Kurban Sebagai Qurbah

Kurban
adalah ibadah klasik, yang telah turun temurun sejak generasi awal umat
manusia, hal ini direkam dalam Alquran. Ketika itu, kedua putera Nabi Adam alaihissalam berselisih tentang jenis
kurban sebagai qurbah yang diterima.
“Ceritkanlah kepada mereka kisah kedua putera
Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya
mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang di antara mereka
berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Qabil berkata, ‘Aku
pasti membunuhmu’, Habil menjawab, ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima kurban
dari orang-orang yang bertakwa”, (QS. 5: 27).
Faktor
utama diterimanya kurban Habil karena ketakwaan dan jenis kurban yang ia
persembahkan, berupa hewan ternak miliknya yang terbaik, seekor kambing gemuk.
Sedang Qabil, bertolak belakang, selain antagonis (jahat) dia juga seorang yang
pelit, hanya mempersembahkan kurban sebagai qurbah
kepada Allah berupa jenis hasil panen yang buruk dan tidak berkualitas.
Berkaca
dari kisah di atas, maka seorang muslim jika hendak mempersembahkan sesuatu
kepada Allah sebagai qurbah hendaklah
yang terbaik, sesuai dengan kemampuannya. Sebab itulah, kebaikan (surga) hanya
dapat diraih dengan mempersembahkan kepada Allah yang terbaik dari barang yang
dimiliki. “Lan tanalul birra hatta
tunfiqu mimma tuhibbun. Kamu sekali-kali tidak akan pernah sampai pada
kebaikan—yang sempurna—sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai”,
(QS. 3: 92).
Ibadah
kurban juga selalu dikaitkan kepada Nabi Ibrahim dan puteranya Ismail ‘alaihimassalm. Dikisahkann dalam
Alquran bahwa Allah memberi perintah melalui mimpi kepada Nabi Ibrahim untuk
mempersembahkan Ismail sebagai kurban. Ayah dan anak itu mematuhi perintah
Allah dan, tepat saat Ismail akan disembelih, Allah menggantinya dengan seekor
domba. (QS. 37: 102-107).
Dari
segi hukum, kurban adalah sunnah muakkadah
(yang diprioritaskan) dan pada tahap tertentu diwajibkan kepada seorang muslim
yang telah mampu melaksanakannya. Sebagaimana firman Allah, “Fasholli lirabbika wanhar. Maka
dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!” (QS. 108: 2). Ayat ini
memiliki dukungan dari banyak hadis, di antaranya sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah, Nabi bersabda, “Siapa yang mendapati dirinya
dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati
tempat salat Ied kami.” Terdapat juga dalam Hadis Nabi tentang keutamaan
berkurban. “Tidaklah seorang manusia berbuat sesuatu amal pada hari nahar
yang lebih dicintai Allah daripada menumpahkan darah hewan kurban.
Sesungguhnya hewan kurban itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku,
dan bulunya. Dan sesungguhnya darah hewan kurban itu pasti menempati suatu
tempat di sisi Allah sebelum jatuh menempati suatu tempat di bumi, maka
relakanlah itu, (Ibnu Majah 3126; Tirmidzi 1493). Pernah pula ditanyakan oleh
para sahabat kepada Nabi. “Apakah hewan kurban itu? Beliau menjawab, ‘Itu
adalah sunnah Bapak kalian, Ibrahim.’ Mereka bertanya lagi, ‘Apa yang kita
peroleh darinya?’, Rasul menjawab, ‘Kebaikan pada setiap helai bulunya’, para
sahabat bertanya lagi, ‘Bagaimana dengan bulunya?’, beliau menjawab, ‘Kebaikan
pada setiap helai bulunya yang lebat.’ (Ibnu Majah: 3127).
Hukum-hukum kurban
Karena
ibadah kurban adalah tauqifiah atau
jenis ibadah yang langsung diajarkan oleh Rasulullah, maka tentu saja ia
memiliki hukum-hukum yang terkait dengannya. Menambah atau mengurangi
hukum-hukumnya akan mengurangi bahkan menghilangkan keutamaan dan pahala kurban
itu sendiri, pada tahap tertentu dapat berupa wujud menjadi dosa.
Perlu dicatat, dalam Islam, setiap ibadah
tidak akan diterima kecuali dilandasi dengan ilmu dan niat yang benar. Berikut
ini hukum-hukum seputar kurban yang harus diketahui. (1) Usia hewan kurban
berupa domba berusia satu tahun atau hampir setahun, sedangkan yang lainnya
berupa biri-biri, unta, dan sapi tidak kurang dari dua tahun. Ada pun unta
telah berusia empat tahun dan memasuki tahun kelima, dan sapi telah berusia dua
tahun dan memasuki tahun ketiga, (Muslim: 1963); (2) Bebas dari cacat: Tidak
boleh dikurbankan kecuali hewan kurban yang terbebas dari kurangnya pada
fisiknya seperti hewan yang buta sebelah matanya, pincang kakinya, patah tanduknya,
atau terpotong hidung dan telinganya. Juga hewan yang sakit dan sangat kurus, (Abu
Daud: 280); (3) Hewan kurban yang paling utama dari domba adalah, yang
bertanduk, jantan, dengan warna mata dan kakinya putih bercampur hitam
(belang). Domba jenis inilah yang disukai Rasulullah dan dia sendiri pernah
berkurban dengan hewan seperti itu. Aisyah menuturkan, “Sesungguhnya Rasulullah
berkurban dengan domba yang bertanduk, bulu kakinya hitam, sementara warna
putih disekitar kedua matanya.” (Abu Daud: 2792); (4) Waktu penyembelihan hewan
kurban bermula di pagi hari setelah menunaikan salat Idul Adha dan tiga hari
berikutnya (tasyri’), tidak boleh
sebelum salat dan tidak boleh pula melwati hari tasyri’; (5) Ketika menyembelih, disyariatkan agar menghadapkan
hewan kurban kearah kiblat sambil berzikir, “Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathara as-samawati wal ardhi hanifan wa
ma ana minal musyrikin. Inna shalati wa nusuki, wa mahyaya wa mamati lillahi
rabbil ‘alamin. La syarika lahu wabidzalika umirtu wa ana awwalul muslimin”,
(Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang telah menciptakan
langit dan bumi dalam keadaan pasrah dan aku tidaklah termasuk orang-orang
musyrik. Sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah milik
Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku termasuk orang yang pertama-tama berserah diri).
Dan ketika hendak menyembelih, bacalah, “Bismillahi
wallahu akbar. Allahumma hadza minka wa laka. Dengan menyebut nama Allah,
dan Allah Maha Besar. Ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu.” (Riwayat Ahmad:
16309); (6) Bagi yang berkurban, dianjurkan untuk menyembelih kurbannya
sendiri, namun boleh punya mewakilkan pada orang lain; (7) Pembagian daging
kurban hendaklah dibagi menjadi tiga bagian, sepertiga untuk yang kurban,
sepertiga untuk disedekahkan, dan sepertiga lainnya dihadiankan pada
rekan-rekan. Namun boleh pula disedekahkan semuanya; (8) Seekor domba cukup
untuk satu keluarga, walaupun dalam keluarga itu terdiri dari banyak orang. Hal
ini berdasarkan sebuah riwayat bahwa seorang laki-laki di masa Rasulullah yang
berkurban dengan seekor domba atas nama dirinya dan keluarganya, (Tirmidzi:
1505). Diperkuat dengan dalil lain dari Imam Malik meriwayatkan dalam
Al-Muwatha', Ahmad, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dari Jabir bin
Abdillah ia berkata,“Naharna ma’a
rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, ‘amal hudaibiyah albadanah ‘an sab’ah
wal baqarah ‘an sab’ah. Kami menyembelih kurban di
Hudaibiyah bersama Rasulullah SAW seekor unta untuk tujuh orang dan sapi untuk
tujuh orang.”
Lajnah Daimah berfatwa dalam menjawab persoalan seputar ini, “Yang diajarkan,
unta dan sapi dibolehkan untuk tujuh orang. Setiap tujuh orang itu boleh
meniatkan untuk dirinya sendiri dan anggota keluarganya.” (Fatwa Al Lajnah Ad
Da-imah lil Buhuts ’Ilmiyah wal Ifta’ no. 8790); (9) Sangat dimakruhkan bagi yang telah berniat
berkurban untuk memotong kuku dan rambutnya sebelum menyembelih hewan
kurbannya. Sabda Nabi, “Jika kalian telah melihat hilal Dzul Hijjah dan seorang
di antara kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan rambut dan kukunya
hingga ia berkurban.” (Muslim: 1977); dan (10) Kurban Rasulullah atas nama
umatnya. Orang yang tidak mampu berkurban di antara kaum muslimin akan
mendapatkan pahala dari orang-orang yang berkurban. Bahkan Nabi pernah
menyembelih seekor dombanya yang ia niatkan sebagai kurban untuk seluruh
umatnya. “Allahumma hadza ‘anni wa ‘amman
lam yudhahhy min ummati. Ya Allah, ini atas namaku, dan atas nama umatku
yang tidak mampu berkurban.” (Ahmad: 10667; Abu Daud: 2810).
Dalil
ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin dapat berkurban untuk dirinya dan
bawahannya. Presiden untuk diri dan rakyatnya, Gubernur untuk pribadi dan masyarakatnya,
Rektor untuk diri, dosen, dan mahasiswanya, Ketua RW dan RT untuk diri dan
lingkungannya, hingga Kepala Rumah tangga untuk diri dan keluarganya. Artinya,
yang berkurban haruslah atas nama kepala, seperti suami untuk istri dan
anak-anaknya, bukan sebaliknya, istri untuk suami, mahasiswa untuk rektor, atau
rakyat untuk presiden. Selamat Hari Raya
Kurban 1435 H.
Ilham Kadir, Alumni Pascasarjana UMI
Makassar, Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments