Syiah dalam Pandangan Rasjidi (1)
Prof.DR.H.
Mohamad Rasjidi, selanjutnya disebut Rasjidi, lahir di Kotagede
Yogyakarta 20 Mei 1915 dan meninggal dunia pada 30 Januari 2001. Ia
menempuh sekolah dasar di Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian melanjutkan sekolah
menengahnya di perguruan Al Irsyad al Islamiyah, Malang, dibawah bimbingan dan
asuhan Syekh Ahmad Surkati. Semangat mencari ilmunya makin tinggi, karena yang
mengajar di situ bukan hanya guru-guru dari Indonesia, tapi juga dari Mesir,
Sudan, dan Mekkah.
Syekh Ahmad Surkati pendiri al Irsyad al Islamiyah, mendidik
langsung Rasjidi dengan seksama. Menurut Surkati, Rasjidi adalah anak yang
tekun dan cerdas, sehingga dicintai guru-gurunya. Kepandaian Rasjidi dalam
bahasa Arab dapat dinilai dengan
kemampunnya menghafal kitab Nahwu—salah satu ilmu paling penting dalam bahasa
Arab dan bagian dari ilmu dua belas—Alfiyah Ibnu Malik dalam usia 15
tahun, hal ini menjadikan dirinya diangkat sebagai asisten pengajar gramatika
bahasa Arab. Selain itu, Rasjidi juga telah hafal buku Logika Aristoteles yang
berjudul “Matan as-Sullam.”
Kecerdasan, ketekunan, dan haus akan ilmu disertai perkenalannya dengan
guru-guru Timur Tengah menjadikan Rasjidi bersemangat untuk melanjutkan
studinya di Mesir. Ketika di negeri Fir’aun, selain mempelajari ilmu-ilmu
agama, di Sekolah Persiapan Darul Ulum (setingkat Sekolah Menengah) juga ia
diajar aljabar, ilmu bumi, sejarah dan lain-lain. Sehingga kemudian Rasjidi
menguasai bahasa Perancis, Inggris, Arab hingga bahasa Belanda. Bahkan di sana Ia menjadi
seorang hafizh alias hafal Alquran 30 juz.
Dikisahkan pada awal mula Rasjidi berada di Mesir, dengan diantar
oleh Syekh Thantawy Djauhary pengarang Tafsir al Jawahir yang masyhur
serta sahabat karib Syekh Ahmad Surkati, dia mendaftarkan ke Sekolah Persiapan
untuk memasuki Sekolah Guru Tinggi bahasa Arab yang bernama Darul Ulum (kelas
III), Rasjidi diuji untuk masuk kelas V. Di kelas itu dia belajar 8 bulan
lamanya, dan akhirnya berhasil meraih diploma Sekolah Menengah Umum dan hafal
Alquran 30 juz, di samping mendapatkan sertifikat untuk mata pelajaran bahasa
Inggeris dan Prancis. Karena di sana berlaku sistem Prancis, maka di Mesir
diploma Sekolah Menengah Lanjutan disebut surat ijazah Baccalaureat.
Dengan ijazah Baccalaureat itu, Rasjidi berhak meneruskan ke perguruan
tinggi.
Ia kemudian melanjutkan ke Universitas al Azhar, Kairo. Di sana ia mengambil jurusan Filsafat dan Agama. Setelah empat tahun belajar di situ, ia mendapat gelar Licence (Lc). Di kelas itu mahasiswanya hanya tujuh orang. Ia menempati rangking satu mengalahkan mahasiswa dari Mesir, Albania dan Sudan. Setelah kembali ke tanah air beberapa tahun, Rasjidi melanjutkan kuliahnya di Fakultas Sastra, Universitas Sorbone, Paris. Pada hari Jumat, 23 Maret 1956, Rasjidi akhirnya meraih gelar doktor di universitas terkemuka itu dengan disertasi berjudul l'Evolution de l'Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Centini (Evolusi Islam di Indonesia atau Tinjauan Kritik terhadap Kitab Centini).
Rasjidi
adalah Menteri Agama pertama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet
Sjahrir II. Ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Mesir, Arab Saudi
dan lain-lain. Sebelumnya di bidang organisasi, ia pernah terlibat di antaranya
dalam organisasi PII dan Masyumi. Ia juga pernah aktif sebagai Dosen di Sekolah
Tinggi Islam (UII) Yogyakarta, Guru Besar Fakultas Hukum UI, Guru Besar
Filsafat Barat di IAIN Syarif Hidayatullah dan menjadi Dosen tamu di McGill
University Canada.
Indonesia sering disebut sebagai nation state yang unik di dunia
karena memiliki departemen pemerintah yang khusus menangani masalah kehidupan
beragama. Pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan maklumat berdirinya Kementerian Agama RI, dan sekaligus mengangkat
Haji Mohammad Rasjidi sebagai Menteri Agama yang pertama. Sehari kemudian,
Jum’at malam 4 Januari 1946, H.M. Rasjidi berpidato di depan corong RRI
Yogyakarta, menegaskan bahwa berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara
dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.
Amal bakti Kementerian Agama diawali dengan pidato Haji Mohammad Rasjidi,
BA selaku Menteri Agama pertama pada hari Jum’at malam tanggal 4 Januari 1946.
Pidato bernilai sejarah itu diucapkan didepan corong RRI Yogyakarta sehari
setelah pembentukan Kementerian Agama yang diputuskan dalam sidang KNIP di
Jakarta. Rasjidi menegaskan, berdirinya Kementerian Agama adalah untuk
memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.
Dinilai dari
sudut mana pun, sumbangsih jasa-jasa Rasjidi buat negara ini tidak ternilai
harganya, terutama jika ditilik dari kacamata Pendidikan Internasional. Jepang,
Perancis, Kanada, Amerika memerlukan tenaganya pada zamannya. Sarjana Cairo pertama
dari Mahasiswa Indonesia dengan Nilai Mumtaz (cumlaude) ini dalam
hidupnya sangat sederhana, jujur dan amanah.
Beliau
adalah Ketua Diplomatik RI pertama yang mengikuti utusan diplomat Mesir yang
berkunjung ke Ibu kota
Jogyakarta Th. 1947. Saat Blokade Agresi Militer Belanda diperketat, rombongan
diplomat Indonesia menyelinap dengan mengikuti pesawat diplomat
Mesir yang berangkat menuju negara-negara Arab. Maka lahirlah perjanjian-perjanjian
dengan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar yang diakui oleh dunia
Internasional.
Buah pena
Islam
Menentang Komunisme; Dua bulan setelah peristiwa G 30
S/PKI, tepatnya pada tanggal 29 November 1965, Kodam V/Jaya mengundang Rasjidi
untuk memberi ceramah pada rapat atau apel yang dihadiri para ulama. Karena
isinya sangat penting, maka ceramah ini kemudian diterbitkan menjadi buku
setebal 42 halaman oleh Yayasan Islam Study Club Jakarta. Buku ini berisi
penjelasan mengenai paham komunis oleh Rasjidi. Rasjidi menulis, bahwa
komunisme adalah pandangan hidup (weltanschaung) yang didasarkan atas
doktrin-doktrin falsafah, politik, ekonomi, dan sosial serta menganggap dirinya
dapat menafsirkan dunia dengan tafsiran yang masuk akal.
Islam
dan Indonesia di Zaman Modern; Buku ini adalah teks dari pidato Rasjidi ketika dikukuhkan
sebagai guru besar untuk Hukum Islam dan lembaga-lembaga Islam
pada tanggal 20 April 1968. Judulnya adalah Islam dan Indonesia di
Zaman Modern. Isi pidatonya menjadi perhatian serius dari kalangan
intelektual Islam. Mengingat isi pidato pengukuhannya sebagai guru besar banyak
diminta oleh berbagai kalangan, maka pihak panitia merasa perlu untuk
menerbitkan tulisannya agar setelah menjadi buku diharapkan dapat diketahui
oleh masyarakat luas. Di bagian kata pengantar buku setebal 25 halaman ini,
Prof. Rasjidi menyampaikan ucapan terima kasihnya pada guru-guru serta dosen
pembimbing disertasinya, yakni Louis Massignon.
Islam
dan Kebatinan; Pada suatu
hari, panitia pertemuan periodik ormas-ormas kebatinan, kejiwaan dan kerohanian
yaitu panitia yang dibentuk oleh PAKEM (Pengawas Aliran-aliran Kepercayaan
Masyarakat) mengadakan sebuah pertemuan. Kejaksaan Tinggi Jakarta Raya yang
merasa pertemuan itu merupakan sebuah momen penting, kemudian mengundang Prof.
Rasjidi untuk memberikan ceramah tentang “Mencari Pegangan Hidup untuk Individu
dan Masyarakat” pada tanggal 19 Januari 1967. Sekali lagi, isi penting ceramah
Prof. Rasjidi menyebabkan penerbit Bulan Bintang menerbitkannya dalam bentuk
buku berjudul Islam dan Kebatinan.Buku kecil setebal 150 halaman
ini isinya mudah dipahami, sehingga tiap dosen yang mengampu mata kuliah Aliran
Kebatinan di Fakultas Ushuluddin mewajibkan kepada mahasiswanya untuk membaca
buku tersebut. Dalam buku inil, Rasjidi mengingatkan agar pembaca berpikir
kritis dan bisa membedakan antara kebatinan dan Islam. Kebatinan, pada dasarnya
adalah ajaran Yoga Tantrisme – Hindu Budha, yang bertujuan untuk melepaskan
diri dari penderitaan. Lepas dari penderitaan atau ekstase itu sendiri eksis
dan bisa diperoleh di alam dunia, sehingga aliran tersebut beranggapan bahwa
alam akhirat tidak ada dan tidak ada yang mengetahuinya. Dengan dmeikian, maka
dengan melakukan Yoga, ada yang mendapatkan ilmu ghaib, seperti mengetahui hari
kemudian dan sebagainhya, ilmu alam cosmogani yang tidak alamiah, dan etika
yang berdasarkan literatur Hindu. Di sini banyak istilah Islam dipakai, akan
tetapi diberi arti yang sangat berlainan sama sekali bahkan bertentangan.
Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam; Buku setebal 64 halaman ini terbit pertama kali pada
tahun 1968, diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang. Dalam buku ini Rasjidi
mengakui bahwa dunia modern merupakan dunia yang multireligius. Tetapi Rasjidi
bersama orang-orang yang sevisi dengannga menentang aktivitas Kristenisasi yang
marak melanda umat Islam khususnya. Di akhir tulisannya, Rasjidi memperingatkan
kepada seluruh pemeluk agama Kristen, bahwa jika punya keinginan membantu umat
Islam yang sedang menderita kemiskinan, kebodohan dan kesakitan silakan
membantu, tetapi biarkanlah mereka itu tetap berada dalam keyakinan Islamnya.
Agama dan Etik; Buku kecil berjudul Agama
dan Etik ini berasal dari makalah Rasjidi pada Konferensi Perhimpunan
Filsafat Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 13-16 Januari 1972 di
Jakarta. Mengingat banyak permintaan dari masyarakat luas agar makalah tersebut
dijadikan sebuah buku, maka penerbit Sinar Hudaya menerbitkannya pada tahun
yang sama. Menurut Rasjidi, jika kita mempelajari agama Islam, secara ilmiah,
maka apa yang dikemukakan oleh Islam mengenai etika adalah masuk akal, sesuai
watak manusia dan dapat dijadikan dasar umum. Kemudian Rasjidi berkomentar
bahwa teknologi bukan satu-satunya yang diperlukan oleh negara-negara yang
sedang berkembang. Dengan tidak berpegang pada etika yang bersumber dari Dzat yang
transenden, teknologi akan membawa manusia kepade kehancuran. Ia menegaskan,
bahwa etika menurut ajaran Islam adalah etika yang tepat bagi bangsa Indonesia
dalam masa pembangunan seperti sekarang dan sesudahnya, serta dalam kehidupan
nasional maupun internasional.
Koreksi Terhadap Dr. Nurcholis Madjid Tentang
Sekularisme; Buku
setebal 112 halaman ini terbit pertama kali pada tahun 1972 dan kemudian pada
tahun 1977 oleh penerbit Bulan Bintang. Dicetak ulang karena banyak permintaan
masyarakat yang ingin mengetahui isi buku itu. Pada dasarnya isi buku ini
merupakan tanggapan terhadap pemikiran Nurcholis Madjid sekitar tahun 1970,
terutama gagasannya tentang sekularisasi. Nurcholis pernah menjabat Ketua Umum
PB HMI. Dalam sebuah diskusi pada bulan Januari 1970, Nurcholis menyajikan
makalah berjudul Keharusan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Diskusi
tersebut diprakarsasi oleh GBI, HMI, dan PII. Saat membahas sub-judul
“Liberalisasi Pandangan Terhadap Ajaran-Ajaran Islam Sekarang”, dibicarakan
juga masalah sekularisasi. Tampil sebagai penyanggah adalah Abdul Qadir
Djaelani, Ismail Hasan Metarum dan Saifuddin Anshori. Di antara ketiga
penyanggah ini Abdul Qadir Djaelani dan Saifuddin Anshori tegas-tegas menolak
ide sekularisasi tersebut. Seluruh makalah diskusi tersebut kemudian
diterbitkan oleh Islamic Research Centre Jakarta, yang
dikatapengantari Utomo Danandjaja.
Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya; Pada
tahun 1974 penerbit Bulan Bintang menerbitkan buku karangan Dr. Harun Nasution
yang berjudul Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, dalam dua
jilid. Kemudian pada cetakan kelima tahun 1985, buku tersebut diterbitkan oleh
penerbit Universitas Indonesia sampai mengalami beberapa kali naik cetak.
Karena isinya banyak yang tidak sesuai dengan konsep-konsep dalam ajaran Islam,
maka Prof. Rasjidi mengajukan laporan kepada Menteri Agama dan para pembantunya
mengenai buku tersebut. Sekularisasi menurut Rasjidi tetap bertentangan dengan
ajaran Islam. Tanggapan Rasjidi terhadap pemikiran-pemikiran Nurcholis luas dan
dalam. Tanggapan ini menunjukkan bahwa Rasjidi menguasai serta memahami isi
Islam secara komprehensif, di samping memahami isi agama lain. Tentang buku
Harun Nasution tersebut, Rasjidi menyatakan : “Saya menjelaskan kritik saya
fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr Harun tentang Islam itu
sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementrian Agama mengambil
tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementrian Agama dan Direktorat Perguruan
Tinggi dijadikan buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.”
Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi; Diberlakukannya pendidikan agama mulai dari Sekolah
Dasar hingga ke jenjang Perguruan Tinggi telah menjadi Keputusan MPRS No.11
Tahun 1960 tertanggal 3 Desember 1960. Prof. Rasjidi sendiri waktu itu menjabat
sebagai Ketua Badan Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi. Buku setebal 116
halaman ini diterbitkan pertama kali tahun 1974 oleh penerbit Bulan Bintang dan
mengalami cetak ulang yang ketiga tahun 1983. Dalam buku ini Prof. Rasjidi
menjelaskan mengenai tingkatan teologi dan metafisik, pengelompokan agama-agama
di dunia, serta sikap yang harus diambil umat Islam dalam menghadapi
agama-agama lain. Dalam hal ini Prof. Rasjidi berpedoman pada al-Qur’an surat
al-Ankbut ayat 46.
Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan
Nasional; Prof. Rasjidi yang aktif berkecimpung
dalam gerakan kebangsaan dan keagamaan merasa wajib memberikan kritisi terhadap
sebuah artikel yang ditulis oleh AMW Pranarka dengan judul Secara
Kultural Nasionalisme adalah Dalil Dasar Sejarah Indonesia. Artikel
tersebut dimuat dalam harian Suara Karya pada Jumat, 14 April
1978. Sebagai sebuah tulisan ilmiah, Prof. Rasjidi memandang artikel itu
mengandung banyak kekeliruan yang tidak dapat dibiarkan begitu saja. Ia
khawatir jika tidak dikritisi, maka para pembaca akan menganggapnya sebagai
artikel yang mengandung kebenaran dan dapat diterima. Dengan adanya
kekhawatiran itu, maka Prof.Rasjidi menulis buku setebal 119 halaman, diterbitkan
oleh Bulan Bintang tahun 1980. Menurut Prof. Rasjidi, dasar-dasar pemikiran
tentang strategi kebudayaan yang dilontarkan oleh AMW Pranarka akan
menghilangkan identitas umat Islam Indonesia yang kuantitasnya terbesar di
dunia.
Hendak
Dibawa Kemana Umat Ini?; Ide sekularisasi ini menurut Prof. Rasjidi makin
memperoleh momentumnya ketika Nurcholis Madjid berbicara di Taman Ismail
Marzuki pada tanggal 28 Oktober 1972. Di dalam makalahnya yang berjudul
“Perspektif Pembaruan Pemikiran Islam”, Nurcholis dengan penuh emosi hingga
nyaris lepas kontrol mengkritik habis-habisan sikap apologi umat Islam dalam
menghadapi kemajuan di masa datang. Dalam menjawab pertanyaan hadirin malam
itu, ia bahkan berani menuduh kaum Muslimin yang berdoa dengan mengutip ayat
al-Qur’an baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, sebagai
bodoh. Menurutnya, ayat itu diperuntukkan bagi penduduk yanf diperintah Ratu
Balqis, yang masih ingkar. Buku kecil setebal 35 halaman ini berisi wawancara
dan jawaban Prof. Rasjidi terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan
wartawan Panjimas. (Impasonline.com).
Apa Itu SYIAH?
Menarik. Sungguh menarik! Betapa tidak, seorang yang
hidup di masa revolusi Iran yang sekaligus seabagi diplomat ulung mampu
menampilkan paradigma yang berbeda terhadap Iran dan tentu saja Syiah yang
menjadi anutan resmi negara penabur kesesatan itu. Berbeda karena pada masa
itu, akhir tahun 1970-an, setelah revolusi di Iran meledak, Khomeini berusaha
melakukan pendekatan-pendekatan (taqrib) kepada negara-negara
Islam-Sunni, dengan dalih menjadi pemersatu. Tepatnya, menyatukan kaum muslimin
di bawah payung Syiah.
Disebabkan derasnya gelombang taqrib di
negara-negara Sunni tidak terkecuali Indonesia, sehingga Rasjidi perlu
melakukan counter attack terhadap aliran yang menjadikan makian terhadap
sahabat Nabi kategori ring satu (al-mubasy-syirin bil jannah) sebagai
bagian dari agama (juz’un min dinihi). Ibarat prisai, buku mini dengan
judul “Apa Itu SYIAH, Cetakan I. Jakarta: Media Da’wah, 1996” telah membuyarkan
lamunan Khomeini sekaligus mementalkan argumentasi segenap penyokong dan
penganut Syiah Indonesia.
Penulis akan memaparkan goresan tinta sang diplomat,
ulama, dan politikus itu. Buku ini dimulai dengan kata pengantar oleh penerbit,
Setiap orang yang mengikuti revolusi Iran banyak
merasa tertarik, dan kagum atas kegigihan dan keuletan pelaku-pelaku revolusi
itu, yang akhirnya dapat menggulingkan rezim Syah Mohammad Reza Palevi, yang
bertahun-tahun lamanya menjalankan pemerintahan monarki yang zalim di negeri tersebut. Salah seorang tokoh di
antara penggerak utama bagi revolusi Iran, yang kemudian memegang pimpinan
tertinggin negara Iran, ialah Ayatullah Khomeni. Beberapa tahun lamanya dia
diusir dari tanah air yang dicintainya. Pada mulanya ia mukim di Iraq dan
terakhir di Paris, tapi ia selalu mengadakan hubungan yang rapat dengan
bangsanya. Dengan pidato-pidatonya yang direkam di atas kaset, Ayatullah
Khomeni terus membangkitkan dan memelihara semangat rakyat Iran, sehingga
sampai pada satu waktu, dia dapat masuk ke tanah airnya kembali, sebagai
pahlawan yang menang dan kemudian memegang kekuasaan. Seperti diketahui,
sebagian besar rakyat Iran, termasuk Ayatullah Khomeni, menganut faham Syiah,
satu aliran di kalangan umat Islam yang berbeda fahamnya dengan Ahlussuunnah.
Sebagian orang menyangka bahwa perkembangan revolusi Iran itu identik dengan
Syiah. Dalam buku kecil ini, tidak ada dasar objektif untuk menarik kesimpulan
bahwa revolusi Iran itu identik dengan Syiah. Masalah ini perlu didudukkan
secara proporsional. Dalam buku kecil ini Bapak Prof. Dr. H.M. Rasjidi
menguraikan secara singkat dan jelas tentantang faham Syiah, sejak riwayat permulaannya
sampai pada waktu yang terakhir ini. buku ini “Apa Itu SYIAH” diterbitkan
dengan tujuan memberikan pengertian tentang aliran Syiah dan menjelaskan
perbedaannya dengan faham Ahlussunnah.
Rasjidi memulai penulisannya dengan mengangkat
Persoalan Siapa Pengganti Nabi Muhammad SAW Sebagai Kepala Negara. Ia
menerangkan,
Baiklah kita sama-sama sadar, bahwa agama Islam banyak
disalah-fahamkan orang, khususnya di Barat. Sampai saat ini orang selalu
mengutip kata Rudolf Otto tentang penjelasannya bahwa agama itu adalah sesuatu yang
menakutkan dan mengherankan (tremendum et fascenans). Gambaran tersebut
lebih cocok untuk melukiskan agama-agama primitif yang dianut oleh suku-suku
terbelakang. Banyak lagi yang menganggap bahwa agama itu sejajar dengan moral,
seperti dikatakan Henri Bergson dalam salah satu karangannya “Leodeux
Sources de la Religion”. Dua sumber dari agama dan moralitas. (hlm. 1).
Padahal menurut Rasjidi, Islam tidak dapat disamakan
dengan agama primitif, atau sekadar ajaran moral. Ia lebih luas daripada moral.
Ia meliputi soal keimanan kepada alam gaib, moral itu sendiri, bermacam-macam
ibadat, pemerintahan demokrasi dengan cara musyawarah, hubungan internasional,
ekonomi, dan hukum. Hal-hal seperti tersebut itu mungkin masih menjadi bahan
cemohan bagi seseorang yang 100% berpikir secara kebarat-baratan, baik dalam
masalah hukum, moral, ekonomi, atau soal-soal metafisika.
Dalam sejarah Nabi Muhammad—lanjut Rasjidi—ia
mendirikan negara Islam di Madinah dengan warga negara yang terdiri dari
kelompok Muhajirin –yang mengikuti beliau dari Makkah—dan kelompok Anshar—para
penelolong dari penduduk setempat—yang terdiri atas suku-suku penduduk Madinah,
yakni Aus dan Khazraj. Nabi juga mengirim surat, antara lain kepada kepala
negara dua negara adikuasa pada waktu itu, yakni Kerajaan Persia dan Kerajaan
Romawi. Ketika Rasulullah meninggal dunia pada 8 Juni 632 M, timbullah
persoalan pengganti beliau. Jabatan Rasulullah ada dua, pertama sebagai Nabi,
perantara yang membawa wahyu petunjuk Allah untuk seluruh umat manusia, dan kedua,
sebagai kepala negara. Jabatannya sebagai Nabi tidak perlu diganti, karena ia
adalah nabi yang terkahir. Tetapi sebagai kepala negara, secepatnya harus
ditunjuk penggantinya. Soal ini adalah soal pokok yang sulit, apalagi negara
Madinah baru berumur 10 tahun. (hlm. 2).
Suku-suku dari Madinah—papar alumnus Sorbone Francis
ini—menunjukkan tanda-tanda ingin mengangkat seorang pengganti dari mereka. Dalam
suasana yang kalut, Umar bin Khattab mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar
agar ia berdiri, dan setelah Abu bakar berdiri Umar mengatakan bahwa ia dengan
rela hati akan patuh kepada Abu Bakar sebagai pengganti Nabi atau khalifah.
Dengan ucapan itu, semua yang hadir serentak menyampaikan persetujuan mereka.
Setelah Abu Bakar resmi sebagai Khalifah, ia dan Umar serta sahabat-sahabat
Nabi lainnya menuju ke rumah Nabi Muhammad untuk mengurus pemakamannya. (hlm.
3).
Pertanyaan selanjutnya adalah, Mengapa Abu Bakar yang
Terpilih? Rasjidi menjawab bahwa sungguh banyak tanda yang menunjukkan
penghargaan Nabi SAW kepada Abu Bakar. Ketika Rasulullah sakit misalnya, maka
Abu Bakar yang diminta oleh Nabi menjadi Imam, memimpin umat Islam melaksanakan
salat berjamaah. Abu Bakar, satu-satunya sahabat yang menemani Rasulullah dalam
perjalanannya berhijrah ke Madinah, dan beliaulah yang menemani Rasulullah
ketika bersembunyi di gua Tsuar, inilah yang menjadi tanda logis bahwa Nabi
hanya dapat diganti oleh Abu Bakar.
Lantas bagaimana latar belakang pemilihan itu? Rasjidi
menjelaskan, para sahabat telah setuju, dan Abu Bakar kemudian pergi ke masjid
mengucapkan pidato pelantikan –dalam istilah sekarang—dengan singkat,
Wahai kaum muslimin! Aku telah kalian angkat menjadi
penguasa atas kalian, padahal aku merasa bahwa aku bukan yang terbaik di antara
kalian. Karenanya, jika aku bertindak benar, bantulah aku. Dan jika aku
bertindak salah, perbaikilah tindakanku. (hlm. 4).
Terdengar dari hadirin ada yang menyambut dengan
kata-kata, “Demi Allah! Jika kami melihat suatu kesalahan dari pihakmu, akan
kami perbaiki engkau dengan pedang kami.”
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah secara sah
ternyata tetap menyisakan masalah karena terdapat dasas-desus bahwa Ali-lah
yang berhak menjadi khalifah. Kelompok yang cenderung memilih Ali ketimbang Abu
Bakar kemungkinan didasarkan atas penilaian orang atas sifat-sifat Ali,
khsusnya keberaniannya dalam peperangan, atau keakrabannya kepada Rasulullah sebagai anak pamannya lantas menjadi
menantunya yang dikaruniai dua orang cucu lelaki. Hasan dan Husain.
Kecenderungan itu kian bertambah ketika Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga
yang pada akhir jabatannya kurang berhasil mengemudikan negara secara efisien.
Dan berakibat terhadap terbunuhnya Usman sendiri. Simpati terhadap Ali juga
bertambah ketia ia diangkat menjadi khalifah keempat dan menghadapai negara
yang berada dalam krisis wibawa yang telah lama diremehkan oleh Muawiyah bin
Abi Sufyan yang menjadi Gubernus Syiria. (hlm. 5).
Lalu, ada pula orang-orang yang mulai bersimpati kepada keluarga Ali,
lama setelah Ali RA wafat. Mereka adalah orang-orang Islam non-Arab yang
bersimpati kepada keluarga Ali, karena selama pemerintaahn Umawiyah berkuasa,
mereka merasa diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Dan yang terpenting,
Lanjut Rasjidi, sekelompok besar orang-orang Persia, setelah mereka kehilangan
kerajaannya yang megah dan merupakan satu dari dua raksasa penguasa dunia abad
ke-7 Masehi, menunjukkan simpati mereka kepada keluarga Ali RA. Ada pun
sebabnya, karena bangsa Persia dewasa itu biasa menghormati, menjunjung tinggi
bahkan mendewa-dewakan raja-raja mereka. Maka, setelah mereka memandang Kisra
(Raja Persia), dan membandingkan dengan keluarga Nabi sebagaimana mereka menilai
dinasti Persia, dan mereka menganggap bahwa jika Nabi wafat, maka ia harus
diganti oleh keluarganya. (hlm. 6).
Rasjidi juga memaparkan pendapat Dr. Husain Haikal,
penulis “Sejarah Hidup Muhammad” yaang juga menulis Sejarah Abu Bakar dan Umar,
bahwa putri Persia yang terkahir telah dinikahi oleh Husein bin Ali. Atas dasar
ini, maka simpati bangsa Persia terhadap keluarga Ali mengandung arti
memuliakan orang-orang Persia, anak cucu Husein yang berdarah keluarga Nabi
sekaligus berdarah keluarga Raja Persia. Di sinilah sebuah pemahaman atau
–lebih tepatnya—agama baru berdiri: Syiah.
Ilham Kadir, Alumni Pascasarjana UMI Makassar, Peneliti LPPI Indonesia
Timur
Comments