Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Penulisan
ini bertujuan mengeksplorasi pemikiran pendidikan Prof. Dr. Syed Muhammad
Naquib Al-Attas yang merupakan salah satu ilmuan Nusantara yang telah diakui
kapasitasnya oleh dunia. Salah satu indikasinya adalah banyaknya karya-karyanya
yang telah dialih bahasakan. Pada tahun 2002, Program Cranlana memasukkan karya-karya Al-Attas dalam ensiklopedi, Powerful
Ideas: Perspektivees on the Good Society. Buku setebal dua jilid dan 639
halaman tersebut mengandung petikan-petikan tulisan-tulisan dari 45 ilmuan dan
negarawan terhebat dalam sejarah manusia. Al-Attas disejajarkan dengan
Sophocles, Aristoteles, Kung Fu Tze, St. Agustine, Immanuel Kant, Karl Marx,
dan lain-lain.
Metodologi
yang penulis gunakan dalam penulisan ini
adalah kepustakaan murni, melalui beberapa sumber pustaka atau buku-buku yang
membahas tentang obyek yang diteliti dengan pendekatan kualitatif, yaitu
prosedur penulisan yang mendeskripsikan pemikiran dan gagasan tertentu pada
seseorang secara rinci dan mendalam.
Tesis
yang pada awalnya setebal hampir empat ratus halaman itu—namun atas saran
pembimbing supaya dirampingkan—merupakan penulisan yang penting karena dewasa
ini pemerintah sedang mengembar-gemborkan pendidikan karakter. Dan ternyata
pendidikan berbasis adab yang telah digagas dan dipraktikkan Al-Attas secara
subtansi melebihi dari tujuan pendidikan karakter yang ditekankan pemerintah.
Dikatakan melebihi, karena berkarakter saja tidak cukup, hasil pendidikan yang
ideal adalah berkarakter dan beradab. Orang beradab sudah pasti memiliki
karakter yang baik, tapi tidak sebaliknya.

Al-Attas
lantas mengemukakan ketidak-setujuannya dengan penggunaan istilah tarbiyah untuk merujuk pada pendidikan
Islam, sebagaimana ia utarakan, bahwa pendidikan bermakna ta’díb, yang
berlainan dengan tarbiyah yang
telah diterima secara umum, suatu hal yang paling pokok dan penting untuk
diperhatikan. Tarbiyah dalam
pandangannya merupakan istilah yang dapat dianggap baru untuk memberi makna
pendidikan. Secara semantik, istilah tersebut kurang tepat atau tidak memadai
untuk menjelaskan konsep pendidikan yang ditujukan khusus bagi manusia. Pada
dasarnya tarbiyah memberi makna
‘memelihara’, atau ‘mengarahkan’, ‘memberi makan, mengembangkan, menyebabkannya
tumbuh dewasa’, ‘menjaga’, menjadikannya memberi hasil’, menjinakkan’.
Penerapan dalam bahasa Arab tidak terbatas pada manusia saja, medan semantiknya
melebar ke spesies lainnya: mineral, tumbuhan, dan hewan. Seorang dapat
mengaitkannya dengan peternakan sapi, peternakan ayam, pertambakan ikan, dan
perkebunan, semua itu adalah bentuk-bentuk tarbiyah.
Pendidikan
adalah sesuatu yang khusus untuk manusia; dan kegiatan yang terkait dan unsur
kualitatif yang terkandung di dalam pendidikan tidak sama dengan yang terdapat
pada tarbiyah. Selain itu, tarbiyah biasanya terkait dengan ide
kepemilikan, dan biasanya pemilik adalah pelaku tarbiyah terhadap objek tarbiyah.
Al-Attas
mengingatkan akan munculnya beberapa akibat serius sebagai konsekwensi logis
yang timbul sebagai akibat tidak dipakainya konsep ta’díb sebagai
pendidikan dalam proses pendidikan, yaitu (a) Kebingungan dan kesalahan dalam
pengetahuan, yang pada gilirannya menciptakan kondisi; (b) Hilangnya adab (lost
of adab) di dalam umat. Kondisi yang timbul akibat (a) dan (b) adalah (c)
Bangkitnya pemimpin-pemimpin yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan yang absah
dalam umat Islam, yang tidak memiliki standar moral, intelektual, dan spritual
tinggi yang dibutuhkan bagi kepemimpinan.
Secara
umum, pemikiran pendidikan Al-Attas merupakan sebuah pemikiran yang berawal
dari dunia metafisis kemudian ke dunia kosmologis dan bermuara pada dunia
psikologis. Sedangkan format pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas tampak
jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu
sistem pendidikan terpadu. Hal tersebut secara jelas dilihat dari tujuan
pendidikan yang dirumuskannya yaitu
untuk mewujudkan manusia yang baik, universal, dan paripurna (al-insán
al-kámil). Yang dimaksud dengan al-insán al-kámil bagi Al-Atttas adalah (1) Manusia yang
seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian, yaitu dimensi isoterik
vertikal yang intinya tunduk dan patuh pada Allah SWT, dan dimensi eksoterik,
dialektikal, horizontal, yaitu membawa misi keselamtan bagi lingkungan sosial
alamnya (khalifah fil ardh); (2) Manusia seimbang dan kualitas pikir,
zikir, dan amalnya. Untuk menghasilkan yang dimaksud, merupakan suatu
keniscayaan adanya suatu uapaya maksimal dalam mengondisikan lebih dulu
paradigma pendidikan terpadu.
Indikasi
lain yang mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas
menghendaki terealisasinya sistem pendidikan
terpadu tertuang dalam rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya,
dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk mengintegrasikan ilmu dalam
sistem pendidikan Islam. Artinya, pendidikan Islam harus menghadirkan dan
mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga
ilmu-ilmu rasional, intelektual, dan filsafat, sebagaimana yang telah ia
peraktikkan di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC),
kampus yang ia dirikan dan kelolah.
Makro
orientasi pemikiran pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang
bercorak moral religius yang tetap menjaga keseimbangan dan keterpaduan sistem.
Hal tersebut tersirat dalam konsepsinya tentang ta’díb, yang menurutnya
telah mencakup konsep ilmu dan amal sekaligus. Disitu dipaparkan bahwa setelah
manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan,
ia diharapkan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat.
Jika
dicerna secara subtansif, pemikiran pendidikan Al-Attas termasuk kategori
tradisionalis. Jika dianalisis secara metodologis, ia tergolong skriptualis,
dan jika ditinjau secara historis ia tercakup dalam tipologi modernis. Karena
itu, menjadi sulit menentukan tipologi pemikiran pendidikannya. Namun menurut
penulis, Al-Attas merupakan ilmuan yang termsuk tipologi reformis skriptualis.
Karena menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan pribadi yang
paripurna, bukan untuk hanya sekadar membentuk warga negara yang berguna.
Tujuan
pendidikan kaum modernis lebih mengutamakan kepentingan negara, sehingga
pembentukan masyarakat yang baik lebih diprioritaskan lewat jalur politik dan
hukum, bukan pembentukan jiwa dan pribadi manusia. Meskipun pemikiran Al-Attas
berdasarkan atas teks-teks klasik hasil karya para ulama muktabar, namun ia
telah melakukan reaktualisasi dan reformasi agar pendidikan Islam tetap relevan
dan sesuai dengan konteks kontemporer. Al-Attas mengamalkan, Al-Muhafadhah
‘ala al-qadím as-sháleh wal al-akhdzu bi al-jadíd al-ashlah. Menjaga
warisan yang baik sekaligus mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Wallahu
A’lam!
Ilham
Kadir, MA. Alumni Pascasarjana UMI Makassar
Comments