Baharun ini dapat membantu pembaca untuk mengetahui apa itu Syiah dan bagaimana
ajarannya, terutama apa perbedaannya dengan ajaran Ahlussunnah. Buku ringkas
ini mudah dipahami karena disajikan dalam bentuk tanya jawab”. (hlm. xvi).
Intinya,
Syiah adalah masalah, maka buku “201 Tanya Jawab Syiah” solusinya. Tunggu
apa lagi, segera miliki, dan telaah isinya. Insya Allah bermanfaat. Wallahu
A’lam!
Ilham Kadir, MA. Alumni Pascasarjana UMI Makassar, Peneliti LPPI
Indonesia Timur.
Comments