Sekh Yusuf Al-Makassari, Pahlawan Duna Negara (1)
Muhammad Yusuf bin Abdullah Abu Mahasin Al-Taj Al-Khalwati
Al-Makassari—selanjutnya disebut Al-Makassari—yang dilahirkan pada tahun 1627 memulai
pendidikan dasarnyanya dengan belajar Al-Qur’an pada seorang guru lokal bernama
Daeng ri Tasammang, lalu belajar Bahasa Arab, fikih, tauhid, dan tasawuf dengan
Sayyid Ba ‘Alwi bin Abdullah Al-Allamah Al-Tahir, seorang ulama dari Arab
tinggal di Bontoala. Ketika berusia 15 tahun, dia melanjutkan pendidikannya di
Cikoang pada Jalaluddin Al-Aydid, seorang guru kelana yang datang dari Aceh ke
Kutai sebelum akhirnya menetap di Cikoang.

Al-Makassari melanjutkan pengembaraan ilmiahnya menuju Aceh,
sebelumnya Al-Makassari telah mendengar berita tentang seorang ulama besar
bernama Nuruddin Ar-Raniri, dan bermaksud hendak berguru padanya. Namun, ketika
Al-Makassari tiba di Aceh, Ar-Raniri telah meninggalkan Aceh dan menuju tanah
leluhurnya di Ranir (Randir) India. Oleh karena itu, Al-Makassari mengejar
Ar-Raniri hingga ke India, lalu berguru padanya.
Dari India, Al-Makassari berlayar menuju Yaman, dan belajar dengan
banyak ulama, seperti Muhammad Bin Abdul Baqi Al-Naqsyabandi. Setelah merasa
cukup, ia berangkat menuju Haramayn—istilah untuk Mekah dan Madinah—untuk
menunaikan ibadah haji sambil memperdalam ilmu-ilmu agama, terutama tasawuf
sebagai konsentrasi kajian dan spesifikasi keilmuannya.
Setelah menuntut ilmu di Haramayn, sebagai sentra pencetak
kader-kader ulama seluruh penjuru dunia saat itu, Al-Makassari menuju Damaskus,
juga sebuah pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang levelnya di bawah
Haramayn. Di sana ia berguru pada Ayyub Al-Dimasyqi (1586-1661) seorang ulama
besar (al-Ustad al-kabir) yang memberi gelar pada Al-Makassari dengan Al-Taj
Al-Khalwati (Mahkota Khalwati).
Ulama Jawara
Al-Makassari pulang ke Indonesia diperkirakan pada tahun 1664 dan
1672. Jika kedua tahun itu salah satunya ada yang benar, maka Al-Makassari
telah menghabiskan waktunya di rantau selama 20 hingga 28 tahun untuk menuntut
ilmu, sebuah perjalanan panjang yang spektakuler.
Para sejarawan tidak sepakat, apakah Al-Makassari langsung pulang
ke Makassar, tanah kelahirannya, atau hanya sampai di Banten. Pendapat yang
mengatakan bahwa Al-Makassari sempat ke Makassar lalu mendapati ajaran-ajaran
Islam tidak dipraktikkan penduduk setempat. Sisa-sisa peninggalan pra Islam
(jahiliyah) tetap merajalela, meski para penguasa dan rakyatnya menyatakan
sebagai muslim namun tetap enggan menegakkan syariat Islam, sehingga perjudian,
sabung ayam, minum arak (ballo), mengisap candu dan semacamnya tetap marak.
Juga praktik-praktik takhayul seperti memberi sesaji bagi roh nenek moyang dengan
harapan akan mendatangkan kemakmuran, tetap tak terbendung.
Ketika Al-Makassari menyaksikan semua itu, ia lalu meminta kepada
penguasa untuk menghentikan dan menghapus praktik-praktik yang sangat
bertentangan dengan agama Islam itu. Sayang, Al-Makassari tidak mendapat respon
dengan berbagai macam alibi yang tidak masuk akal, seperti menyabung ayam
dengan mudah mengumpulkan masyarakat, sehingga ketika terjadi peperangan
mempermudah perekrutan atau minum arak dapat memperkuat stamina. Kelak, para
generasi pelanjut penguasa Gowa-Tallo menyesali tindakannya.
Al-Makassari kembali berlayar menuju Banten, dan bertemu dengan
sahabat karibnya, yang kini telah naik tahta dan menjadi penguasa Banten,
Sultan Ageng Tirtayasa. Di bawah pemerintahannya, Kesultanan Banten mencapai
masa keemasan. Pelabuhannya menjadi pusat perdagangan internasional yang paling
penting di kepulauan Nusantara. Sultan
Ageng adalah musuh bebuyutan Belanda. Kenaikannya ke tahta membuka kembali
lembaran konfrontasi fisik antara masyarakat Banten dengan Belanda. Di Banten,
Al-Makassari manjadi penasihat Sultan, sambil terus mengajar para penuntut ilmu
dan menulis banyak buku. Belanda menyebutnya sebagai ‘Opperpriester’ yang
berarti ‘Pendeta Tertinggi’.
Ketika perang kembali berkecamuk, antara Sultan Ageng versus
Belanda, Al-Makassari mengambil bagian penting dalam perang tersebut. Ketika
pasukannya terdesak oleh Belanda, ia
mundur ke desa Karang dan menjalin hubungan dengan ‘Hadjee Karang’ atau Abd.
Muhyi, murid dari teman karib Al-Makassari sewaktu berada di Haramayn, Abd Rauf
Al-Sinkili. Dalam masa perang itu,
Al-Makassari sempat mengajar Abd Muhyi terutama dalam bidang tasawuf.
Banten kian diambang kehancuran, selain serangan dari Belanda yang
bertubi-tubi, masalah internal juga muncul. Perebutan kekuasaan antara Sultan
Ageng dan putra mahkotanya, Sultan Haji. Jika sultan Ageng sangat anti belanda,
maka sang putra justru memilih berkerja sama dengan kompeni, maka perang
saudara pun berkecamuk, kini Belanda yang bertepuk tangan. Jelas, Al-Makassari
berpihak pada Sultan Ageng. Ketika Sultan Ageng, Al-Makassari dan pasukannya
mengepung Sultan Haji, lalu membuatnya terdesak, maka ia pun meminta bantuan
pada pihak Belanda dengan perjanjian akan memberikan seluruh keuntungan
perdagangan kepada Belanda. Pucuk dinanti ulam pun tiba. Belanda dengan segera
mengambil kesempatan emas tersebut. Karena terus menerus dikejar oleh Belanda,
akhirnya Sultan Ageng tertangkap pada tahun 1683 dan dibuang ke Batavia, ia
meninggal dunia tahun 1692.
Tertangkapnya Sulta Ageng tidak serta merta menghentikan perang.
Sebab pasukannya yang berjumlah 4000 personil dan terdiri dari gabungan jawara
Banten, Bugis, Makassar, dan Jawa tetap melakukan perang grilya dengan
serangan-serangan sporadis terdahap pihak Belanda, mereka adalah pejuang
militan yang sulit ditundukkan. Penyebabnya, siapa lagi kalau bukan sang ulama
jawara, Al-Makassari. Menundukkan Sultan Ageng, jauh lebih muda daripada
mengalahkan Al-Makassari, sebab pasukan ulama besar itu melakukan serangan tak
terduga dengan taktik-taktik jitu.
Karena merasa kalah dalam perlawanan fisik, Belanda kini menempuh
metode lain dalam menaklukkan Al-Makassari dan ribuan pasukannya. Dengan menggunakan tipu muslihat yang sering
kali mereka pakai jika kalah dalam peperangan, sambil mengenakan pakaian Arab,
dan menyamar sebagai seorang muslim, suruhan Belanda berhasil masuk ke dalam
kubu pertahanan Al-Makassari, dan menangkapnya pada tahun 1683.
Versi lain, Belanda
mendatangi tempat persembunyian Al-Makassari bersama dengan putri ulama
jawara itu, sambil menjanjikan pengampunan dari pihak Belanda jika ia menyerah.
Al-Makassari menerima tawaran Belanda yang kelak tidak perna ditepati. Beliau akhirnya
diumumkan sebagai tawanan resmi oleh Belanda, segenap pasukan setianya yang
berasal dari daerah luar seperti Bugis dan Makassar, dikirim kembali ke kampung
halaman masing-masing, dan perang Banten pun berakhir. Perang grilya pimpinan
Al-Makassari berlangsung lebih dari dua tahun. Selanjutnya, Al-Makassari dan
beberapa pengikutnya diasingkan ke Ceylon-Srilangka selama sepuluh tahun, lalu
ke Tanjung Harapan Afrika Selatan. Pada tanggal 22 Dzul Qa’dah 1111 H/22 Mei
1699 Al-Makassari meninggal dunia.
Hingga kini, setelah ratusan tahun terkubur dalam pusaranya yang ‘simpangsiur’,
pengaruh Al-Makassari di Afrika
Selatan sangat besar. Mantan Presiden Afrika Selatan yang juga pejuang
anti-apartheid, Nelson Mandela, menyebut Al-Makassari sebagai salah seorang
putra Afrika terbaik dan pemberi inspirasi bagi masyarakat setempat. Bahkan pemerintah
Afrika Selatan pada tanggal 25 September 2005 telah menganugerahkan gelar
pahlawan nasional bagi Al-Makassari. Demikian pula pemerintah Indonesia telah
menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada tahun 1995.
Karakter, kegigihan, keberanian, dan keperkasaan Al-Makassari harus
selalu diceritakan dan ditanamkan dalam benak generasi bangsa, agar dimengerti
bahwa ruh perjuangan melawan Belanda adalah Islam, bukan lainnya. Selamat hari pahlawan!
Ilham Kadir,
Alumni Pascasarjana UMI Makassar, Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments