Syekh Yusuf Al-Makassari, Pahlawan Dua Negara (2)

Melihat keadaan itu, Belanda cepat bertindak untuk mengasingkan
Al-Makassari ke tempat yang sulit dijangkau. Betapa tidak, keberadaan
Al-Makassari di Batavia kembali menjadi magnet bagi segenap kaum muslimin di
daerah itu, ditambah bagi para jamaah haji yang hendak ke Mekah, atau kembali
berhaji, selalu singgah dan meminta berkah padanya, dan jika dibiarkan hal itu
berlanjut, maka dipastikan kaum muslimin khususnya di Batavia dan Makassar akan
kembali bangkit melawan penjajah serta membebaskan sang ulama. Akhirnya, pada
September 1684 Al-Makassari diasingkan bersama 12 murid setinya ke Ceylon,
Srilangka.
Keberadaan Al-Makassari di Ceylon dalam pengertian tertentu membawa
berkah tersendiri, ketika berada di Banten ia menjalani dua tugas penting,
sebagai perjuang dan ulama. Namun di pembuangannya, ia kembali menegaskan
eksistensinya sebagai ulama besar. Selama hampir satu dasawarsa, ia telah
menulis sedikitnya delapan buku, di antara judul bukunya menggunakan nama
Ceylon, seperti “Nafahat As-Saylaniyah”, Hembusan Angin Ceylon. Dalam
kata pengantar pada bukunya yang lain,”Safinat Al-Najah” Al-Makassari
menulis, bahwa dia mengharap, dengan karunia Tuhan, dirinya akan mewarisi
kebijaksanaan Adam, yang dalam kepercayaan Islam, dilemparkan di Srilangka
setelah kejatuhannya dari Surga. Ulama jawara ini pun lalu mencurahkan hidupnya
dalam kerja-kerja ilmiah, terutama berdakwah dan menulis buku.
Asumsi Belanda bahwa dibuangnya Al-Makassari ke Ceylon untuk
memutus seluruh sel-sel yang berhubungan dengan dirinya, namun ternyata Belanda
gagal total. Karya tulis “Safinat An-Najah” dengan jelas merupakan
permintaan dari Ibrahim bin Minhan, darinya dan para ulama Moghul segera tahu
keberadaan Al-Makassari, sehingga penguasa Moghul, Aurangzeb (1659-1707)
mengetahui tentang pembuangan ulama besar itu. Maka Aurangzeb berkali-kali
memperingatkan pada penguasa Balanda untuk memperhatikan kesejahteraan
Al-Makassari.
Tidak hanya itu, kali ini, Al-Makassari kembali menjadi magnet bagi
para jamaah haji Melayu-Nusantara, baik yang akan ke tanah suci Mekah, maupun
yang telah kembali, sepertinya tidak afdhal tanpa bertemua dengan ulama jawara
itu. Ini menjadikan dirinya, dengan umat Islam Melayu-Nusantara tetap terjalin
dengan apik. Karya-karya Al-Makassari makin banyak dan tersebar di mana-mana,
sudah barang tentu panyebarnya para jamah haji, yang tiap tahunnya kian
bertambah, dan perjalanan mereka tak putus-putusnya sepanjang tahun.
Melihat keadaan itu, Belanda kembali memikirkan hal-hal yang akan
terjadi. Menurut mereka, kendati Al-Makassar telah berusia 68 tahun, tapi
dengan pengaruh dan kharisma yang ia miliki tidak menutupi kemungkinan untuk
kembali meledakkan semangat umat Islam Nusantara agar bangkit melawan penjajah.
Akhirnya, pada tahun 1693, penguasa Belanda memutuskan untuk
mengasingkan Al-Makassari ke tempat yang lebih jauh lagi, Tanjung Harapan,
Afrika Selatan. Tempat yang berada di ujung dunia itu, merupakan pembuangan
paling dikenal keburukannya dan para buangan harapan kebebasan mereka
terbelenggu.
Al-Makassari ditempatkan di sebuah desa bernama Zandvliet, sebuah
desa pertanian di mulut sungai Eerse bersama dengan 49 orang pengikut setianya.
Karena menyimpang sejarah yang berhubungan dengan Al-Makassari dan pengikutnya,
kini tempat itu disebut Pantai Makassar.
Kedatangan Al-Makassari pada pembuangan terburuk itu, menjadi titik
awal sebuah pencerahan dan persatuan antarsesama umat Islam, sehingga
ritual-ritual penting, seperti shalat lima waktu, shalat jumat, shalat ‘id,
dapat terlaksana. Al-Makassari, bukan hanya melestarikan ajaran Islam di
wilayah itu, tetapi bertindak lebih jauh, merekrut non muslim untuk mememeluk
Islam, sehingga penganut Islam di tempat ‘pembuangan’ tersebut tumbuh subur. Dengan
jasa-jasanya yang telah membentuk komunitas muslim, Al-Makassari dinobatkan para
sejarawan Afrika Selatan sebagai “pendiri” Islam di wilayah itu, dengan artian
sebagai “pembangkit” atau “penghidup”.
Pada tanggal 22 Dzul Qa’dah 1111 H/22 Mei 1699 Al-Makassari
meninggal dunia, dan dikuburkan di Faure di perbukitan False Bay berdekatan dengan
lahan pertanian Zandvliet. Pusaranya di kemudian hari deikenal sebagai
‘karamat’. Kematian Al-Makassari adalah angin segar bagi Belanda, dan kesedihan
bagi pendukungnya serta penyesalan bagi kerajaan Gowa. Untuk itulah, pihak Gowa
berusaha untuk mendatangkan jenazah Al-Makassari, yang dipenuhi pihak Belanda,
jenazah ulama mulia itu, tiba di Makassar pada tanggal 5 April 1705, dan
dikuburkan di Lakiung.
Pemindahan makam Al-Makassari kelak melahirkan polemik, sebab
seperti tempat awal pemakamannya, di Faure masyarakat setempat tetap yakin jika
jasad Al-Makassari tetap terkubur di situ, sementara yang dikirim ke Gowa
hanyalah segenggam debu yang, dalam perjalanannya menjelma menjadi sesosok
jenazah yang utuh. Tapi tidak hanya sampai di situ, Ceylon-Srilangka juga
mengklaim memiliki kuburan Al-Makassari, dan belakangan, Banten juga tak mau
ketinggalan merasa memiliki kuburan ulama jawara itu.
Tidak penting untuk mempertentangkan masalah kuburannya di mana ia
berada. Apalagi menjadikan pusaranya yang hingga kini masih misteri menjadi
tempat melakukan ritual-ritual yang sesungguhnya bertentangan dengan amalan
salafussaleh. Tawassul, berdoa, berzikir, sembahyang di depan kuburan adalah
perbuatan bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi. Tawassul yang
disyariatkan adalah bermohon kepada orang yang masih hidup yang dikenal
kesalehannya—sebagaimana Al-Makassari—bukan kepada wali yang telah meninggal, yang
sesungguhnya telah sibuk dengan urusannya masing-masing.
Yang terpenting bagi kita semua, belajar kepada karakter
Al-Makassari yang rela menyeberangi luasnya lautan, ganasnya ombak, demi meraih
ilmu, tidak hanya itu, kesabaran dalam menuntut ilmu sebagaimana yang telah
dilakoni Al-Makassari wajib menjadi teladan dalam pendidikan di Indonesia saat ini.
Selain itu, kegigihan Al-Makassari dalam memperjuangkan Islam
sekaligus membela tanah air adalah hal yang tidak bisa diabaikan. Penting
dicatat, bahwa perjuangan Al-Makassari dan para pengikutnya untuk mengusir
penjajah adalah bagian dari jihad fi sabilillah dengan tujuan utama meraih
ridha Allah dan mati syahid, bukan untuk menjadi tuan tanah apalagi hanya
sekadar menjadi pahlawan, Al-Makassari berjuang karena memang perjuangannya
didasari atas perintah Allah.
Teladan lain yang harus terus diingat dari Al-Makassari adalah,
kegigihannya dalam berdakwah baik mengajar maupun menulis, di mana pun ia
berada. Hingga dalam keadaan perang sekalipun ia tetap mengajar dan berdakwah,
di pembuangan, ia juga tetap berdakwah, baik lisan (kalam) maupun tulisan
(qalam), sebagaimana yang terjadi di Ceylon dan Tanjung Harapan. Inilah contoh
ideal karakter seorang ulama, pejuang, dan pahlawan.
Hingga kini, setelah ratusan tahun terkubur dalam pusaranya yang
simpang-siur, pengaruh
Al-Makassari di Afrika Selatan sangat besar. Mantan Presiden Afrika Selatan
yang juga pejuang anti-apartheid, Nelson Mandela, menyebut Al-Makassari sebagai
salah seorang putra Afrika terbaik dan pemberi inspirasi bagi masyarakat
setempat. Bahkan pemerintah Afrika Selatan pada tanggal 25 September 2005 lalu
menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi Al-Makassari. Demikian pula
pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada 1995.
Selama hidupnya, Al-Makassari telah menulis sekitar 29 buku yang
umumnya berisi tentang akidah dan tasawuf. Mayoritas karyanya ia tulis ketika
berada di Banten, baik dalam suasana tetang maupun dalam keadaan perang, sedang
karyanya yang lain ia tulis ketika berada di pengasingan, Ceylon. Inti ajaran
Al-Makassari adalah perpaduan antara akidah, syariat, dan tasawuf. Wallahu
A’lam!
Ilham Kadir,
Alumni Pascasarjana UMI Makassar,
Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments