Mencari Solusi Pertikaian Sunni-Syiah
Sejauh
pengamatan saya, isu Syiah dan Ahlussunnah
wal Jama’ah (selanjutnya disebut Sunnah) di Indonesia selama ini,
sebenarnya tidak dipengaruhi secara langsung kondisi objektif ketegangan
Sunnah-Syiah di Timur Tengah. Kasus-kasus Indonesia hakikatnya dipicu oleh
provokasi buku-buku dan ceramah.
Seperti
sudah difahami, bahwa karakter Syiah sangat identik dengan kritikan terhadap
para pembesar sahabat (Amirul
Mukminin) dan isteri Nabi saw (Ummul
Mukminin) -- yang secara terbuka sering dicerca. Prinsip doktrin
yang menganggap para sahabat Nabi yang agung sebagai perampas hak kekhilafahan
Ali, kemudian berujung dan berlarut-larut meneruskan tradisi kritik, kecaman,
bahkan hinaan terhadap para sahabat dan istri Nabi saw.
Kondisi
alami “Syiah” seperti ini perlu dipahami, agar solusi yang diberikan pun bukan
bersifat basa-basi. Apalagi, dunia semakin terbuka. Informasi semakin bebas
beredar. Ketersinggungan pihak Sunni saat ajaran-ajaran dasar dan
tokoh-tokohnya dicerca juga perlu dimaklumi. Bukan hanya melihat dari aspek
kebebasan beragama dan berendapat saja. Apalagi ini berkaitan dengahn
masalah agama, yang bagi kebanyakan masyarakat Muslim sudah dianggap sebagai
perkara hidup-mati.
Dalam
pencermatan saya yang sudah puluhan tahun mengamati dan menulis masalah Syiah
di Indonesia, hampir semua kasus konflik dipicu oleh peredaran buku dan ceramah
dari kalangan Syiah. Sebutlah penerbitanbuku “Dialog
Sunnah-Syiah” karangan Abdul Husain Al-Musawy, yang merupakan terjemahan
dari buku aslinya “Al-Muraja’at”. Buku ini dianggap sebagai buku lama yang
populer, dan konon dianggap sebagai buku yang ampuh untuk ‘menaklukkan’ Ahlu
Sunnah. Ada juga buku berjudul “Sudah Kutemukan Kebenaran” (terjemahan) dan “Saqifah: Awal Perselisihan Umat”,
yang menyerang keyakinan kaum Sunni.
Yang
lebih menyinggung perasaan kaum Sunni adalah banyaknya buku-buku Syiah yang
mendekonstruksi ajaran-ajaran dasar Sunni, tetapi menggunakan sumber-sumber
kaum Sunni. Hanya saja, setelah diperiksa, memang ditemukan daftar
pustakanya, namun setelah dicermati lebih jauh, ternyata sumber-sumber itu
diselewengkan isi dan maknanya. Inilah yang membuat kaum Sunni terus menjadi
cemas dan masalah ini menjadi semacam “bara dalam sekam” yang suatu ketika bisa
meledak seperti kasus di Sampang, pada akhir tahun 2011.
Setelah
kasus Sampang tersebut, semua pihak, baik Sunni maupun Syiah harus berusaha
mencari solusi, agar kasus serupa itu tidak terjadi. Apalagi, As’ad Said
Ali (Wakil Ketua Umum PBNU), menulis banyaknya lulusan Qum Iran, yang pulang ke
Indonesia, dan kemudian mendirikan Yayasan-yayasan Syiah, melakukan mobilisasi
opini publik, penyebaran kader ke sejumlah partai politik dan upaya membuat
lembaga Marja’iyati Taqlid seperti di Iran menjelang revolusi. (www.nu.or.id,
judul “Gerakan Syiah di
Indonesia”, 30/05/2011).
Saat
mengikuti kursus PPSA XVII Lemhannas RI, ada seorang peserta diskusi yang
mengajukan pertanyaan, apakah benar Syiah bisa menerima Pancasila dan NKRI
seperti Ahlu Sunnah (Aswaja) yang diwakili dua ormas besar yakni NU dan
Muhammadiyah? Itu mengingat konsep
imamah yang absolut tidak memungkinkan penerimaan ideologi apa pun
di dunia ini, kecuali menerima keniscayaan pemerintahan model imamah?
Perlu
dipahami, bahwa untuk menyelesaikan atau mendamaikan masalah Syiah di Indonesia
tidaklah mudah. Itu terkait dengan adanya perbedaan mendasar dalam ajaran Sunni
dan Syiah. Dalam disertasi saya di IAIN Sunan Ampel Surabaya – sudah
diterbitkan menjadi buku berjudul “Dari
Imamah Sampai Mut’ah” (2004), saya mengingatkan perlunya Indonesia
belajar dari kasus Sunni-Syiah yang terjadi di berbagai negeri Muslim lainnya.
Pada 4 Juli 2003, di Pakistan, terjadi serangan bom yang menewaskan 47 orang
dan mencederai 65 orang lainnya. Berikutnya pada 2 Maret 2004, terjadi serangan
yang menewaskan 271 warga Syiah dan melukai 393 lainnya. Kasus-kasus seperti
ini juga terjadi di negara-negara Muslim lainnya.
Disamping
adanya perbedaan dalam berbagai ajaran dalam soal aqidah, satu masalah yang
akan menjadi problema pelik di tengah masyarakat adalah disahkannya perkawinan
mut’ah (nikah temporal).
Dalam nikah jenis ini, seorang wanita bisa berpasangan mut’ah dengan berbagai
laki-laki. Status anak-anak dalam perkawinan jenis ini pun bisa bermasalah.
Biasanya pihak Syiah akan menyalahkan Umar bin Khatab karena telah berani
melarang nikah mut’ah yang pernah dihalalkan oleh Nabi saw.
Padahal,
faktanya tidak demikian. Umar bin Khatab justru melaksanakan ketetapan dari
Nabi sendiri. Keputusan Umar itu pun juga disetujui oleh Ali bin Abi Thalib.
Sebab, Ali adalah mustasyar
(penasehat) pada pemerintahan Umar. Sampai-sampai Umar pernah menyatakan,
“Tanpa keterlibatan Ali, gagallah Umar.” Nikah jenis ini mutlak haram
bagi kaum Sunni dan sebagian kelompok Syiah (Zaidiyah) yang mendekati Sunni.
Begitulah,
jika kita ingin membangun ukhuwah, maka perlu diperhatikan benar
masalah-masalah mendasar dalam soal keagamaan ini. Hal-hal yang menimbulkan
sensitivitas pihak lain, perlu dihindari. Sebaiknya, kaum Syiah sebagai
minoritas di negeri Indonesia, bisa menahan diri untuk tidak bersifat agreasif
dalam menyebarkan ajaran mereka, disertai dengan menyerang dan melecehkan
ajaran-ajaran pokok kaum Sunni. Faktanya, kita tidak hanya bisa mendasarkan
pada aspek kebebasan semata. Mudah-mudahan umat Islam Indonesia mampu mengatasi
masalah-masalah yang mereka hadapi, baik masalah eksternal maupun internal
mereka. Amin.
[Prof.
Dr. Mohammad Baharun - Pengurus
MUI Pusat/Guru Besar Sosiologi Agama - www.republika.co.id]
Comments